Kematian itu terus mengintai manusia. Tidak peduli seseorang itu masih muda, sehat atau kaya. Kematian adalah sesuatu yang pasti.
Ada khutbah jumat yang penulis anggap menarik mengenai kematian. Entah siapa nama ustadz yang memberikan khutbah di mimbar shalat Jumat di Jakarta (6/3/2015), tetapi menurut penulis ini penting sebagai introspeksi atau refleksi diri.
Dalam khutbahnya, ia mengatakan bahwa rata-rata usia manusia itu sekira 60-70 tahun. Taruhlah pada usia tersebut. Nabi Muhammad SAW meninggal pada usia 63 tahun dan ini lebih kurang rata-rata usia generasi manusia hingga saat ini.
Lebih lawas lagi sebelum zaman Nabi Muhammad SAW, diceritakan manusia bisa hidup hingga ratusan tahun. Diceritakan dalam sebuah kisah oleh khotib, terdapat seorang ibu yang menangisi anaknya meninggal di usia 300 tahun.
Lalu, didatangilah ibu itu oleh seseorang, yang menanyakan alasan mengapa dirinya menangis. Sang ibu menjawab, usia 300 tahun anaknya yang sudah meninggal dianggap kala itu masih dalam kategori muda.
Kemudian seseorang itu berkata kepada ibu tersebut, nanti akan ada sebuah masa generasi manusia yang memiliki usia yang lebih pendek dari itu. Bahkan, mencapai 100 tahun saja akan jarang sekali ditemukan.
Mendengar hal tersebut, sang ibu tampak tersadar dari tangisnya dan penulis lupa lagi apa yang disampaikan khotib. Yang pasti, manusia harus bersyukur atas kesempatan yang diberikan Allah kepada manusia yang hidup di dunia, walau disadari atau tidak, sementara.
Dalam sebuah artikel yang penulis baca, zaman Nabi Adam dahulu ada yang hidup sampai ribuan tahun. Wallahu a'lam.
Semakin kesini, usia manusia semakin pendek dan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir (belasan abad lalu), meninggal di usia 63 tahun. Usia yang tidak jauh berbeda atau bisa dikatakan rata-rata seperti usia manusia pada umumnya.
Itu sekilas mengenai usia manusia akhir zaman, yang semakin pendek. Taruhlah rata-rata manusia hidup antara 60-70 tahun. Sepakati dulu sebagai contoh 65 tahun (ambil tengahnya).
Dosa manusia (berjenis kelamin laki-laki) mulai terhitung pada usia 15 tahun (laki-laki baligh ditandai mimpi basah). Berarti, 65-15 tahun menjadi 50 tahun. Nah, selama 50 tahun ini manusia diberi kesempatan oleh Allah untuk beribadah.
Masalahnya, seberapa optimal ibadah selama usia 50 tahun tersebut? Khotib lebih lanjut mengungkap tausiyahnya.
Baiklah, ada 50 tahun kesempatan untuk beribadah. Khotib mengatakan, selama 50 tahun kita hidup (kalau masih ada umur), untuk waktu tidur saja rata-rata menghabiskan waktu 8 jam per hari.
Nah, kalau konsisten tidur 8 jam per hari, maka itu sama saja kita menghabiskan waktu tidur selama 17 tahun (waktu tidur) hingga usia kita mencapai 50 tahun.
Belum selesai sampai di situ, khotib mengatakan bahwa manusia butuh refreshing atau waktu santai dengan menghabiskan beberapa jam dalam sehari (24 jam), maka waktu santai itu dihabiskan kira-kira 4 jam dalam sehari. Untuk waktu santai.
Bila konsisten dalam sehari ada waktu santai yang dihabiskan selama 4 jam. Maka, hingga usia 50 tahun, manusia menghabiskan selama 8 tahun untuk total waktu santai.
Coba dijumlah, waktu santai 8 tahun, ditambah dengan waktu tidur 17 tahun, maka sudah 25 tahun. Sudah terpakai usia manusia 25 tahun hanya untuk tidur ditambah dengan santai.
Hanya tersisa 25 tahun lagi bukan? Bila asumsinya 50 tahun usia optimal manusia untuk ibadah kepada Allah.
Nah, khotib mengatakan, manusia bekerja atau beraktivitas rutin, mencari nafkah atau ilmu dan lain-lain, maka boleh jadi dari rumah berangkat pagi hingga pulang malam, maka manusia menghabiskan waktu selama 10-12 jam per hari.
Maka, bila konsisten 10-12 jam per hari, kira-kira manusia menghabiskan waktu total untuk berada di luar rumah atau bekerja selama 25 tahun. Tak aneh bila ada istilah 'tua di jalan', bukan?
Bila 25 tahun dihabiskan untuk bekerja, 25 tahun dihabiskan untuk tidur dan santai. Ditotal ialah 50 tahun. Maka, usia manusia sudah habis memenuhi kebutuhan atau mengurusi urusan duniawi.
Di mana waktu untuk ibadah yang sengaja diluangkan? Khotib melanjutkan (penulis agak lupa), bila shalat lima waktu, taruhlah satu waktu lima menit, bisa lebih atau kurang, tergantung orangnya.
Maka, dalam sehari waktu shalat 5 menit x 5 waktu shalat sama dengan 25 menit. Taruhlah bersama dengan shalat sunah, maka dibulatkan kira-kira 30 menit dalam sehari. Bila ini konsisten, 30 menit per hari ditotal hingga manusia mencapai usia 50 tahun, maka waktu ibadah untuk shalat hanya beberapa tahun saja. Tak imbang antara waktu ibadah dengan waktu untuk mengurusi hal-hal lainnya.
Khotib mengatakan, tidak perlu hitung-hitungan rumit membawa alat tulis atau alat hitung dan sebagainya, cukup direnungkan saja, bahwa waktu untuk urusan duniawi bisa lebih besar daripada waktu yang sengaja diluangkan untuk urusan ibadah/akherat. Demikianlah apa yang penulis lebih kurang tangkap dari isi ceramah tersebut.
Maka, apa yang bisa ditangkap hikmahnya dari isi ceramah tersebut? Jadikan setiap detik, setiap menit, apapun aktivitasnya sebagai ibadah, bekerja ibadah, berangkat dari rumah menuju tempat kerja atau tempat kuliah ialah ibadah, senyum dengan orang lain, semua bisa bernilai ibadah dengan niat karena Allah.
Sehingga, selama 50 tahun seorang muslim hidup dipakai waktunya untuk ibadah kepada Allah. Niat semata-mata karena Allah.
Yang sudah menikah, pahalanya bisa lebih berlipat, setiap sentuhan yang halal bisa jadi pahala, setiap genggaman jari bisa menggugurkan dosa, dan sebagainya. Itu bisa dicapai dengan pernikahan yang dilaksanakan sesiap mungkin (bukan berarti sedini mungkin).
Dan Allah menyediakan malam Lailatul Qadr, atau malam seribu bulan. Bila seorang muslim dan muslimah beribadah pada malam itu, Allah akan menghitungnya seperti ibadah seribu bulan lamanya (sekitar 83 tahun). Wallahu a'lam.
Coba tengok, berapa usia kita sekarang? sudah berapa banyak dosa yang diperbuat? Jadi, bila patokannya 50 tahun (anggap saja bonus bila usia >50 tahun atau lebih panjang dari usia itu), tinggal berapa tahun lagi sisa usia kita sekarang?
Masih mau bermain-main dalam kehidupan? Masih mau terus menerus hura-hura di dunia yang fana dan singkat ini, yang akses media massa sudah sangat cepat untuk bisa menggoda seseorang jatuh ke dalam dosa? Kapan yang perempuan siap mengenakan hijab? Apakah sudah benar sesuai syar'i kerudung atau jilbabnya?
Satu hal yang penulis ingin katakan. Saat masih muda, inilah saatnya untuk berburu pahala sebanyak-banyaknya, ibadah sekuat-kuatnya, perdalam ilmu agama semampu-mampunya.
Sebab, kita tidak tahu kapan ajal menjemput, bisa cepat atau lambat dan saat nanti usia lanjut (tua), kita tidak bisa beribadah maksimal seperti saat muda dahulu akibat keterbatasan kekuatan fisik dan sebagainya.
Bahwa hidup harus fokus, berfokus pada tujuan kebaikan dan ibadah kepada Allah. Jangan biarkan diri terjangkiti sesuatu yang bisa melupakan diri kita dari mengingat-Nya. Tujuan besar menanti di sana, bersama pasangan meraih jannah-Nya.
Untuk itulah, mencari pasangan hidup, faktor pertama yang harus diperhatikan ialah agama dan akhlaknya. Wah, tulisan ini bisa panjang jadinya bila diuraikan lebih detail.
Kehidupan dunia seperti kesatuan ekosistem, bercampur baur unsur-unsur yang berbeda, saling pengaruh-mempengaruhi, ada yang menggoda dan mengajak pada kebaikan maupun keburukan. Islam menuntun kepada jalan kebenaran, "Ihdinas-siratal-mustaqim" (Tunjukilah kami jalan yang lurus).
Karena dunia dan isinya tidak ada apa-apanya dibandingkan akherat kelak. Yang kekal, abadi.
*****
Ilustrasi (Foto: Apprendre-excel.fr)
Ada khutbah jumat yang penulis anggap menarik mengenai kematian. Entah siapa nama ustadz yang memberikan khutbah di mimbar shalat Jumat di Jakarta (6/3/2015), tetapi menurut penulis ini penting sebagai introspeksi atau refleksi diri.
Dalam khutbahnya, ia mengatakan bahwa rata-rata usia manusia itu sekira 60-70 tahun. Taruhlah pada usia tersebut. Nabi Muhammad SAW meninggal pada usia 63 tahun dan ini lebih kurang rata-rata usia generasi manusia hingga saat ini.
Lebih lawas lagi sebelum zaman Nabi Muhammad SAW, diceritakan manusia bisa hidup hingga ratusan tahun. Diceritakan dalam sebuah kisah oleh khotib, terdapat seorang ibu yang menangisi anaknya meninggal di usia 300 tahun.
Lalu, didatangilah ibu itu oleh seseorang, yang menanyakan alasan mengapa dirinya menangis. Sang ibu menjawab, usia 300 tahun anaknya yang sudah meninggal dianggap kala itu masih dalam kategori muda.
Kemudian seseorang itu berkata kepada ibu tersebut, nanti akan ada sebuah masa generasi manusia yang memiliki usia yang lebih pendek dari itu. Bahkan, mencapai 100 tahun saja akan jarang sekali ditemukan.
Mendengar hal tersebut, sang ibu tampak tersadar dari tangisnya dan penulis lupa lagi apa yang disampaikan khotib. Yang pasti, manusia harus bersyukur atas kesempatan yang diberikan Allah kepada manusia yang hidup di dunia, walau disadari atau tidak, sementara.
Dalam sebuah artikel yang penulis baca, zaman Nabi Adam dahulu ada yang hidup sampai ribuan tahun. Wallahu a'lam.
Semakin kesini, usia manusia semakin pendek dan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir (belasan abad lalu), meninggal di usia 63 tahun. Usia yang tidak jauh berbeda atau bisa dikatakan rata-rata seperti usia manusia pada umumnya.
Itu sekilas mengenai usia manusia akhir zaman, yang semakin pendek. Taruhlah rata-rata manusia hidup antara 60-70 tahun. Sepakati dulu sebagai contoh 65 tahun (ambil tengahnya).
Dosa manusia (berjenis kelamin laki-laki) mulai terhitung pada usia 15 tahun (laki-laki baligh ditandai mimpi basah). Berarti, 65-15 tahun menjadi 50 tahun. Nah, selama 50 tahun ini manusia diberi kesempatan oleh Allah untuk beribadah.
Masalahnya, seberapa optimal ibadah selama usia 50 tahun tersebut? Khotib lebih lanjut mengungkap tausiyahnya.
Baiklah, ada 50 tahun kesempatan untuk beribadah. Khotib mengatakan, selama 50 tahun kita hidup (kalau masih ada umur), untuk waktu tidur saja rata-rata menghabiskan waktu 8 jam per hari.
Nah, kalau konsisten tidur 8 jam per hari, maka itu sama saja kita menghabiskan waktu tidur selama 17 tahun (waktu tidur) hingga usia kita mencapai 50 tahun.
Belum selesai sampai di situ, khotib mengatakan bahwa manusia butuh refreshing atau waktu santai dengan menghabiskan beberapa jam dalam sehari (24 jam), maka waktu santai itu dihabiskan kira-kira 4 jam dalam sehari. Untuk waktu santai.
Bila konsisten dalam sehari ada waktu santai yang dihabiskan selama 4 jam. Maka, hingga usia 50 tahun, manusia menghabiskan selama 8 tahun untuk total waktu santai.
Coba dijumlah, waktu santai 8 tahun, ditambah dengan waktu tidur 17 tahun, maka sudah 25 tahun. Sudah terpakai usia manusia 25 tahun hanya untuk tidur ditambah dengan santai.
Hanya tersisa 25 tahun lagi bukan? Bila asumsinya 50 tahun usia optimal manusia untuk ibadah kepada Allah.
Nah, khotib mengatakan, manusia bekerja atau beraktivitas rutin, mencari nafkah atau ilmu dan lain-lain, maka boleh jadi dari rumah berangkat pagi hingga pulang malam, maka manusia menghabiskan waktu selama 10-12 jam per hari.
Maka, bila konsisten 10-12 jam per hari, kira-kira manusia menghabiskan waktu total untuk berada di luar rumah atau bekerja selama 25 tahun. Tak aneh bila ada istilah 'tua di jalan', bukan?
Bila 25 tahun dihabiskan untuk bekerja, 25 tahun dihabiskan untuk tidur dan santai. Ditotal ialah 50 tahun. Maka, usia manusia sudah habis memenuhi kebutuhan atau mengurusi urusan duniawi.
Di mana waktu untuk ibadah yang sengaja diluangkan? Khotib melanjutkan (penulis agak lupa), bila shalat lima waktu, taruhlah satu waktu lima menit, bisa lebih atau kurang, tergantung orangnya.
Maka, dalam sehari waktu shalat 5 menit x 5 waktu shalat sama dengan 25 menit. Taruhlah bersama dengan shalat sunah, maka dibulatkan kira-kira 30 menit dalam sehari. Bila ini konsisten, 30 menit per hari ditotal hingga manusia mencapai usia 50 tahun, maka waktu ibadah untuk shalat hanya beberapa tahun saja. Tak imbang antara waktu ibadah dengan waktu untuk mengurusi hal-hal lainnya.
Khotib mengatakan, tidak perlu hitung-hitungan rumit membawa alat tulis atau alat hitung dan sebagainya, cukup direnungkan saja, bahwa waktu untuk urusan duniawi bisa lebih besar daripada waktu yang sengaja diluangkan untuk urusan ibadah/akherat. Demikianlah apa yang penulis lebih kurang tangkap dari isi ceramah tersebut.
Maka, apa yang bisa ditangkap hikmahnya dari isi ceramah tersebut? Jadikan setiap detik, setiap menit, apapun aktivitasnya sebagai ibadah, bekerja ibadah, berangkat dari rumah menuju tempat kerja atau tempat kuliah ialah ibadah, senyum dengan orang lain, semua bisa bernilai ibadah dengan niat karena Allah.
Sehingga, selama 50 tahun seorang muslim hidup dipakai waktunya untuk ibadah kepada Allah. Niat semata-mata karena Allah.
Yang sudah menikah, pahalanya bisa lebih berlipat, setiap sentuhan yang halal bisa jadi pahala, setiap genggaman jari bisa menggugurkan dosa, dan sebagainya. Itu bisa dicapai dengan pernikahan yang dilaksanakan sesiap mungkin (bukan berarti sedini mungkin).
Dan Allah menyediakan malam Lailatul Qadr, atau malam seribu bulan. Bila seorang muslim dan muslimah beribadah pada malam itu, Allah akan menghitungnya seperti ibadah seribu bulan lamanya (sekitar 83 tahun). Wallahu a'lam.
Coba tengok, berapa usia kita sekarang? sudah berapa banyak dosa yang diperbuat? Jadi, bila patokannya 50 tahun (anggap saja bonus bila usia >50 tahun atau lebih panjang dari usia itu), tinggal berapa tahun lagi sisa usia kita sekarang?
Masih mau bermain-main dalam kehidupan? Masih mau terus menerus hura-hura di dunia yang fana dan singkat ini, yang akses media massa sudah sangat cepat untuk bisa menggoda seseorang jatuh ke dalam dosa? Kapan yang perempuan siap mengenakan hijab? Apakah sudah benar sesuai syar'i kerudung atau jilbabnya?
Satu hal yang penulis ingin katakan. Saat masih muda, inilah saatnya untuk berburu pahala sebanyak-banyaknya, ibadah sekuat-kuatnya, perdalam ilmu agama semampu-mampunya.
Sebab, kita tidak tahu kapan ajal menjemput, bisa cepat atau lambat dan saat nanti usia lanjut (tua), kita tidak bisa beribadah maksimal seperti saat muda dahulu akibat keterbatasan kekuatan fisik dan sebagainya.
Bahwa hidup harus fokus, berfokus pada tujuan kebaikan dan ibadah kepada Allah. Jangan biarkan diri terjangkiti sesuatu yang bisa melupakan diri kita dari mengingat-Nya. Tujuan besar menanti di sana, bersama pasangan meraih jannah-Nya.
Untuk itulah, mencari pasangan hidup, faktor pertama yang harus diperhatikan ialah agama dan akhlaknya. Wah, tulisan ini bisa panjang jadinya bila diuraikan lebih detail.
Kehidupan dunia seperti kesatuan ekosistem, bercampur baur unsur-unsur yang berbeda, saling pengaruh-mempengaruhi, ada yang menggoda dan mengajak pada kebaikan maupun keburukan. Islam menuntun kepada jalan kebenaran, "Ihdinas-siratal-mustaqim" (Tunjukilah kami jalan yang lurus).
Karena dunia dan isinya tidak ada apa-apanya dibandingkan akherat kelak. Yang kekal, abadi.
*****
Ilustrasi (Foto: Apprendre-excel.fr)
Comments
Post a Comment