Kisah ini rupanya belum tuntas juga. Setelah pertemuan perdana, pertemuan kedua, pertemuan ketiga dan pertemuan keempat, masing-masing memiliki cerita yang berbeda-beda.
Kisah yang masih sama, dengan status yang sama, tiada perbedaan, tetapi sebuah rasa sudah semakin mendewasa, lebih bisa terkontrol dibanding masa sebelumnya.
Rasa menggebu perlahan sudah menemukan ritme cantiknya. Saat mendengarkan suara hati, hanya jeritan dari dalam lubuk jiwa yang berbicara lantang, menggemakan asa, mendorong ucapan maupun tindakan untuk lebih mampu memahami, menyayangi dan meletakkan perhatian.
Sedangkan bila logika yang digenggam, sebuah rasa lebih mampu terkendali dengan mempertimbangkan baik dan buruk. Melihat lebih cerdas dalam menganalisis sebuah kondisi dan memperhitungkan apa yang akan terjadi berikutnya dari setiap perbuatan.
Mungkinkah ini takdir atau suratan, saat Allah menitipkan sebuah perasaan yang seharusnya indah, tetapi justru menjadi cobaan. Ya, tanpa sebuah ikatan pernikahan, segala kecenderungan ketertarikan hanya menjadi malapetaka.
Pagi ini penulis sudah nawaitukan tidak masuk kantor dan bergegas untuk mengurus sebuah urusan, sebelum akhirnya beranjak ke sebuah universitas negeri terkemuka yang letaknya dekat dengan jalan Margonda.
Di kampus ini pun, penulis memiliki sebuah urusan dan setelah urusan itu selesai, waktu bebas memberikan pilihan untuk menanti dirinya datang di stasiun kereta api jabodetabek, setelah ia pulang dari tempat kerjanya.
Entah perasaan sayang hanya sebatas pertemanan atau lebih dari itu, yang pasti kondisinya sangat memungkinkan untuk menunggunya hingga datang dan mengantarnya hingga ke rumah.
Ada oleh-oleh dari Jawa Tengah yang di simpan dalam sebuah tas, yang biasa penulis bawa bepergian kantoran. Lagi-lagi nawaitunya sudah bulat, bertemu atau tidak bertemu, makanan ringan ini harus sampai padanya, karena sudah beberapa kali gagal bertemu.
Dan, kali ini gagal lagi bertemu, ada hal yang jauh lebih penting, yakni urusan keluarga yang tidak mungkin penulis tinggalkan.
Seperti lebih sayang terhadap makanan yang kelak akan kadaluarsa bila tidak dimakan, maka nawaitunya lillahita'ala mengantarkan oleh-oleh itu ke rumahnya.
Bermodalkan nekad dengan rasa deg-degan, penulis plintir 'ngegas' motor hingga sampai di depan rumahnya. Kala itu awan mendung, rintik gerimis sedikit membuat cemas, takut oleh-oleh itu dan pengemudi motornya (penulis) bisa basah kuyup.
Namun, segalanya berjalan sesuai rencana. Sebelum benar-benar hujan, buah tangan dari Semarang itu diterima dengan baik oleh ayahanda-nya. Dengan wajah sumringah sekaligus gugup, penulis berikan kepada ayahanda-nya dua jenis makanan yang dibungkus rapi dalam kemasan.
Tidak lama, sepertinya kurang dari satu atau dua menit penulis selesai mengucap salam, memperkenalkan diri dan memberikan bingkisan itu, kemudian pergi dengan hati lega. Mungkin ia tidak tahu saat itu, penulis datang ke rumahnya, bertemu ayahnya dan mempersembahkan oleh-oleh itu untuk beliau serta keluarga.
Usai mengucap salam, penulis kemudian bergegas menggoyang standar motor dan membuat kuda besi berwarna biru itu meluncur pergi, penulis pulang. Sampai di situ cerita singkat selesai.
Sisi lain hati berujar, bertanya mengapa rasa ini belum juga pudar. Padahal dia sudah menjalin hubungan dengan yang lain, penulis tahu akan hal itu. Pasca peristiwa 'tanda tangan' dan 'disediakan segelas air putih', itu yang tampak belum mampu terlupa.
Mungkin kini kekasihnya tahu, membaca dan mengamati dari setiap percakapan pesan singkat yang ada di jejaring sosial atau SMS. Saat percakapan dunia maya terjalin, ada beberapa kata yang dirasa bukan datang dari dirinya, penulis mungkin bisa menerka siapa orang yang mengetik teks di balik pesan itu.
Dari peristiwa ini, seperti ada hikmah dan suara yang bergemuruh keras dari dalam hati. Mengapa harapan ini masih perlu dilanjutkan dan diperjuangkan? Padahal sebetulnya di sana, ada laki-laki yang sudah lebih dulu menyasar cintanya.
Tentu laki-laki ini khawatir bila ada laki-laki lain yang mendekati pujaan hatinya. Walau itu masih dalam status yang disebutnya pacaran.
Terkadang, ketegasan diperlukan untuk membuat suatu perubahan. Akan tetapi berhati-hatilah dalam mengambil suatu keputusan, tidak gegabah dan difikirkan dahulu hingga benar-benar matang.
Tegaslah.
*****
(Foto: Duniainter)
Kisah yang masih sama, dengan status yang sama, tiada perbedaan, tetapi sebuah rasa sudah semakin mendewasa, lebih bisa terkontrol dibanding masa sebelumnya.
Rasa menggebu perlahan sudah menemukan ritme cantiknya. Saat mendengarkan suara hati, hanya jeritan dari dalam lubuk jiwa yang berbicara lantang, menggemakan asa, mendorong ucapan maupun tindakan untuk lebih mampu memahami, menyayangi dan meletakkan perhatian.
Sedangkan bila logika yang digenggam, sebuah rasa lebih mampu terkendali dengan mempertimbangkan baik dan buruk. Melihat lebih cerdas dalam menganalisis sebuah kondisi dan memperhitungkan apa yang akan terjadi berikutnya dari setiap perbuatan.
Mungkinkah ini takdir atau suratan, saat Allah menitipkan sebuah perasaan yang seharusnya indah, tetapi justru menjadi cobaan. Ya, tanpa sebuah ikatan pernikahan, segala kecenderungan ketertarikan hanya menjadi malapetaka.
Pagi ini penulis sudah nawaitukan tidak masuk kantor dan bergegas untuk mengurus sebuah urusan, sebelum akhirnya beranjak ke sebuah universitas negeri terkemuka yang letaknya dekat dengan jalan Margonda.
Di kampus ini pun, penulis memiliki sebuah urusan dan setelah urusan itu selesai, waktu bebas memberikan pilihan untuk menanti dirinya datang di stasiun kereta api jabodetabek, setelah ia pulang dari tempat kerjanya.
Entah perasaan sayang hanya sebatas pertemanan atau lebih dari itu, yang pasti kondisinya sangat memungkinkan untuk menunggunya hingga datang dan mengantarnya hingga ke rumah.
Ada oleh-oleh dari Jawa Tengah yang di simpan dalam sebuah tas, yang biasa penulis bawa bepergian kantoran. Lagi-lagi nawaitunya sudah bulat, bertemu atau tidak bertemu, makanan ringan ini harus sampai padanya, karena sudah beberapa kali gagal bertemu.
Dan, kali ini gagal lagi bertemu, ada hal yang jauh lebih penting, yakni urusan keluarga yang tidak mungkin penulis tinggalkan.
Seperti lebih sayang terhadap makanan yang kelak akan kadaluarsa bila tidak dimakan, maka nawaitunya lillahita'ala mengantarkan oleh-oleh itu ke rumahnya.
Bermodalkan nekad dengan rasa deg-degan, penulis plintir 'ngegas' motor hingga sampai di depan rumahnya. Kala itu awan mendung, rintik gerimis sedikit membuat cemas, takut oleh-oleh itu dan pengemudi motornya (penulis) bisa basah kuyup.
Namun, segalanya berjalan sesuai rencana. Sebelum benar-benar hujan, buah tangan dari Semarang itu diterima dengan baik oleh ayahanda-nya. Dengan wajah sumringah sekaligus gugup, penulis berikan kepada ayahanda-nya dua jenis makanan yang dibungkus rapi dalam kemasan.
Tidak lama, sepertinya kurang dari satu atau dua menit penulis selesai mengucap salam, memperkenalkan diri dan memberikan bingkisan itu, kemudian pergi dengan hati lega. Mungkin ia tidak tahu saat itu, penulis datang ke rumahnya, bertemu ayahnya dan mempersembahkan oleh-oleh itu untuk beliau serta keluarga.
Usai mengucap salam, penulis kemudian bergegas menggoyang standar motor dan membuat kuda besi berwarna biru itu meluncur pergi, penulis pulang. Sampai di situ cerita singkat selesai.
Sisi lain hati berujar, bertanya mengapa rasa ini belum juga pudar. Padahal dia sudah menjalin hubungan dengan yang lain, penulis tahu akan hal itu. Pasca peristiwa 'tanda tangan' dan 'disediakan segelas air putih', itu yang tampak belum mampu terlupa.
Mungkin kini kekasihnya tahu, membaca dan mengamati dari setiap percakapan pesan singkat yang ada di jejaring sosial atau SMS. Saat percakapan dunia maya terjalin, ada beberapa kata yang dirasa bukan datang dari dirinya, penulis mungkin bisa menerka siapa orang yang mengetik teks di balik pesan itu.
Dari peristiwa ini, seperti ada hikmah dan suara yang bergemuruh keras dari dalam hati. Mengapa harapan ini masih perlu dilanjutkan dan diperjuangkan? Padahal sebetulnya di sana, ada laki-laki yang sudah lebih dulu menyasar cintanya.
Tentu laki-laki ini khawatir bila ada laki-laki lain yang mendekati pujaan hatinya. Walau itu masih dalam status yang disebutnya pacaran.
Terkadang, ketegasan diperlukan untuk membuat suatu perubahan. Akan tetapi berhati-hatilah dalam mengambil suatu keputusan, tidak gegabah dan difikirkan dahulu hingga benar-benar matang.
Tegaslah.
*****
(Foto: Duniainter)
Comments
Post a Comment