Sepertinya hebat bila ada laki-laki yang tidak menangis. Laki-laki juga manusia. Mungkin bisa disebut tidak normal bila kaum adam tidak pernah mengeluarkan air mata. Kecuali, air mata itu keluar karena kelilipan debu atau mengiris bawang, misalnya.
Dalam hidup, menangis bisa terjadi yang diakibatkan berbagai macam kejadian. Tetesan air mata yang benar-benar mengalir memang membuat lega.
Biasanya hanya kejadian tertentu yang membuat air mata itu keluar dan membuat memori selalu mengingat peristiwa tersebut.
Yang paling diingat, saat masih TK dulu. Penulis entah mengapa malas sekali hanya pada hari itu untuk masuk kelas di TK, padahal jarak rumah dengan TK tidak terlalu jauh. Kalau enggak salah saat itu sedang gerimis.
Oleh karena dipaksa orangtua datang ke kelas di TK, alhasil kesal dan keluarlah air mata. Penulis di usia sekira 5 tahun, masih bocah dan menangis mungkin sesuatu yang wajar. Menangisnya, masih karena alasan-alasan kekanak-kanakan.
Di usia tersebut, bapak bilang kalau laki-laki enggak boleh nangis atau cengeng. Jadi, setiap menangis pasti dimarahin. Begitu juga saat rambut dicukur karena sudah gondrong, waktu kecil, penulis tidak suka rambut dipotong karena memanjangkannya saja butuh waktu lama, masa dipotong cuma beberapa detik atau menit.
Lagi pula, kalau rambut dipotong dan cepak atau pendek, enggak terlihat keren seperti mereka yang punya rambut gondrong. Menangis pada usia di bawah umur, menjadi hal yang wajar karena sifat kekanak-kanakan.
Menangis berikutnya, kali ini mungkin sudah bisa dibilang baligh/dewasa. Yang penulis ingat ialah, tidak diterimanya penulis untuk kuliah di perguruan tinggi negeri favorit, sebut saja UI. Hati dan harapan sudah sangat bersinergi untuk berusaha sekuat tenaga, melakukan aktivitas mulai dari belajar dan ikut tes seleksi.
Namun, apa daya, usai diumumkannya informasi hasil seleksi. Tidak ada nama penulis di situ. Saat itu, shalat terasa lebih khusyu dan berdo'a sekhusyuk-khusyuknya, semenangis-menangisnya hingga air mata tidak bisa dibendung.
Seperti merasa segalanya apakah sudah berakhir? Padahal masih ada suara hati, walau kecil berkata, "dunia belum berakhir cuma karena tidak diterima kuliah di UI". Penulis ingin membuktikan bahwa air mata yang mengalir dalam doa itu tidak sia-sia.
Mengeluarkan segala gelisah, perasaan tidak menentu yang tercurah dalam doa sambil menangis yang membuat hati menjadi jauh lebih tenang, lebih damai. Satu kata, "buktikan!", bahwa penulis bisa tetap sukses di masa depan meskipun tidak menempuh pendidikan di UI.
Menangis berikutnya, saat penulis terasa sudah semakin beranjak dewasa. Ada perasaan ketertarikan pada lawan jenis, di mana perasaan itu tampaknya masih sedikit liar. Di saat yang bersamaan, mulai ada keinginan untuk menjadikan perasaan itu sebagai kendaraan pendorong untuk ingin hidup menua bersama dalam ikatan yang halal.
Harapan sudah begitu tinggi. Upaya pedekate sedikit banyaknya, sewajarnya sudah dilakukan. Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah dia sudah memiliki calon atau pacar? Perasaan yang sudah menetap di tingkat asa berlebihan tersebut harus jatuh saat ia katakan, "Maaf ya, kalau hari itu, gue mau jalan bareng cowok gue".
Penulis agak lupa, mungkin ia berkata "ada acara atau main arung jeram bareng-bareng pacarnya," intinya dia ingin menegaskan kalau ia sudah memiliki pacar, sehingga harapan yang sudah terlanjur meninggi itu harus mendarat dengan drastis di tingkat terendah.
Mendengar hal itu, sudah tidak ada lagi yang perlu dinantikan jawaban darinya. Tidak perlu lagi bertanya. "Apakah kamu sudah punya calon/pacar?", sebab yang bersangkutan sudah mengatakan secara gamblang.
Penulis jadi tahu, ada bentuk-bentuk penolakan yang ditegaskan perempuan kalau ia tidak ingin laki-laki yang sedang mendekatinya terus pedekate dengannya. Bisa dari alasan penolakan halus, terang-terangan, hingga sebuah jawaban dengan makna yang tersirat.
Mengingat hal itu, ada alasan yang kuat mengapa laki-laki bisa menangis semenangis-menangisnya, walau dalam diam, walau dalam ruang yang hanya ia dan Allah yang tahu kejadian dan perasaan yang sebenarnya. Linangan air mata tidak bisa dibendung lagi.
Menangis berikutnya, kali ini lebih terasa menyakitkan. Penulis tidak menyalahkan sebuah kalimat "manis" yang berbunyi, cintailah ia dalam diam, bla bla bla.. Kenyataan yang ada, selama kau tetap diam dan tidak menyatakan perasaan, bahkan tidak ada tanda-tanda bentuk keseriusan, maka target sasaran itu akan lebih dulu didekati oleh mereka (laki-laki) yang siap meminang.
Lagi-lagi, harapan terasa berada di posisi tertinggi. Hingga pada saat jatuh, benturannya cukup terasa menyakitkan. Perempuan yang ditaksir dalam diam yang kelamaan itu, tiba-tiba sudah menikah dengan posting-an foto di jejaring sosial Facebook miliknya.
Linangan air mata kali ini tidak bisa tertahan lagi. Hanya dalam doa, kesendirian, kesunyian dan disaksikan tembok dinding dan langit-langit kamar. Tetesan air mata dari hamba yang begitu lemah, tidak ada penyesalan, tidak ada bentuk kedengkian, justru takjub kepada ikhwan itu yang berhasil meminangnya. Mungkin proses taarufnya berjalan cepat.
Ya, karena sang perempuannya pun sudah siap menikah saat itu. Mohon maaf kepada perempuan itu, karena penulis menghapus akun facebook miliknya. Bukannya memutus silaturahim, toh yang berlalu biarkan saja berlalu, berbahagia bersamanya. Perkenalan juga sama sekali nol di dunia maya.
Malah khawatir apabila perasaan ini tidak lantas dikubur, timbul perasaan berburuk sangka atau tidak menyenangi, karena di beranda facebook selalu tertampil foto dirinya bersama suami. Delete contact alias remove alias unfriend bukankah menjadi pilihan logis dan terbaik saat itu?
Menangis yang berikutnya terjadi oleh karena suatu sebab, di mana seharusnya kita bisa lebih mandiri, lebih mampu mengelola keuangan sendiri, untuk yang sudah bekerja dan berpenghasilan sendiri. Sehingga, tidak perlu lagi meminta atau menerima pemberian uang jajan atau uang ongkos dari orangtua.
Dan, menangis yang terjadi berikutnya, merepresentasikan perasaan berkecamuh yang muncul dari dalam lubuk jiwa. Saat kita memiliki harapan pada seseorang, bahkan saat kita belum benar-benar mengenal orang itu, tetapi niat sudah teramat mantap.
Sebuah rencana yang perlu diupayakan agar tercapai, walau tidak bisa dipungkiri bahwa hati turut andil mempengaruhi seberapa kuat kemantapan itu. Namun, logika begitu dominan dan semata-mata niatan itu karena Allah, tidak bisa lagi ditunda, tidak baik pula untuk terlalu lama menanti.
Ada kebahagian besar di sana untuk mereka yang sudah mengukuhkan sebuah langkah, pernikahan. Tidak harus si A, si B, si C, atau si D, saat kita sudah menggantungkan harapan pada Allah dan berfokus menyegerakan penyempurnaan separuh dien. Maka, yang terjadi ialah, niat ibadah semata-mata karena Allah untuk bergerak memulai fase hidup baru dalam ikatan sah.
Yang membuat sempat menangis ialah, saat rencana kita ternyata tidak sejalan dengan rencana dirinya. Atau, kita memiliki keinginan demikian tetapi tidak sama dengan keinginannya atau ia merasa belum siap menjalaninya.
Akan tetapi, kita tidak bisa bertindak seolah memaksa. Janganlah menjadi makhluk yang mendukung ketergesaannya saat kesiapan dan rencana itu belum saling mantap. Percayalah, Allah yang paling tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Allah yang memberi apa yang manusia butuhkan, bukan selalu memberikan apa yang manusia inginkan.
Harapan itu masih ada, kalau manusia ingin mengubah dirinya, bertindak sesuai kemauannya secara ikhlas, dan berserah diri kepada Allah.
Petik hikmahnya saja, jangan taruh harapan pada manusia, taruhlah harapan pada Allah, niscaya Allah akan berikan yang terbaik melalui petunjuk-Nya dan dengan cara-cara yang baik. Jangan pernah berharap terlalu tinggi pada manusia, sedang-sedang saja dan tidak berlebihan, itu lebih baik.
*****
(Foto: Nyari di Internet)
Dalam hidup, menangis bisa terjadi yang diakibatkan berbagai macam kejadian. Tetesan air mata yang benar-benar mengalir memang membuat lega.
Biasanya hanya kejadian tertentu yang membuat air mata itu keluar dan membuat memori selalu mengingat peristiwa tersebut.
Yang paling diingat, saat masih TK dulu. Penulis entah mengapa malas sekali hanya pada hari itu untuk masuk kelas di TK, padahal jarak rumah dengan TK tidak terlalu jauh. Kalau enggak salah saat itu sedang gerimis.
Oleh karena dipaksa orangtua datang ke kelas di TK, alhasil kesal dan keluarlah air mata. Penulis di usia sekira 5 tahun, masih bocah dan menangis mungkin sesuatu yang wajar. Menangisnya, masih karena alasan-alasan kekanak-kanakan.
Di usia tersebut, bapak bilang kalau laki-laki enggak boleh nangis atau cengeng. Jadi, setiap menangis pasti dimarahin. Begitu juga saat rambut dicukur karena sudah gondrong, waktu kecil, penulis tidak suka rambut dipotong karena memanjangkannya saja butuh waktu lama, masa dipotong cuma beberapa detik atau menit.
Lagi pula, kalau rambut dipotong dan cepak atau pendek, enggak terlihat keren seperti mereka yang punya rambut gondrong. Menangis pada usia di bawah umur, menjadi hal yang wajar karena sifat kekanak-kanakan.
Menangis berikutnya, kali ini mungkin sudah bisa dibilang baligh/dewasa. Yang penulis ingat ialah, tidak diterimanya penulis untuk kuliah di perguruan tinggi negeri favorit, sebut saja UI. Hati dan harapan sudah sangat bersinergi untuk berusaha sekuat tenaga, melakukan aktivitas mulai dari belajar dan ikut tes seleksi.
Namun, apa daya, usai diumumkannya informasi hasil seleksi. Tidak ada nama penulis di situ. Saat itu, shalat terasa lebih khusyu dan berdo'a sekhusyuk-khusyuknya, semenangis-menangisnya hingga air mata tidak bisa dibendung.
Seperti merasa segalanya apakah sudah berakhir? Padahal masih ada suara hati, walau kecil berkata, "dunia belum berakhir cuma karena tidak diterima kuliah di UI". Penulis ingin membuktikan bahwa air mata yang mengalir dalam doa itu tidak sia-sia.
Mengeluarkan segala gelisah, perasaan tidak menentu yang tercurah dalam doa sambil menangis yang membuat hati menjadi jauh lebih tenang, lebih damai. Satu kata, "buktikan!", bahwa penulis bisa tetap sukses di masa depan meskipun tidak menempuh pendidikan di UI.
Menangis berikutnya, saat penulis terasa sudah semakin beranjak dewasa. Ada perasaan ketertarikan pada lawan jenis, di mana perasaan itu tampaknya masih sedikit liar. Di saat yang bersamaan, mulai ada keinginan untuk menjadikan perasaan itu sebagai kendaraan pendorong untuk ingin hidup menua bersama dalam ikatan yang halal.
Harapan sudah begitu tinggi. Upaya pedekate sedikit banyaknya, sewajarnya sudah dilakukan. Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah dia sudah memiliki calon atau pacar? Perasaan yang sudah menetap di tingkat asa berlebihan tersebut harus jatuh saat ia katakan, "Maaf ya, kalau hari itu, gue mau jalan bareng cowok gue".
Penulis agak lupa, mungkin ia berkata "ada acara atau main arung jeram bareng-bareng pacarnya," intinya dia ingin menegaskan kalau ia sudah memiliki pacar, sehingga harapan yang sudah terlanjur meninggi itu harus mendarat dengan drastis di tingkat terendah.
Mendengar hal itu, sudah tidak ada lagi yang perlu dinantikan jawaban darinya. Tidak perlu lagi bertanya. "Apakah kamu sudah punya calon/pacar?", sebab yang bersangkutan sudah mengatakan secara gamblang.
Penulis jadi tahu, ada bentuk-bentuk penolakan yang ditegaskan perempuan kalau ia tidak ingin laki-laki yang sedang mendekatinya terus pedekate dengannya. Bisa dari alasan penolakan halus, terang-terangan, hingga sebuah jawaban dengan makna yang tersirat.
Mengingat hal itu, ada alasan yang kuat mengapa laki-laki bisa menangis semenangis-menangisnya, walau dalam diam, walau dalam ruang yang hanya ia dan Allah yang tahu kejadian dan perasaan yang sebenarnya. Linangan air mata tidak bisa dibendung lagi.
Menangis berikutnya, kali ini lebih terasa menyakitkan. Penulis tidak menyalahkan sebuah kalimat "manis" yang berbunyi, cintailah ia dalam diam, bla bla bla.. Kenyataan yang ada, selama kau tetap diam dan tidak menyatakan perasaan, bahkan tidak ada tanda-tanda bentuk keseriusan, maka target sasaran itu akan lebih dulu didekati oleh mereka (laki-laki) yang siap meminang.
Lagi-lagi, harapan terasa berada di posisi tertinggi. Hingga pada saat jatuh, benturannya cukup terasa menyakitkan. Perempuan yang ditaksir dalam diam yang kelamaan itu, tiba-tiba sudah menikah dengan posting-an foto di jejaring sosial Facebook miliknya.
Linangan air mata kali ini tidak bisa tertahan lagi. Hanya dalam doa, kesendirian, kesunyian dan disaksikan tembok dinding dan langit-langit kamar. Tetesan air mata dari hamba yang begitu lemah, tidak ada penyesalan, tidak ada bentuk kedengkian, justru takjub kepada ikhwan itu yang berhasil meminangnya. Mungkin proses taarufnya berjalan cepat.
Ya, karena sang perempuannya pun sudah siap menikah saat itu. Mohon maaf kepada perempuan itu, karena penulis menghapus akun facebook miliknya. Bukannya memutus silaturahim, toh yang berlalu biarkan saja berlalu, berbahagia bersamanya. Perkenalan juga sama sekali nol di dunia maya.
Malah khawatir apabila perasaan ini tidak lantas dikubur, timbul perasaan berburuk sangka atau tidak menyenangi, karena di beranda facebook selalu tertampil foto dirinya bersama suami. Delete contact alias remove alias unfriend bukankah menjadi pilihan logis dan terbaik saat itu?
Menangis yang berikutnya terjadi oleh karena suatu sebab, di mana seharusnya kita bisa lebih mandiri, lebih mampu mengelola keuangan sendiri, untuk yang sudah bekerja dan berpenghasilan sendiri. Sehingga, tidak perlu lagi meminta atau menerima pemberian uang jajan atau uang ongkos dari orangtua.
Dan, menangis yang terjadi berikutnya, merepresentasikan perasaan berkecamuh yang muncul dari dalam lubuk jiwa. Saat kita memiliki harapan pada seseorang, bahkan saat kita belum benar-benar mengenal orang itu, tetapi niat sudah teramat mantap.
Sebuah rencana yang perlu diupayakan agar tercapai, walau tidak bisa dipungkiri bahwa hati turut andil mempengaruhi seberapa kuat kemantapan itu. Namun, logika begitu dominan dan semata-mata niatan itu karena Allah, tidak bisa lagi ditunda, tidak baik pula untuk terlalu lama menanti.
Ada kebahagian besar di sana untuk mereka yang sudah mengukuhkan sebuah langkah, pernikahan. Tidak harus si A, si B, si C, atau si D, saat kita sudah menggantungkan harapan pada Allah dan berfokus menyegerakan penyempurnaan separuh dien. Maka, yang terjadi ialah, niat ibadah semata-mata karena Allah untuk bergerak memulai fase hidup baru dalam ikatan sah.
Yang membuat sempat menangis ialah, saat rencana kita ternyata tidak sejalan dengan rencana dirinya. Atau, kita memiliki keinginan demikian tetapi tidak sama dengan keinginannya atau ia merasa belum siap menjalaninya.
Akan tetapi, kita tidak bisa bertindak seolah memaksa. Janganlah menjadi makhluk yang mendukung ketergesaannya saat kesiapan dan rencana itu belum saling mantap. Percayalah, Allah yang paling tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Allah yang memberi apa yang manusia butuhkan, bukan selalu memberikan apa yang manusia inginkan.
Harapan itu masih ada, kalau manusia ingin mengubah dirinya, bertindak sesuai kemauannya secara ikhlas, dan berserah diri kepada Allah.
Petik hikmahnya saja, jangan taruh harapan pada manusia, taruhlah harapan pada Allah, niscaya Allah akan berikan yang terbaik melalui petunjuk-Nya dan dengan cara-cara yang baik. Jangan pernah berharap terlalu tinggi pada manusia, sedang-sedang saja dan tidak berlebihan, itu lebih baik.
*****
(Foto: Nyari di Internet)
Comments
Post a Comment