Hehehe, jadi teringat sebuah masa di mana hanya berani menyampaikan apresiasi rasa kagum pada seseorang tanpa harus bertatap muka. Daripada ada di depannya terus kelepek-kelepek tidak jelas, tekanan darah turun naik, nafas tersengal-sengal, ucapan tergagap-gagap.
Penulis pikir cara alternatif lebih 'beda' ialah memberikan sesuatu yang lebih bermakna untuknya.
Tiba-tiba ya mengalir begitu saja, memberikan bingkisan sebagai tanda yang kemudian bisa dibaca. Apapun yang terjadi setelah itu, hanya kuasa Allah yang menentukan, apakah pemberian tulus itu direspon sebagai sesuatu yang positif atau negatif.
Poin ikhlas dalam hal ini boleh jadi menambah lega sesuatu yang tersimpan di dalam hati, yang mampu bertahan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Namun, Allah jua yang menentukan dan membolak-balikkan hati seseorang pada akhirnya.
Bersyukur atas sebuah masa yang sedang berbunga-bunga, yang hanya bisa dikenang suatu hari nanti. Merepresentasikan kejujuran hati yang sesungguhnya kala itu, menghasilkan sebuah pelajaran serta hikmah.
Melalui sebuah surat khusus dengan amlop, yang berisikan kalimat-kalimat historis sebagai mukadimah, penjelasan kronologis, penyebab ketertarikan hingga berujung pertanyaan penantian jawaban. Klasik sekali.
Mungkin baginya atau bagi siapapun yang melihat teknik ini, terkesan kuno atau ketinggalan zaman atau tidak gentle. Akan tetapi, kita tidak perlu terpengaruh dengan suara-suara di luar sana yang justru tidak tahu menahu apa yang sebenarnya dialami dan dirasakan oleh diri kita.
Ada lagi sebuah bingkisan berisikan objek yang bisa dianggap lucu, imut-imut dan menggemaskan. Itu semua hanya simbol-simbol kecil yang berwujud, dari apa yang sesungguhnya lebih besar di dalam sebuah harapan.
Buku juga bisa menjadi pemberian paling manis, karena buku yang dibaca tersebut bisa memberi banyak pengetahuan atau wawasan. Yap, buku ialah gudang ilmu dan kado terbaik untuk seseorang.
Tampaknya foto-foto bingkisan ini jauh lebih bisa menceritakan dibandingkan kata demi kata. Namun, masa tinggalah sebuah masa. Episode hidup dengan apresiasi masa-masa remaja yang dipenuhi warna dan tawa.
Sekarang sih rasanya tidak perlu memberikan semua itu. Fokus satu saja kalau ada (jangan banyak-banyak), dan berikan sesuatu yang lebih bernilai keseriusan.
*****
(Foto: Dok. Pribadi & Nyari di Internet)
Penulis pikir cara alternatif lebih 'beda' ialah memberikan sesuatu yang lebih bermakna untuknya.
Tiba-tiba ya mengalir begitu saja, memberikan bingkisan sebagai tanda yang kemudian bisa dibaca. Apapun yang terjadi setelah itu, hanya kuasa Allah yang menentukan, apakah pemberian tulus itu direspon sebagai sesuatu yang positif atau negatif.
Poin ikhlas dalam hal ini boleh jadi menambah lega sesuatu yang tersimpan di dalam hati, yang mampu bertahan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Namun, Allah jua yang menentukan dan membolak-balikkan hati seseorang pada akhirnya.
Bersyukur atas sebuah masa yang sedang berbunga-bunga, yang hanya bisa dikenang suatu hari nanti. Merepresentasikan kejujuran hati yang sesungguhnya kala itu, menghasilkan sebuah pelajaran serta hikmah.
Melalui sebuah surat khusus dengan amlop, yang berisikan kalimat-kalimat historis sebagai mukadimah, penjelasan kronologis, penyebab ketertarikan hingga berujung pertanyaan penantian jawaban. Klasik sekali.
Mungkin baginya atau bagi siapapun yang melihat teknik ini, terkesan kuno atau ketinggalan zaman atau tidak gentle. Akan tetapi, kita tidak perlu terpengaruh dengan suara-suara di luar sana yang justru tidak tahu menahu apa yang sebenarnya dialami dan dirasakan oleh diri kita.
Ada lagi sebuah bingkisan berisikan objek yang bisa dianggap lucu, imut-imut dan menggemaskan. Itu semua hanya simbol-simbol kecil yang berwujud, dari apa yang sesungguhnya lebih besar di dalam sebuah harapan.
Buku juga bisa menjadi pemberian paling manis, karena buku yang dibaca tersebut bisa memberi banyak pengetahuan atau wawasan. Yap, buku ialah gudang ilmu dan kado terbaik untuk seseorang.
Tampaknya foto-foto bingkisan ini jauh lebih bisa menceritakan dibandingkan kata demi kata. Namun, masa tinggalah sebuah masa. Episode hidup dengan apresiasi masa-masa remaja yang dipenuhi warna dan tawa.
Sekarang sih rasanya tidak perlu memberikan semua itu. Fokus satu saja kalau ada (jangan banyak-banyak), dan berikan sesuatu yang lebih bernilai keseriusan.
*****
(Foto: Dok. Pribadi & Nyari di Internet)
Comments
Post a Comment