Selagi manusia masih sehat dan beraktivitas dalam rutinitasnya, istirahat adalah salah satu hal utama yang perlu dipenuhi oleh tubuh. Karena kita bukan mesin atau robot, melainkan makhluk hidup yang memiliki sistem yang bekerja dalam raga.
Maka, sistem ini perlu diberikan 'waktunya' untuk beristirahat, terutama tidur yang cukup. Namun, apa jadinya bila porsi istirahat menjadi kurang, tetapi setiap hari sudah harus digenjot terus dengan pekerjaan yang menguras energi?
Bila satu atau dua hari mungkin tubuh masih bisa sehat, walau tanda-tanda lelah seperti ngantuk di siang hari (karena kurang tidur) itu sudah menjadi pertanda bahwa tubuh perlu istirahat.
Agak sulit memang, saat seharian bekerja dari pagi hingga sore atau malam hari, terdapat porsi istirahat yang sebetulnya cukup, namun mata tak jua ingin terpejam. Ada hal lain yang ingin dilakukan, mungkin hiburan atau sekadar berinteraksi dengan sosial media.
Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk melepas penat dengan akses hiburan justru hanya menjadi sisa di ujung lelah larut malam. Maka, bila sudah kurang istirahat, terlebih aktivitas pekerjaan yang memerlukan energi yang prima, walau minum, makan banyak dan teratur, tetap saja penyakit akan mudah muncul.
Imunitas tubuh menjadi menurun, maka tubuh mudah terserang penyakit. Penyakit yang lebih cenderung muncul yang paling sering ialah demam atau flu. Baru diserang flu, luar biasa menderitanya dalam fase aktif penyakit, mulai dari satu hingga dua hari.
Hidung meler tak henti-henti, kepala rasanya berat, tubuh lesu, mata berair. Gejala utama tersebut bisa saja ditambah dengan batuk atau mungkin BAB encer. Biasanya kasus tersebut terjadi apabila tubuh masuk angin atau mengonsumsi makanan yang 'jorok'.
Jorok dalam artian, sambel yang terlalu pedas, mungkin juga kurang bersih pada makanan atau tempat makan yang kurang higienis dan sebagainya. Harus diperhatikan memang urusan makanan, walau kelihatannya sepele, tetapi bila sudah sakit, maka ongkos yang diperlukan untuk biaya berobat tidaklah sedikit.
Cerita penulis, hari ini atau 16 Februari 2015 berobat di PMI Bogor. Biasanya sih sudah langganan bila sakit, pasti berobatnya ke PMI Bogor, dan sudah langganan pula bila berobat di poliklinik penyakit dalam.
Biasanya dari kantor ada kartu asuransi yang bisa membantu meringankan biaya berobat, tetapi penulis sadar bahwa di kartu itu tertulis masa berlaku hingga 31 Januari 2015, atau sudah expired.
Di PMI Bogor ada poliklinik afiat, ada juga poliklinik reguler. Keduanya sama-sama terletak di jalan padjajaran, bogor, berdekatan atau sebelah-sebelahan. Sebagian besar pasien berobat di poliklinik reguler, karena umumnya biaya berobat di sini lebih murah.
Penulis pernah berobat untuk umum di poliklinik reguler, biaya administrasi konsultasi dokter Rp80 ribu, sedangkan di poliklinik afiat seharga Rp120 ribu. Padahal, dokternya sama, tetapi penulis pikir perlakuannya akan berbeda.
Biaya administrasi konsultasi dokter itu belum ditambah dengan resep obat yang akan ditebus ya. Jadi, bisa dibilang kalau ditotal ongkos satu kali berobat cukup mahal.
Jadwal dokter tampaknya diatur sedemikian rupa, bila sudah selesai di poliklinik reguler, maka dokter tinggal jalan kaki saja menuju poliklinik afiat untuk melayani pasien lagi.
Bedanya di mana? gedung beda, ongkos adiministrasi konsul dokter beda, ngantri di poliklinik afiat agak lebih cepat, sedangkan di poliklinik reguler bisa lama. Sebab, di poliklinik reguler lebih banyak didatangi pasien, sehingga ngantri otomatis menjadi lebih lama.
Mungkin ada stigma, di poliklinik afiat itu tempat berobatnya orang kaya, sementara di poliklinik reguler itu kalangan menengah ke bawah. Walau demikian, di poliklinik afiat juga menerima asuransi dari macam-macam perusahaan, sepertinya, yang membuat ongkos berobat menjadi lebih murah.
Ada cerita menarik, saat penulis berobat di poliklinik afiat penyakit dalam. Penulis tidak akan sebut dokternya siapa, tetapi menurut penulis ini menarik.
Dahulu, saat berobat waktu masih kecil, pasti ada ibu yang biasa menemani untuk berobat ke dokter. Lebih banyak ibu yang berbicara perihal keluhan dan apa yang sedang terjadi pada si anak.
Tetapi, kini penulis bisa berobat sendiri dan mau tidak mau harus berbicara saat konsul ke dokter, entah itu perihal keluhan atau hal lain, basa-basi yang dirasa perlu untuk ditanyakan.
Singkat cerita, saat keluhan sudah disampaikan, waktu menjadi hening di ruangan dokter, daripada tidak ada bahasan, penulis bertanya, "Dok, kemarin sih saya geber minum madu sama susu cap beruang (bear brand), itu gapapa dok?".
Apa kata dokter? kurang lebih begini jawabannya, "iya gapapa, tapi ya ga ada gunanya," kata dokter. Jawaban dari seorang dokter, yang penulis pikir, terserah dia jawabannya mau seperti apa, tetapi setidaknya hargai mereka di luar sana yang mungkin tidak memiliki uang lebih untuk berobat, maka cukup meminum madu atau susu cap beruang adalah langkah cerdas dibandingkan tubuh tidak ada asupan sama sekali.
Mungkin sisi logisnya begini, flu itu kan penyakit yang disebabkan bakteri atau virus, maka cara paling ampuh ialah membunuh bakteri atau virus tersebut. Ingat, dibunuh dengan obat. Sedangkan, meminum madu atau susu bear brand hanya meningkatkan daya tahan tubuh atau imunitas.
Beda bukan? efektivitas memang terlihat bila 'biang kerok'nya penyakit itu dimatikan. Ibarat dalam suatu pertempuran, musuh yang menyerang dipanah hingga tak berkutik, bukan dengan menguatkan benteng pertahanan.
Mungkin analogi tersebut terlalu sederhana, tetapi lebih kurang bila dilogikakan seperti itu. Maka, tak aneh sih dokter bilang "ga ada gunanya", dari kacamata dokter itu lho ya. Mungkin juga dia bilang begitu, bila benar madu atau susu cap beruang itu khasiatnya bisa menyembuhkan, maka untuk apa fungsi dokter beserta oret-oretan resep obat bejibun yang tidak bisa dibaca itu?
Bagaimanapun juga yang menyembuhkan adalah Allah. Obat dan makanan suplemen atau vitamin hanyalah perantara yang dengan izin-Nya, maka kita bisa sembuh dari suatu penyakit.
*****
Maka, sistem ini perlu diberikan 'waktunya' untuk beristirahat, terutama tidur yang cukup. Namun, apa jadinya bila porsi istirahat menjadi kurang, tetapi setiap hari sudah harus digenjot terus dengan pekerjaan yang menguras energi?
Bila satu atau dua hari mungkin tubuh masih bisa sehat, walau tanda-tanda lelah seperti ngantuk di siang hari (karena kurang tidur) itu sudah menjadi pertanda bahwa tubuh perlu istirahat.
Agak sulit memang, saat seharian bekerja dari pagi hingga sore atau malam hari, terdapat porsi istirahat yang sebetulnya cukup, namun mata tak jua ingin terpejam. Ada hal lain yang ingin dilakukan, mungkin hiburan atau sekadar berinteraksi dengan sosial media.
Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk melepas penat dengan akses hiburan justru hanya menjadi sisa di ujung lelah larut malam. Maka, bila sudah kurang istirahat, terlebih aktivitas pekerjaan yang memerlukan energi yang prima, walau minum, makan banyak dan teratur, tetap saja penyakit akan mudah muncul.
Imunitas tubuh menjadi menurun, maka tubuh mudah terserang penyakit. Penyakit yang lebih cenderung muncul yang paling sering ialah demam atau flu. Baru diserang flu, luar biasa menderitanya dalam fase aktif penyakit, mulai dari satu hingga dua hari.
Hidung meler tak henti-henti, kepala rasanya berat, tubuh lesu, mata berair. Gejala utama tersebut bisa saja ditambah dengan batuk atau mungkin BAB encer. Biasanya kasus tersebut terjadi apabila tubuh masuk angin atau mengonsumsi makanan yang 'jorok'.
Jorok dalam artian, sambel yang terlalu pedas, mungkin juga kurang bersih pada makanan atau tempat makan yang kurang higienis dan sebagainya. Harus diperhatikan memang urusan makanan, walau kelihatannya sepele, tetapi bila sudah sakit, maka ongkos yang diperlukan untuk biaya berobat tidaklah sedikit.
Cerita penulis, hari ini atau 16 Februari 2015 berobat di PMI Bogor. Biasanya sih sudah langganan bila sakit, pasti berobatnya ke PMI Bogor, dan sudah langganan pula bila berobat di poliklinik penyakit dalam.
Biasanya dari kantor ada kartu asuransi yang bisa membantu meringankan biaya berobat, tetapi penulis sadar bahwa di kartu itu tertulis masa berlaku hingga 31 Januari 2015, atau sudah expired.
Di PMI Bogor ada poliklinik afiat, ada juga poliklinik reguler. Keduanya sama-sama terletak di jalan padjajaran, bogor, berdekatan atau sebelah-sebelahan. Sebagian besar pasien berobat di poliklinik reguler, karena umumnya biaya berobat di sini lebih murah.
Penulis pernah berobat untuk umum di poliklinik reguler, biaya administrasi konsultasi dokter Rp80 ribu, sedangkan di poliklinik afiat seharga Rp120 ribu. Padahal, dokternya sama, tetapi penulis pikir perlakuannya akan berbeda.
Biaya administrasi konsultasi dokter itu belum ditambah dengan resep obat yang akan ditebus ya. Jadi, bisa dibilang kalau ditotal ongkos satu kali berobat cukup mahal.
Jadwal dokter tampaknya diatur sedemikian rupa, bila sudah selesai di poliklinik reguler, maka dokter tinggal jalan kaki saja menuju poliklinik afiat untuk melayani pasien lagi.
Bedanya di mana? gedung beda, ongkos adiministrasi konsul dokter beda, ngantri di poliklinik afiat agak lebih cepat, sedangkan di poliklinik reguler bisa lama. Sebab, di poliklinik reguler lebih banyak didatangi pasien, sehingga ngantri otomatis menjadi lebih lama.
Mungkin ada stigma, di poliklinik afiat itu tempat berobatnya orang kaya, sementara di poliklinik reguler itu kalangan menengah ke bawah. Walau demikian, di poliklinik afiat juga menerima asuransi dari macam-macam perusahaan, sepertinya, yang membuat ongkos berobat menjadi lebih murah.
Ada cerita menarik, saat penulis berobat di poliklinik afiat penyakit dalam. Penulis tidak akan sebut dokternya siapa, tetapi menurut penulis ini menarik.
Dahulu, saat berobat waktu masih kecil, pasti ada ibu yang biasa menemani untuk berobat ke dokter. Lebih banyak ibu yang berbicara perihal keluhan dan apa yang sedang terjadi pada si anak.
Tetapi, kini penulis bisa berobat sendiri dan mau tidak mau harus berbicara saat konsul ke dokter, entah itu perihal keluhan atau hal lain, basa-basi yang dirasa perlu untuk ditanyakan.
Singkat cerita, saat keluhan sudah disampaikan, waktu menjadi hening di ruangan dokter, daripada tidak ada bahasan, penulis bertanya, "Dok, kemarin sih saya geber minum madu sama susu cap beruang (bear brand), itu gapapa dok?".
Apa kata dokter? kurang lebih begini jawabannya, "iya gapapa, tapi ya ga ada gunanya," kata dokter. Jawaban dari seorang dokter, yang penulis pikir, terserah dia jawabannya mau seperti apa, tetapi setidaknya hargai mereka di luar sana yang mungkin tidak memiliki uang lebih untuk berobat, maka cukup meminum madu atau susu cap beruang adalah langkah cerdas dibandingkan tubuh tidak ada asupan sama sekali.
Mungkin sisi logisnya begini, flu itu kan penyakit yang disebabkan bakteri atau virus, maka cara paling ampuh ialah membunuh bakteri atau virus tersebut. Ingat, dibunuh dengan obat. Sedangkan, meminum madu atau susu bear brand hanya meningkatkan daya tahan tubuh atau imunitas.
Beda bukan? efektivitas memang terlihat bila 'biang kerok'nya penyakit itu dimatikan. Ibarat dalam suatu pertempuran, musuh yang menyerang dipanah hingga tak berkutik, bukan dengan menguatkan benteng pertahanan.
Mungkin analogi tersebut terlalu sederhana, tetapi lebih kurang bila dilogikakan seperti itu. Maka, tak aneh sih dokter bilang "ga ada gunanya", dari kacamata dokter itu lho ya. Mungkin juga dia bilang begitu, bila benar madu atau susu cap beruang itu khasiatnya bisa menyembuhkan, maka untuk apa fungsi dokter beserta oret-oretan resep obat bejibun yang tidak bisa dibaca itu?
Bagaimanapun juga yang menyembuhkan adalah Allah. Obat dan makanan suplemen atau vitamin hanyalah perantara yang dengan izin-Nya, maka kita bisa sembuh dari suatu penyakit.
*****
Comments
Post a Comment