Penulis jadi paham, mengapa setelah putus sebuah hubungan asmara. Tanpa ada aturan tertulis, tetapi hati menginginkan fase "netral" yang mengandalkan waktu sebagai masa cooling down.
Setelah masa cooling down, maka hati mungkin baru akan bisa menerima kehadiran cinta yang masih segar. Sebelum masa defragmented atau "menata hati" itu selesai, maka diri lebih cenderung menjauhi hal yang berbau percintaan dan menyibukan diri dengan aktivitas lain.
Boleh jadi, masa cooling down itu memang betul-betul diperlukan untuk memberikan waktu apakah si dia (mantan) akan kembali atau tidak. Bila ternyata tidak, itu bisa semakin mempermulus upaya moving on.
Maaf, ketahuan sekali penulis jarang pacaran atau tidak terlalu mengerti seluk beluk kisah kasih demikian. Sehingga, tidak begitu dimengerti seni nya bahwa cinta membutuhkan waktu untuk legitimasi atau penerimaan.
Mungkin selama ini penulis lebih banyak menghabiskan waktu untuk mempersiapkan dan mempersiapkan, hingga tidak sadar ada sesuatu yang sebetulnya lebih utama, yakni memahami. Namun, yang penulis tahu, cinta itu ibarat "obat" yang mengantarkan pada bahagia.
Bila tidak menjuruskan pada bahagia, maka tentu ada yang salah. Kesalahan bukan datang dari cintanya, tetapi yang perlu diperhatikan ialah cara menyikapinya, cara mengekspresikannya atau cara menunjukkan keseriusan cinta, serta memperhatikan waktu yang tepat untuk menyampaikan perasaan tersebut.
Terlebih bila cinta itu diarahkan sebagai pondasi untuk merajut hubungan yang lebih serius. Ini bukan lagi sebagai perban sementara bagi luka masa lalu, tetapi 'penyembuhan permanen' dari segala bentuk kegalauan dan kesendirian. Sebab nawaitunya pun berbeda, tidak untuk bermain-main dalam sandiwara.
Yang lebih utama lagi ialah menjaga kesetiaan cinta, sekalipun ditolak, sekalipun diabaikan. Pasti ada suatu titik episode di mana cinta itu membutuhkan tempat bernaungnya, kepada seseorang yang berjuang demi diri kita, kepada seseorang yang menurut kita terbaik dan paling tepat pada akhirnya untuk menjadi pelabuhan terakhir.
Akan tetapi, permasalahannya, berapa lama? Sebab, perlu dibedakan antara perasaan cinta kepadanya, berharap kepadanya, dengan sebuah kecerdasan untuk tidak menyia-nyiakan waktu dan kehidupan.
Penulis sudah sangat siap terhadap segala konsekuensi, mungkin banyak mendengar nasehat sebelum benar-benar merasa jatuh hati. Sehingga, selain memperhatikan rambu-rambu dalam sebuah pendekatan, juga sudah mempersiapkan untuk berlapang dada terhadap kemungkinan penerimaan atau sebaliknya.
Dengan siapnya seseorang jatuh cinta, seyogianya kita pun siap untuk kemungkinan merasakan patah hati. Bila yang dahulu diharapkan telah pergi, bersiap pula menerima kemungkinan bila suatu hari ada cinta baru yang menghampiri.
Namun, lagi-lagi, tidak semudah apa yang diucapkan. Terkadang kita tidak siap untuk merasakan patah hati atau putus, tetapi sangat bergembira saat-saat hubungan hangat itu baru mulai atau sedang terjalin.
Kesetiaan adalah modal utama untuk tetap mempertahankan hubungan cinta, tetapi tidak bisa ia terpupuk bila hanya satu pihak yang berjuang. Disitulah logika bisa dipakai untuk berpikir tentang kebaikan masa depan, bukan terlarut dalam kepedihan masa lalu.
Sedikit penulis bercerita, trauma 'kisah' masa lalu yang cukup mempengaruhi diri, bagaimana pada akhirnya kita harus lebih tegar dan siap terhadap risiko apapun, termasuk adanya 'rejection' atau 'acceptance'.
Digantung selama dua tahun (pada era 2009-2010), cukup memberikan pukulan terberat, hingga tersingkap misteri bahwa saat itu rupanya dia menjalin hubungan khusus dengan yang lain. Gedung kampus menjadi saksi mata, rumput lapangan depan Fakultas Ekonomi menjadi saksi bisu atas kebersamaan keduanya.
Kala itu, lebih banyak memilih untuk diam, tanpa menyentil kembali tentang kepastian jawaban. Maklum, mahasiswa yang masih malu-malu, biarlah fokus kuliah saja, hingga kerapuhan itu mengonstruksi pikiran untuk menghindari hal demikian terulang kembali.
Terima kasih kepada bapak dosen Pengantar Teori Komunikasi dahulu (semester 3), yang pernyataan beliau sampai saat ini masih teringat. Bukannya asyik membahas materi perkuliahan, Bapak Dosen yang memberikan penulis nilai D (kemudian penulis SP dan mendapat nilai A) ini lebih banyak bercerita tentang kisah-kasih percintaan.
Beliau bilang, "kalau dia tidak menjawab langsung ya atau tidak saat dinyatakan perasaan atau maksud 'penembakan', maka tinggalkanlah dia".
Sebab, mungkin saja dia tidak tega atau berkeinginan menolak tetapi tidak ingin menyakiti perasaan. Ini hipotesis pertama. Hipotesi lainnya, dia ingin melihat seberapa serius dan setianya kita menanti sebuah jawaban, walau hati digerogoti perasaan yang selalu tidak menentu, serba salah.
Baru ngeh kata-kata dalam film Assalamualaikum Beijing yang berbunyi, "Cinta itu menjaga, tergesa-gesa itu nafsu belaka,". Dalam hati kecil bicara, Hei, kenapa sih sepertinya terburu-buru sekali? Seperti sudah kebakaran jenggot saja dan bakal beneran resolusi itu benar-benar terlaksana tahun ini. Santai dulu lah, saling mengenal lebih dalam!.
Kalaupun betulan menjalin, belum tentu juga tercapai tahun ini. Ada kemungkinan bisa lanjut, bisa juga gagal atau kandas di tengah jalan. Who knows? Manusia hanya mampu berusaha dan berdoa.
Tapi tunggu dulu, perlu dibedakan antara terburu-buru dan bersegera. Bila bersegera untuk kebaikan apakah itu sebuah kesalahan? Andai film Assalamualaikum Beijing lebih dulu ditonton daripada The Hobbit pada waktu sebelum tahun baru, mungkin lain ceritanya, mungkin.
Yang pasti kata-kata Asma dalam film yang diangkat dari Novelis Asma Nadia itu cukup menohok.
Persoalannya memang tidak semudah yang dikatakan tersebut. Jauh lebih rumit dan pelik. Paradigma semakin menguat ditambah sebuah kutipan yang diambil dari buku "Jalan Cinta Para Pejuang," karya Salim A. Fillah.
Diceritakan dalam buku itu tentang kisah sebelum menikahnya Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah, putri Rasulullah SAW. "Cinta tak meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, itulah keberanian, atau ia mempersilakan, yang ini pengorbanan,".
Maka kemudian, Ali memberanikan diri melamar Fathimah, mengambil kesempatan setelah sebelumnya mempersilakan sahabat terdekat Rasulullah SAW untuk mencoba meminang putrinya Fathimah, walau pinangan mereka kemudian ditolak.
Ada juga kata-kata bijak yang mengungkap, lebih kurang begini bunyinya, "Anak muda, Menikahlah sebelum mapan. Agar anak-anak Anda dibesarkan bersama kesulitan-kesulitan Anda. Agar Anda dan anak-anak kenyang merasakan betapa ajaibnya kekuasaan Allah. Jangan sampai Anda meninggalkan anak-anak yang tak paham bahwa hidup adalah perjuangan," kata Adriano Rusfi.
Belum lagi dorongan dari dalam diri, keinginan untuk menyempurnakan separuh dien, ibadah karena Allah dan menentramkan batin. Maka, resolusi untuk mewujudkan hal itu yang kemudian terbentuk, diupayakan dalam doa dan harapan.
Pengaruh lainnya muncul dari orang-orang terdekat, membisikan 'pecutan' untuk bersegera. "Fi, gimana progresnya? Jangan lama-lama nanti diambil orang,". "Iya bang, iya (ngangguk-ngangguk)," jawab penulis sedikit cemas, membenarkan kata-kata abang mantan redpel yang kini sudah resign.
Ada lagi pernyataan yang mempacu untuk bersegera, satu-satunya mbak redpel yang pada sebuah kesempatan ia sempat berujar, "Fi, ingat ya, di sini banyak saingannya. Jadi, lo harus punya strategi," ucapnya lebih kurang seperti itu.
Strategi macam apa yang harus dilancarkan? Upaya macam apa lagi yang paling efektif untuk dilakukan? Adakah bentuk keseriusan selain memintanya untuk menjadi calon pasangan hidup?.
Walau seharusnya memang tidak perlu secepat itu. Waduh, seperti termakan omongan orang-orang di sekitar, tetapi sang logika membela bahwa itu adalah hal wajar yang bisa dilakukan, bukan untuk tujuan PHP.
Sebelumnya penulis pernah mengalami kisah pilu, di mana diri lebih memilih diam, dengan maksud untuk tetap menjaga perasaan dan meningkatkan kualitas diri (kerja dulu yang benar, baca buku, menabung, ibadah ditingkatin). Namun, diam yang katanya emas itu, malah berujung pada sikap mengikhlaskan bahwa perempuan itu sudah memiliki calon.
Terima kasih untuk Novelis Tere Liye, yang kata-kata mutiaranya terkadang terasa, seperti betulan iya memang begitu ya. Juga, Bapak Mario Teguh yang bermaksud menasehati.
Satu lagi desakan terberat datang saat penantian jawaban, karena orang yang dahulu di dekati, diketahui saat itu ia memiliki kekasih, sekarang seperti mendekat dan menanyakan sesuatu. "Fi, lagi dekat sama siapa?," begitu lebih kurang pertanyaannya, yang bisa menjuruskan pada maksud implisit, walau kemudian hati lebih memilih untuk berprasangka baik dan menjawab dengan tenang (tanpa harus ke-GR-an duluan).
"Fi, makanya fokus fi," teringat celotehan salah satu teman di kantor. Iya ini juga sudah fokus, sedang menunggu kepastian.
Dan kini, jawaban itu sepertinya sudah datang lebih cepat dari dugaan. Apakah jawaban itu tidak tergesa-gesa? apakah sudah final?
Haruskah dikubur segala hal yang penulis anggap itu bersejarah, pertemuan di sebuah Plaza di ibu kota hingga nyasar mencari tempat makan, mencari komik yang tidak ketemu di sebuah toko Buku, makan di salah satu Fast Food depan Tugu Tani, melangkahkah kaki bersama menuju parkiran motor, menciptakan kegaduhan dengan mengetuk martil melubangi plat motor, mengendarai motor matic yang sedikit kagok, perbincangan santai di kafe Vanila, menyantap panasnya nasi goreng yang rasanya biasa saja, tetapi menjadi 'luar biasa' di depannya.
Dan masih banyak hal-hal lainnya yang menarik menurut penulis. Masih ada tempat yang mungkin belum sempat dikunjungi, yang kini belum kesampaian. Masih adakah harapan?
Seandainya waktu bisa terulang, pasti Nobita sudah meminta mesin waktu Doraemon untuk lebih bisa cerdas kapan waktu terbaik mengatakan sesuatu yang dianggap terlalu cepat kepada Shizuka-nya.
Bila sudah demikian, apa yang kini bisa penulis perbuat? Merasa terperangkap dengan perasaan diri sendiri. Toh, saat ini pun tidak ada pengganti, tidak ada seseorang yang lain, tidak ada yang spesial, tidak atau mungkin belum ada yang lain.
Ibarat lesatan anak panah yang sudah meluncur dari busurnya, "tidak ada yang bisa memberikan anak panah baru untuk ditembakkan, kecuali targetnya sendiri yang menyediakan kesempatan untuk memberikan anak panah itu,".
*****
(Foto: Welldoing)
Setelah masa cooling down, maka hati mungkin baru akan bisa menerima kehadiran cinta yang masih segar. Sebelum masa defragmented atau "menata hati" itu selesai, maka diri lebih cenderung menjauhi hal yang berbau percintaan dan menyibukan diri dengan aktivitas lain.
Boleh jadi, masa cooling down itu memang betul-betul diperlukan untuk memberikan waktu apakah si dia (mantan) akan kembali atau tidak. Bila ternyata tidak, itu bisa semakin mempermulus upaya moving on.
Maaf, ketahuan sekali penulis jarang pacaran atau tidak terlalu mengerti seluk beluk kisah kasih demikian. Sehingga, tidak begitu dimengerti seni nya bahwa cinta membutuhkan waktu untuk legitimasi atau penerimaan.
Mungkin selama ini penulis lebih banyak menghabiskan waktu untuk mempersiapkan dan mempersiapkan, hingga tidak sadar ada sesuatu yang sebetulnya lebih utama, yakni memahami. Namun, yang penulis tahu, cinta itu ibarat "obat" yang mengantarkan pada bahagia.
Bila tidak menjuruskan pada bahagia, maka tentu ada yang salah. Kesalahan bukan datang dari cintanya, tetapi yang perlu diperhatikan ialah cara menyikapinya, cara mengekspresikannya atau cara menunjukkan keseriusan cinta, serta memperhatikan waktu yang tepat untuk menyampaikan perasaan tersebut.
Terlebih bila cinta itu diarahkan sebagai pondasi untuk merajut hubungan yang lebih serius. Ini bukan lagi sebagai perban sementara bagi luka masa lalu, tetapi 'penyembuhan permanen' dari segala bentuk kegalauan dan kesendirian. Sebab nawaitunya pun berbeda, tidak untuk bermain-main dalam sandiwara.
Yang lebih utama lagi ialah menjaga kesetiaan cinta, sekalipun ditolak, sekalipun diabaikan. Pasti ada suatu titik episode di mana cinta itu membutuhkan tempat bernaungnya, kepada seseorang yang berjuang demi diri kita, kepada seseorang yang menurut kita terbaik dan paling tepat pada akhirnya untuk menjadi pelabuhan terakhir.
Akan tetapi, permasalahannya, berapa lama? Sebab, perlu dibedakan antara perasaan cinta kepadanya, berharap kepadanya, dengan sebuah kecerdasan untuk tidak menyia-nyiakan waktu dan kehidupan.
Penulis sudah sangat siap terhadap segala konsekuensi, mungkin banyak mendengar nasehat sebelum benar-benar merasa jatuh hati. Sehingga, selain memperhatikan rambu-rambu dalam sebuah pendekatan, juga sudah mempersiapkan untuk berlapang dada terhadap kemungkinan penerimaan atau sebaliknya.
Dengan siapnya seseorang jatuh cinta, seyogianya kita pun siap untuk kemungkinan merasakan patah hati. Bila yang dahulu diharapkan telah pergi, bersiap pula menerima kemungkinan bila suatu hari ada cinta baru yang menghampiri.
Namun, lagi-lagi, tidak semudah apa yang diucapkan. Terkadang kita tidak siap untuk merasakan patah hati atau putus, tetapi sangat bergembira saat-saat hubungan hangat itu baru mulai atau sedang terjalin.
Kesetiaan adalah modal utama untuk tetap mempertahankan hubungan cinta, tetapi tidak bisa ia terpupuk bila hanya satu pihak yang berjuang. Disitulah logika bisa dipakai untuk berpikir tentang kebaikan masa depan, bukan terlarut dalam kepedihan masa lalu.
Sedikit penulis bercerita, trauma 'kisah' masa lalu yang cukup mempengaruhi diri, bagaimana pada akhirnya kita harus lebih tegar dan siap terhadap risiko apapun, termasuk adanya 'rejection' atau 'acceptance'.
Digantung selama dua tahun (pada era 2009-2010), cukup memberikan pukulan terberat, hingga tersingkap misteri bahwa saat itu rupanya dia menjalin hubungan khusus dengan yang lain. Gedung kampus menjadi saksi mata, rumput lapangan depan Fakultas Ekonomi menjadi saksi bisu atas kebersamaan keduanya.
Kala itu, lebih banyak memilih untuk diam, tanpa menyentil kembali tentang kepastian jawaban. Maklum, mahasiswa yang masih malu-malu, biarlah fokus kuliah saja, hingga kerapuhan itu mengonstruksi pikiran untuk menghindari hal demikian terulang kembali.
Terima kasih kepada bapak dosen Pengantar Teori Komunikasi dahulu (semester 3), yang pernyataan beliau sampai saat ini masih teringat. Bukannya asyik membahas materi perkuliahan, Bapak Dosen yang memberikan penulis nilai D (kemudian penulis SP dan mendapat nilai A) ini lebih banyak bercerita tentang kisah-kasih percintaan.
Beliau bilang, "kalau dia tidak menjawab langsung ya atau tidak saat dinyatakan perasaan atau maksud 'penembakan', maka tinggalkanlah dia".
Sebab, mungkin saja dia tidak tega atau berkeinginan menolak tetapi tidak ingin menyakiti perasaan. Ini hipotesis pertama. Hipotesi lainnya, dia ingin melihat seberapa serius dan setianya kita menanti sebuah jawaban, walau hati digerogoti perasaan yang selalu tidak menentu, serba salah.
Baru ngeh kata-kata dalam film Assalamualaikum Beijing yang berbunyi, "Cinta itu menjaga, tergesa-gesa itu nafsu belaka,". Dalam hati kecil bicara, Hei, kenapa sih sepertinya terburu-buru sekali? Seperti sudah kebakaran jenggot saja dan bakal beneran resolusi itu benar-benar terlaksana tahun ini. Santai dulu lah, saling mengenal lebih dalam!.
Kalaupun betulan menjalin, belum tentu juga tercapai tahun ini. Ada kemungkinan bisa lanjut, bisa juga gagal atau kandas di tengah jalan. Who knows? Manusia hanya mampu berusaha dan berdoa.
Tapi tunggu dulu, perlu dibedakan antara terburu-buru dan bersegera. Bila bersegera untuk kebaikan apakah itu sebuah kesalahan? Andai film Assalamualaikum Beijing lebih dulu ditonton daripada The Hobbit pada waktu sebelum tahun baru, mungkin lain ceritanya, mungkin.
Yang pasti kata-kata Asma dalam film yang diangkat dari Novelis Asma Nadia itu cukup menohok.
Persoalannya memang tidak semudah yang dikatakan tersebut. Jauh lebih rumit dan pelik. Paradigma semakin menguat ditambah sebuah kutipan yang diambil dari buku "Jalan Cinta Para Pejuang," karya Salim A. Fillah.
Diceritakan dalam buku itu tentang kisah sebelum menikahnya Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah, putri Rasulullah SAW. "Cinta tak meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, itulah keberanian, atau ia mempersilakan, yang ini pengorbanan,".
Maka kemudian, Ali memberanikan diri melamar Fathimah, mengambil kesempatan setelah sebelumnya mempersilakan sahabat terdekat Rasulullah SAW untuk mencoba meminang putrinya Fathimah, walau pinangan mereka kemudian ditolak.
Ada juga kata-kata bijak yang mengungkap, lebih kurang begini bunyinya, "Anak muda, Menikahlah sebelum mapan. Agar anak-anak Anda dibesarkan bersama kesulitan-kesulitan Anda. Agar Anda dan anak-anak kenyang merasakan betapa ajaibnya kekuasaan Allah. Jangan sampai Anda meninggalkan anak-anak yang tak paham bahwa hidup adalah perjuangan," kata Adriano Rusfi.
Belum lagi dorongan dari dalam diri, keinginan untuk menyempurnakan separuh dien, ibadah karena Allah dan menentramkan batin. Maka, resolusi untuk mewujudkan hal itu yang kemudian terbentuk, diupayakan dalam doa dan harapan.
Pengaruh lainnya muncul dari orang-orang terdekat, membisikan 'pecutan' untuk bersegera. "Fi, gimana progresnya? Jangan lama-lama nanti diambil orang,". "Iya bang, iya (ngangguk-ngangguk)," jawab penulis sedikit cemas, membenarkan kata-kata abang mantan redpel yang kini sudah resign.
Ada lagi pernyataan yang mempacu untuk bersegera, satu-satunya mbak redpel yang pada sebuah kesempatan ia sempat berujar, "Fi, ingat ya, di sini banyak saingannya. Jadi, lo harus punya strategi," ucapnya lebih kurang seperti itu.
Strategi macam apa yang harus dilancarkan? Upaya macam apa lagi yang paling efektif untuk dilakukan? Adakah bentuk keseriusan selain memintanya untuk menjadi calon pasangan hidup?.
Walau seharusnya memang tidak perlu secepat itu. Waduh, seperti termakan omongan orang-orang di sekitar, tetapi sang logika membela bahwa itu adalah hal wajar yang bisa dilakukan, bukan untuk tujuan PHP.
Sebelumnya penulis pernah mengalami kisah pilu, di mana diri lebih memilih diam, dengan maksud untuk tetap menjaga perasaan dan meningkatkan kualitas diri (kerja dulu yang benar, baca buku, menabung, ibadah ditingkatin). Namun, diam yang katanya emas itu, malah berujung pada sikap mengikhlaskan bahwa perempuan itu sudah memiliki calon.
Terima kasih untuk Novelis Tere Liye, yang kata-kata mutiaranya terkadang terasa, seperti betulan iya memang begitu ya. Juga, Bapak Mario Teguh yang bermaksud menasehati.
Satu lagi desakan terberat datang saat penantian jawaban, karena orang yang dahulu di dekati, diketahui saat itu ia memiliki kekasih, sekarang seperti mendekat dan menanyakan sesuatu. "Fi, lagi dekat sama siapa?," begitu lebih kurang pertanyaannya, yang bisa menjuruskan pada maksud implisit, walau kemudian hati lebih memilih untuk berprasangka baik dan menjawab dengan tenang (tanpa harus ke-GR-an duluan).
"Fi, makanya fokus fi," teringat celotehan salah satu teman di kantor. Iya ini juga sudah fokus, sedang menunggu kepastian.
Dan kini, jawaban itu sepertinya sudah datang lebih cepat dari dugaan. Apakah jawaban itu tidak tergesa-gesa? apakah sudah final?
Haruskah dikubur segala hal yang penulis anggap itu bersejarah, pertemuan di sebuah Plaza di ibu kota hingga nyasar mencari tempat makan, mencari komik yang tidak ketemu di sebuah toko Buku, makan di salah satu Fast Food depan Tugu Tani, melangkahkah kaki bersama menuju parkiran motor, menciptakan kegaduhan dengan mengetuk martil melubangi plat motor, mengendarai motor matic yang sedikit kagok, perbincangan santai di kafe Vanila, menyantap panasnya nasi goreng yang rasanya biasa saja, tetapi menjadi 'luar biasa' di depannya.
Dan masih banyak hal-hal lainnya yang menarik menurut penulis. Masih ada tempat yang mungkin belum sempat dikunjungi, yang kini belum kesampaian. Masih adakah harapan?
Seandainya waktu bisa terulang, pasti Nobita sudah meminta mesin waktu Doraemon untuk lebih bisa cerdas kapan waktu terbaik mengatakan sesuatu yang dianggap terlalu cepat kepada Shizuka-nya.
Bila sudah demikian, apa yang kini bisa penulis perbuat? Merasa terperangkap dengan perasaan diri sendiri. Toh, saat ini pun tidak ada pengganti, tidak ada seseorang yang lain, tidak ada yang spesial, tidak atau mungkin belum ada yang lain.
Ibarat lesatan anak panah yang sudah meluncur dari busurnya, "tidak ada yang bisa memberikan anak panah baru untuk ditembakkan, kecuali targetnya sendiri yang menyediakan kesempatan untuk memberikan anak panah itu,".
"Air hujan yang jatuh tak pernah membenci awan. Cinta yang terlanjur tumbuh tak pernah sesalkan pertemuan".
*****
(Foto: Welldoing)
Comments
Post a Comment