Entah seperti apa tanggapan orang yang membaca cerita ini. Mungkin penulis dianggap lebay atau terlalu mendramatisir, tetapi ini kejadian nyata yang sudah penulis alami beberapa kali.
Saat tersedih ialah kaki mulai melangkah dari depan rumah untuk kemudian pergi menuju terminal bus Damri, bus yang membawa penumpangnya menuju bandara, ya menuju luar kota atau luar negeri untuk tugas.
Mungkin beberapa di antara pembaca, ada yang senang dan bangga apabila bisa memiliki pekerjaan yang memungkinkan kita untuk pergi ke luar kota atau luar negeri.
Sebelum kita benar-benar sampai di sana, mungkin kita bisa membayangkan sebuah wilayah yang sama sekali asing, tidak ada saudara dekat, tidak ada teman, lingkungan baru dan tentunya bertemu orang-orang baru.
Di sana, kita akan dituntut untuk bertindak sesuai target dan tujuan perjalanan, jangan lengah, jangan gegabah, dan persiapan fisik yang harus dijaga dengan baik.
Apalagi bila bepergian sendiri. Maka, tidak hanya kesiapan ongkos saja, namun juga kita harus bertanggungjawab membawa diri kita. Kemungkinan terburuk harus bisa diantisipasi, rasa takut harus dieliminasi walau kecemasan apabila tersesat pasti ada, bahkan mungkin nyawa taruhannya.
Itulah mengapa, dan mengapa. Ya mengapa? Di saat mereka senang pekerjaannya mengharuskan pergi ke luar kota atau luar negeri, penulis justru lebih senang bila berada di dalam kota saja.
Memang terkadang membosankan, dan perjalanan ke luar kota atau luar negeri itu boleh jadi dianggap sebagai refreshing. Akan tetapi, ada sisi lain di balik kegembiraan itu, yang tidak bisa dipungkiri bahwa kita akan jauh dari rumah, jauh dari keluarga.
Saat di mana kita sudah dianggap mandiri, dianggap mampu dan kondisi yang mau tidak mau kita harus hadapi, itulah bagian dari bentuk pendewasaan, profesionalitas dalam pekerjaan.
Sulit mendeskripsikannya, perasaan yang campuraduk, antara senang setidaknya ada suasana baru dengan perjalanan yang diharapkan menyenangkan, sekaligus sedih karena harus meninggalkan kampung halaman.
Dianggap tekanan pun, bila sudah berkomitmen untuk pekerjaan, maka tidak seharusnya kita mengeluh. Semua semata-mata bekerja karena Allah, untuk mendapatkan rezeki halal.
Kembali lagi pada perasaan campuraduk. Ketika melangkahkan kaki beranjak dari rumah, yang diantar sampai pagar rumah oleh ibu, maka perasaan membuncah tak karuan mulai merasuk.
Rasa cemas sedikit menyelimuti seiring dengan stang motor yang perlahan dipelintir. Roda motor yang berputar itu menandakan diri sudah tidak lagi perlu menoleh ke belakang.
Anda tahu pukul berapa penulis berangkat dari rumah? karena mengantisipasi kemungkinan keterlambatan dan mengejar bus Damri, maka sekira pukul 03.00 atau 04.00, waktu yang pas setelah qiyamul lail, saat mungkin banyak orang masih terlelap, penulis sudah harus segera beranjak dari rumah.
Suasananya yang begitu senyap, gelap, mata sepat, dipaksa tidak ngantuk, udara dingin menusuk, perasaan berkecamuk yang tampaknya sulit dilukiskan, hanya harapan pada Allah semoga memudahkan segala urusan dan menyelamatkan hingga tiba di tempat tujuan serta kembali di rumah dengan selamat.
Hingga tiba check-in pesawat terbang dan kemudian boarding, itulah saat-saat mendebarkan sewaktu baru pertama kali menaiki 'si burung besi'. Mungkin bila sudah beberapa kali naik pesawat terbang, tidak terlalu merasa takut. Berangkat ramai-ramai dengan rombongan teman satu jenis pekerjaan saja terkadang masih membuat gelisah, apalagi bila pergi seorang diri.
'Separah-parahnya' pergi ialah ditugaskan seorang diri ke salah satu negara tetangga kala itu. Bila masih di Indonesia, kita tidak perlu terlalu cemas soal bahasa, tetapi bila ditugaskan ke luar negeri? Tantangan akan semakin besar, tidak hanya kita yang membawa tanggungjawab pekerjaan, tetapi juga tanggungjawab pada jiwa atau raga kita sendiri.
Dan, bahasa asing, bahasa Inggris yang mau tidak mau kita pakai sebelepotan-sebelepotannya untuk paling tidak 'menyelamatkan' diri kita, membuat kita jangan sampai tersesat serta membuat kita bisa tetap mendapat petunjuk dari orang asing yang kita tanya dengan bahasa asing.
Jauh dari rumah, jauh dari keluarga atau orangtua, walau hanya selama dua atau tiga hari. Suasana yang mungkin dianggap berbeda dengan negara sendiri, memang mungkin lebih indah lingkungannya, ketertibannya daripada di negara asal kita sendiri, tetapi balutan rasa cemas tidak akan hilang dan terus menghinggapi.
Apalagi, di sela-sela malam tiba dan sudah saatnya beristirahat, seperti tidak menyangka kita berada di salah satu belahan Bumi yang jauh dari kediaman kita. Saat berbaring di ranjang sendiri, memandang sudut ruang hotel atau langit-langit yang berbeda, bukan sudut kamar rumah kita yang familiar.
Saat itulah, ujian sedang menempa diri untuk 'survive', the show must go on, tugas tetaplah tugas, reporter tetaplah reporter dengan tugas yang harus dia kerjakan, profesionalitas. Dari situlah penulis sedikit banyaknya mendapatkan banyak pelajaran.
Dari situ akan memahami makna dari kemandirian, the power of ourself, kepercayadirian, kepemimpinan terutama untuk diri kita sendiri, kekuatan pada kemampuan diri sendiri, ketangguhan di segala kondisi dan lain-lain.
Beranjak dari situ pula, karena penulis laki-laki, maka sedikit banyaknya menjadi mengerti bagaimana nantinya seorang suami harus bisa membawa keluarganya 'selamat', membawa keluarga keluar dari kesulitan dan belajar bersyukur dari apa yang saat itu dimiliki.
Dan, yang terpenting, mengerti bagaimana sulitnya mencari uang dengan pengorbanan banting tulang, kerja keras, demi membangun keluarga, membahagiakan istri dan anak-anak.
Tidak bisa dibayangkan betapa damai bahagianya, mereka yang sudah menikah, bila semata-mata bekerja untuk mengharapkan ridha Allah, mendapatkan uang dari cara yang halal, memuliakan istri serta bersama-sama mendidik anak-anak.
Maka, jadikan saja ujian terberat itu, apapun itu, mulai dari yang ditugaskan dinas ke luar negeri atau luar kota atau lainnya, sebagai bekal untuk mempersiapkan diri menghadapi lika-liku kehidupan berumah tangga.
Entah ini mungkin terlalu mendramatisir atau lebay, tetapi kisah ini adalah kisah nyata. Penulis hanya ingin berbagi cerita, semoga bisa menjadi pelajaran berharga dari sebuah petikan kisah kehidupan.
*****
(Foto: Dok. Pribadi)
Saat tersedih ialah kaki mulai melangkah dari depan rumah untuk kemudian pergi menuju terminal bus Damri, bus yang membawa penumpangnya menuju bandara, ya menuju luar kota atau luar negeri untuk tugas.
Mungkin beberapa di antara pembaca, ada yang senang dan bangga apabila bisa memiliki pekerjaan yang memungkinkan kita untuk pergi ke luar kota atau luar negeri.
Sebelum kita benar-benar sampai di sana, mungkin kita bisa membayangkan sebuah wilayah yang sama sekali asing, tidak ada saudara dekat, tidak ada teman, lingkungan baru dan tentunya bertemu orang-orang baru.
Di sana, kita akan dituntut untuk bertindak sesuai target dan tujuan perjalanan, jangan lengah, jangan gegabah, dan persiapan fisik yang harus dijaga dengan baik.
Apalagi bila bepergian sendiri. Maka, tidak hanya kesiapan ongkos saja, namun juga kita harus bertanggungjawab membawa diri kita. Kemungkinan terburuk harus bisa diantisipasi, rasa takut harus dieliminasi walau kecemasan apabila tersesat pasti ada, bahkan mungkin nyawa taruhannya.
Itulah mengapa, dan mengapa. Ya mengapa? Di saat mereka senang pekerjaannya mengharuskan pergi ke luar kota atau luar negeri, penulis justru lebih senang bila berada di dalam kota saja.
Memang terkadang membosankan, dan perjalanan ke luar kota atau luar negeri itu boleh jadi dianggap sebagai refreshing. Akan tetapi, ada sisi lain di balik kegembiraan itu, yang tidak bisa dipungkiri bahwa kita akan jauh dari rumah, jauh dari keluarga.
Saat di mana kita sudah dianggap mandiri, dianggap mampu dan kondisi yang mau tidak mau kita harus hadapi, itulah bagian dari bentuk pendewasaan, profesionalitas dalam pekerjaan.
Sulit mendeskripsikannya, perasaan yang campuraduk, antara senang setidaknya ada suasana baru dengan perjalanan yang diharapkan menyenangkan, sekaligus sedih karena harus meninggalkan kampung halaman.
Dianggap tekanan pun, bila sudah berkomitmen untuk pekerjaan, maka tidak seharusnya kita mengeluh. Semua semata-mata bekerja karena Allah, untuk mendapatkan rezeki halal.
Kembali lagi pada perasaan campuraduk. Ketika melangkahkan kaki beranjak dari rumah, yang diantar sampai pagar rumah oleh ibu, maka perasaan membuncah tak karuan mulai merasuk.
Rasa cemas sedikit menyelimuti seiring dengan stang motor yang perlahan dipelintir. Roda motor yang berputar itu menandakan diri sudah tidak lagi perlu menoleh ke belakang.
Anda tahu pukul berapa penulis berangkat dari rumah? karena mengantisipasi kemungkinan keterlambatan dan mengejar bus Damri, maka sekira pukul 03.00 atau 04.00, waktu yang pas setelah qiyamul lail, saat mungkin banyak orang masih terlelap, penulis sudah harus segera beranjak dari rumah.
Suasananya yang begitu senyap, gelap, mata sepat, dipaksa tidak ngantuk, udara dingin menusuk, perasaan berkecamuk yang tampaknya sulit dilukiskan, hanya harapan pada Allah semoga memudahkan segala urusan dan menyelamatkan hingga tiba di tempat tujuan serta kembali di rumah dengan selamat.
Hingga tiba check-in pesawat terbang dan kemudian boarding, itulah saat-saat mendebarkan sewaktu baru pertama kali menaiki 'si burung besi'. Mungkin bila sudah beberapa kali naik pesawat terbang, tidak terlalu merasa takut. Berangkat ramai-ramai dengan rombongan teman satu jenis pekerjaan saja terkadang masih membuat gelisah, apalagi bila pergi seorang diri.
'Separah-parahnya' pergi ialah ditugaskan seorang diri ke salah satu negara tetangga kala itu. Bila masih di Indonesia, kita tidak perlu terlalu cemas soal bahasa, tetapi bila ditugaskan ke luar negeri? Tantangan akan semakin besar, tidak hanya kita yang membawa tanggungjawab pekerjaan, tetapi juga tanggungjawab pada jiwa atau raga kita sendiri.
Dan, bahasa asing, bahasa Inggris yang mau tidak mau kita pakai sebelepotan-sebelepotannya untuk paling tidak 'menyelamatkan' diri kita, membuat kita jangan sampai tersesat serta membuat kita bisa tetap mendapat petunjuk dari orang asing yang kita tanya dengan bahasa asing.
Jauh dari rumah, jauh dari keluarga atau orangtua, walau hanya selama dua atau tiga hari. Suasana yang mungkin dianggap berbeda dengan negara sendiri, memang mungkin lebih indah lingkungannya, ketertibannya daripada di negara asal kita sendiri, tetapi balutan rasa cemas tidak akan hilang dan terus menghinggapi.
Apalagi, di sela-sela malam tiba dan sudah saatnya beristirahat, seperti tidak menyangka kita berada di salah satu belahan Bumi yang jauh dari kediaman kita. Saat berbaring di ranjang sendiri, memandang sudut ruang hotel atau langit-langit yang berbeda, bukan sudut kamar rumah kita yang familiar.
Saat itulah, ujian sedang menempa diri untuk 'survive', the show must go on, tugas tetaplah tugas, reporter tetaplah reporter dengan tugas yang harus dia kerjakan, profesionalitas. Dari situlah penulis sedikit banyaknya mendapatkan banyak pelajaran.
Dari situ akan memahami makna dari kemandirian, the power of ourself, kepercayadirian, kepemimpinan terutama untuk diri kita sendiri, kekuatan pada kemampuan diri sendiri, ketangguhan di segala kondisi dan lain-lain.
Beranjak dari situ pula, karena penulis laki-laki, maka sedikit banyaknya menjadi mengerti bagaimana nantinya seorang suami harus bisa membawa keluarganya 'selamat', membawa keluarga keluar dari kesulitan dan belajar bersyukur dari apa yang saat itu dimiliki.
Dan, yang terpenting, mengerti bagaimana sulitnya mencari uang dengan pengorbanan banting tulang, kerja keras, demi membangun keluarga, membahagiakan istri dan anak-anak.
Tidak bisa dibayangkan betapa damai bahagianya, mereka yang sudah menikah, bila semata-mata bekerja untuk mengharapkan ridha Allah, mendapatkan uang dari cara yang halal, memuliakan istri serta bersama-sama mendidik anak-anak.
Maka, jadikan saja ujian terberat itu, apapun itu, mulai dari yang ditugaskan dinas ke luar negeri atau luar kota atau lainnya, sebagai bekal untuk mempersiapkan diri menghadapi lika-liku kehidupan berumah tangga.
Entah ini mungkin terlalu mendramatisir atau lebay, tetapi kisah ini adalah kisah nyata. Penulis hanya ingin berbagi cerita, semoga bisa menjadi pelajaran berharga dari sebuah petikan kisah kehidupan.
*****
(Foto: Dok. Pribadi)
Comments
Post a Comment