Perbincangan menarik dengan Redaktur Pelaksana Techno sebuah media online terkemuka di Indonesia beberapa waktu lalu masih terngiang. Perbincangan sederhana sebelum beranjak pulang.
Ada salah satu alasan kuat mengapa menikah muda itu penting. Bahkan, hal itu tak terpikirkan sebelumnya dalam benak penulis.
Menikah muda tidak hanya karena alasan perempuan memiliki waktu menopause, sehingga perempuan cenderung memiliki batas usia ideal dalam pernikahan. Berbeda dengan laki-laki yang hingga usia 30 atau 40 tahun ke atas masih memiliki potensi untuk memiliki keturunan.
Menikah muda bagi pasangan yang sama-sama bekerja, atau seorang bapak yang bekerja, maka usianya masih bisa dikatakan produktif untuk membiayai pendidikan anak hingga bapak tersebut berusia 40 tahun ke atas.
Nah, hitung-hitungannya bila menikah katakanlah usia 25 atau 26. Maka, bila Allah mengaruniakan anak pada usia 26 atau 27, sehingga kita masih bisa membiayai pendidikan anak hingga anak berusia 20 tahun.
Hitungannya 26+20: 46 tahun. Saat berusia 46 tahun dan belum pensiun, anak masih bisa dibiayai hingga minimal dia menempuh pendidikan D3 atau S1. Bagaimana bila menikah di usia 30 ke atas?
Kalau 30+20: 50 tahun. Saat berusia 50 tahun dan mendekati pensiun atau sudah dikatakan usia tidak produktif lagi, mungkin pekerjaan masih bisa digeluti atau mungkin berhenti, sehingga boleh jadi sulit membiayai anak hingga minimal mengenyam pendidikan sarjana, kecuali sang anak disekolahkan hingga SMK (misalnya) atau bekerja sambil kuliah untuk meringankan biaya orangtua.
Antisipasinya, mau tidak mau menabung. Dari sejak dini, bila sudah bekerja, sisihkan uang untuk tabungan masa depan. Bersyukurlah bila memiliki pasangan hidup yang juga sama-sama bekerja.
Anak juga harus mengerti bahwa mencari uang itu pekerjaan yang tidak mudah. Lulus kuliah tepat waktu bukan karena unsur idealitas (nah lho bahasanya idealitas), tetapi sebuah keharusan.
Sebelum menikah, hal-hal demikian perlu dibicarakan kepada calon. Perlu adanya perencanaan dan perencanaan sebelum eksekusi atau pengimplementasian. Calon adalah kandidat partner hidup masa depan, yang sama-sama harus mengetahui tujuan dari pernikahan itu sendiri.
Sebetulnya menikah bukan hal yang menjlimet. Nikah adalah ibadah, maka bagi seorang muslim dan muslimah, seyogianya memandang pernikahan sebagai pintu bagi limpahan rezeki dan pahala yang lebih besar dibanding yang masih hidup sendiri.
Carilah calon pasangan hidup yang sama-sama memandang titik yang sama untuk sebuah masa yang akan datang. Bila keduanya belum melihat ke masa depan, dan masih terbuai dengan saling memandang keindahan pesona satu sama lain, itu bahaya.
Akan sulit bila yang satu sudah siap, tetapi di satu sisi calon/pacar/kekasih masih belum berpikir ke arah pernikahan.
Ada rumus menarik:
1. Laki-laki siap + perempuan siap : Saling mengenal dengan efektif, menikah.
2. Laki-laki siap + perempuan belum siap atau perempuan siap + laki-laki belum siap : Bakal ada yang di PHP-in.
3. Laki-laki belum siap + perempuan belum siap : Pacaran terus enggak dilamar-lamar.
*****
(Foto: Drawingforkids)
Ada salah satu alasan kuat mengapa menikah muda itu penting. Bahkan, hal itu tak terpikirkan sebelumnya dalam benak penulis.
Menikah muda tidak hanya karena alasan perempuan memiliki waktu menopause, sehingga perempuan cenderung memiliki batas usia ideal dalam pernikahan. Berbeda dengan laki-laki yang hingga usia 30 atau 40 tahun ke atas masih memiliki potensi untuk memiliki keturunan.
Menikah muda bagi pasangan yang sama-sama bekerja, atau seorang bapak yang bekerja, maka usianya masih bisa dikatakan produktif untuk membiayai pendidikan anak hingga bapak tersebut berusia 40 tahun ke atas.
Nah, hitung-hitungannya bila menikah katakanlah usia 25 atau 26. Maka, bila Allah mengaruniakan anak pada usia 26 atau 27, sehingga kita masih bisa membiayai pendidikan anak hingga anak berusia 20 tahun.
Hitungannya 26+20: 46 tahun. Saat berusia 46 tahun dan belum pensiun, anak masih bisa dibiayai hingga minimal dia menempuh pendidikan D3 atau S1. Bagaimana bila menikah di usia 30 ke atas?
Kalau 30+20: 50 tahun. Saat berusia 50 tahun dan mendekati pensiun atau sudah dikatakan usia tidak produktif lagi, mungkin pekerjaan masih bisa digeluti atau mungkin berhenti, sehingga boleh jadi sulit membiayai anak hingga minimal mengenyam pendidikan sarjana, kecuali sang anak disekolahkan hingga SMK (misalnya) atau bekerja sambil kuliah untuk meringankan biaya orangtua.
Antisipasinya, mau tidak mau menabung. Dari sejak dini, bila sudah bekerja, sisihkan uang untuk tabungan masa depan. Bersyukurlah bila memiliki pasangan hidup yang juga sama-sama bekerja.
Anak juga harus mengerti bahwa mencari uang itu pekerjaan yang tidak mudah. Lulus kuliah tepat waktu bukan karena unsur idealitas (nah lho bahasanya idealitas), tetapi sebuah keharusan.
Sebelum menikah, hal-hal demikian perlu dibicarakan kepada calon. Perlu adanya perencanaan dan perencanaan sebelum eksekusi atau pengimplementasian. Calon adalah kandidat partner hidup masa depan, yang sama-sama harus mengetahui tujuan dari pernikahan itu sendiri.
Sebetulnya menikah bukan hal yang menjlimet. Nikah adalah ibadah, maka bagi seorang muslim dan muslimah, seyogianya memandang pernikahan sebagai pintu bagi limpahan rezeki dan pahala yang lebih besar dibanding yang masih hidup sendiri.
Carilah calon pasangan hidup yang sama-sama memandang titik yang sama untuk sebuah masa yang akan datang. Bila keduanya belum melihat ke masa depan, dan masih terbuai dengan saling memandang keindahan pesona satu sama lain, itu bahaya.
Akan sulit bila yang satu sudah siap, tetapi di satu sisi calon/pacar/kekasih masih belum berpikir ke arah pernikahan.
Ada rumus menarik:
1. Laki-laki siap + perempuan siap : Saling mengenal dengan efektif, menikah.
2. Laki-laki siap + perempuan belum siap atau perempuan siap + laki-laki belum siap : Bakal ada yang di PHP-in.
3. Laki-laki belum siap + perempuan belum siap : Pacaran terus enggak dilamar-lamar.
*****
(Foto: Drawingforkids)
Comments
Post a Comment