Jodoh akan datang saat kau siap. Jika jodoh seperti rezeki sebagaimana Anda mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang halal, maka hanya orang-orang yang siap bekerja yang akan mendapatkan hasil dari jerih payahnya. Bila Anda termasuk orang yang benar-benar siap menyambut jodoh, maka jodoh itu akan datang menurut skenario-Nya, bila memang telah tiba masanya.
Bila jodoh itu adalah rezeki, maka ada pengupayaan yang dilakukan secara sengaja untuk mendapatkannya. Seperti orang yang bekerja, seseorang bekerja untuk bisa mendapatkan penghasilan, sesuai dengan kesanggupan dirinya.
Seseorang hamba bisa berdoa, meminta pada Allah agar didekatkan dengan jodoh apabila waktu jodoh sudah dekat. Bila memang tiba saatnya, maka ia seperti rezeki yang datang tidak disangka-sangka, yakni berat untuk Anda tolak, susah untuk Anda abaikan dan cenderung keduanya saling membutuhkan satu sama lain.
Tidak dapat jodoh itu dipaksakan sekemauan hati. Bila belum saatnya, sekeras apapun berusaha pasti gagal jua. Kadang manusia perlu 'disentil' untuk memahami bahwa jodoh itu tiba bila kita telah siap menyambutnya. Bukan karena sekedar ingin atau ego semata.
Target perlu, tetapi tidak melulu target itu menjadi satu-satunya faktor pendorong, yang bisa disegerakan seolah terburu-buru bila sudah tiba waktu deadline-nya atau justru bermalas-malasan dalam persiapan, mentang-mentang waktu terasa masih teramat panjang.
Allah paling mengetahui apa yang hamba-Nya butuhkan, dan bukan yang diinginkan oleh manusianya. Karena kecenderungan hati seseorang bisa berubah-ubah, misalnya hari ini bisa terjerat rasa ketertarikan, namun besok sudah melupakan. Mintalah kepada Allah, Sang Maha Pembolak-balik hati yang Insya Allah mengabulkan segala doa hamba-Nya.
Bila hari ini atau besok belum tampak doa itu dikabulkan, doa yang dipanjatkan itu tidak akan sia-sia. Insya Allah doa tersebut mampu menjadi akumulasi tabungan pahala dan Allah kabulkan doa itu disaat hamba-Nya siap menerima apa yang diinginkannya itu, setelah disertai dengan usaha atau berikhtiar, serta sabar.
'Man jadda wa jada', barangsiapa yang bersungguh-sungguh mudah-mudahan ia akan mendapatkan apa yang didambakan. Akan tetapi, yang perlu diingat ialah, dalam jodoh, ada kesesuaian dua jiwa yang perlu diperhatikan. Ada keselarasan visi dan misi masa depan serta tujuan dari pernikahan.
Kita tidak bisa memaksakan jodoh itu dengan si A, bila akhirnya Allah menjadikan jodoh itu dengan si B. Ada target yang memang penting untuk ditetapkan, bukan sekedar wacana isapan jempol belaka. Masa depan perlu dibangun bersama, dengan komitmen, ketegasan dan kepastian.
Penulis tidak ingin sok tahu dalam menganalisis mengenai apa yang menjadi dorongan perempuan untuk bersegera menikah. Namun dari sisi penulis, laki-laki bisa berpikir untuk bersegera menikah yang didasari atas beberapa faktor.
Dalam sebuah hadits dijelaskan dengan gamblang, tentang penyebutan pemuda. “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu untuk menikah, hendaknya bersegera menikah, karena yang demikian itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu hendaknya dia bershaum (puasa) karena itu adalah pemutus syahwatnya" (HR. Al Bukhari no. 1905 dan Muslim no. 1400).
Hadits tersebut secara jelas menyebut kata pemuda, di mana yang siap untuk menikah, maka dianjurkan untuk segera menikah. Isi kandungan hadits tersebut juga mengungkap manfaat dari menikah, yakni membuat pemuda bisa lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan, satu-satunya cara untuk meredam gejolak syahwat ialah berpuasa.
Dilihat dari sisi syariat tersebut maupun mempertimbangkan unsur yang bersifat biologis, tidak bisa dipungkiri bahwa sejak usia akil baligh, pemuda cenderung memiliki dorongan seksual yang kuat.
Salah-salah dalam bergaul, tercebur dalam budaya barat dan tanpa didikan orangtua dalam kaitannya dengan pendekatan agama, maka seseorang bisa terjerumus dalam aktivitas perzinaan. Salah satu faktor lainnya yang membuat pemuda harus bersegera menikah ialah, sudah munculnya naluri kebapakan. Walau faktor ini mungkin langka atau tidak semua berpikir demikian.
Naluri kebapakan ini bisa muncul, dari dukungan elemen 'backbone' karena ia telah bekerja dan berpenghasilan, serta ia sadar bahwa seharusnya maisyah dari pekerjaannya sudah bisa disalurkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, menafkahi istri dan tidak menggunakan uang pendapatan itu untuk dimakan sendiri.
Selain itu, faktor lainnya ialah perasaan rindu mendalam bahwa sudah saatnya ia memiliki kekasih halal, agar hidupnya menjadi tentram, bisa lebih bersemangat, bisa memiliki teman curhat abadi serta partner hidup dunia dan akherat. Sungguh, tidak ada yang merugi saat seseorang sudah menikah, terlebih menikah muda atau saat di mana usianya telah dianggap matang.
Bagaimanapun juga manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Menargetkan sesuatu ada kalanya gagal, meleset dari harapan atau bahkan tidak kesampaian. Yang perlu dicermati ialah, bukan seberapa sibuknya menyelesaikan target, tetapi memperhatikan segala persiapan baik yang bersifat lahiriah dan batiniah serta yang bersifat dukungan materi maupun non-materi.
Seseorang bisa mencintai karena Allah dan dapat berpisah pula karena Allah. Tidak ada yang bisa menghalangi bila sudah tiba saatnya untuk menikah atas izin Allah. Selayaknya seseorang mencintai karena Allah, pasti ia tidak akan menghalangi dalam mendekatkan dirinya kepada Allah melalui jalan pernikahan. Karena pernikahan itu sendiri pada hakekatnya merupakan ibadah untuk semakin mendekatkan diri pada Allah.
Wallahu a'lam.
*****
(Foto: Wowheboh)
Bila jodoh itu adalah rezeki, maka ada pengupayaan yang dilakukan secara sengaja untuk mendapatkannya. Seperti orang yang bekerja, seseorang bekerja untuk bisa mendapatkan penghasilan, sesuai dengan kesanggupan dirinya.
Seseorang hamba bisa berdoa, meminta pada Allah agar didekatkan dengan jodoh apabila waktu jodoh sudah dekat. Bila memang tiba saatnya, maka ia seperti rezeki yang datang tidak disangka-sangka, yakni berat untuk Anda tolak, susah untuk Anda abaikan dan cenderung keduanya saling membutuhkan satu sama lain.
Tidak dapat jodoh itu dipaksakan sekemauan hati. Bila belum saatnya, sekeras apapun berusaha pasti gagal jua. Kadang manusia perlu 'disentil' untuk memahami bahwa jodoh itu tiba bila kita telah siap menyambutnya. Bukan karena sekedar ingin atau ego semata.
Target perlu, tetapi tidak melulu target itu menjadi satu-satunya faktor pendorong, yang bisa disegerakan seolah terburu-buru bila sudah tiba waktu deadline-nya atau justru bermalas-malasan dalam persiapan, mentang-mentang waktu terasa masih teramat panjang.
Allah paling mengetahui apa yang hamba-Nya butuhkan, dan bukan yang diinginkan oleh manusianya. Karena kecenderungan hati seseorang bisa berubah-ubah, misalnya hari ini bisa terjerat rasa ketertarikan, namun besok sudah melupakan. Mintalah kepada Allah, Sang Maha Pembolak-balik hati yang Insya Allah mengabulkan segala doa hamba-Nya.
Bila hari ini atau besok belum tampak doa itu dikabulkan, doa yang dipanjatkan itu tidak akan sia-sia. Insya Allah doa tersebut mampu menjadi akumulasi tabungan pahala dan Allah kabulkan doa itu disaat hamba-Nya siap menerima apa yang diinginkannya itu, setelah disertai dengan usaha atau berikhtiar, serta sabar.
'Man jadda wa jada', barangsiapa yang bersungguh-sungguh mudah-mudahan ia akan mendapatkan apa yang didambakan. Akan tetapi, yang perlu diingat ialah, dalam jodoh, ada kesesuaian dua jiwa yang perlu diperhatikan. Ada keselarasan visi dan misi masa depan serta tujuan dari pernikahan.
Kita tidak bisa memaksakan jodoh itu dengan si A, bila akhirnya Allah menjadikan jodoh itu dengan si B. Ada target yang memang penting untuk ditetapkan, bukan sekedar wacana isapan jempol belaka. Masa depan perlu dibangun bersama, dengan komitmen, ketegasan dan kepastian.
Penulis tidak ingin sok tahu dalam menganalisis mengenai apa yang menjadi dorongan perempuan untuk bersegera menikah. Namun dari sisi penulis, laki-laki bisa berpikir untuk bersegera menikah yang didasari atas beberapa faktor.
Dalam sebuah hadits dijelaskan dengan gamblang, tentang penyebutan pemuda. “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu untuk menikah, hendaknya bersegera menikah, karena yang demikian itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu hendaknya dia bershaum (puasa) karena itu adalah pemutus syahwatnya" (HR. Al Bukhari no. 1905 dan Muslim no. 1400).
Hadits tersebut secara jelas menyebut kata pemuda, di mana yang siap untuk menikah, maka dianjurkan untuk segera menikah. Isi kandungan hadits tersebut juga mengungkap manfaat dari menikah, yakni membuat pemuda bisa lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan, satu-satunya cara untuk meredam gejolak syahwat ialah berpuasa.
Dilihat dari sisi syariat tersebut maupun mempertimbangkan unsur yang bersifat biologis, tidak bisa dipungkiri bahwa sejak usia akil baligh, pemuda cenderung memiliki dorongan seksual yang kuat.
Salah-salah dalam bergaul, tercebur dalam budaya barat dan tanpa didikan orangtua dalam kaitannya dengan pendekatan agama, maka seseorang bisa terjerumus dalam aktivitas perzinaan. Salah satu faktor lainnya yang membuat pemuda harus bersegera menikah ialah, sudah munculnya naluri kebapakan. Walau faktor ini mungkin langka atau tidak semua berpikir demikian.
Naluri kebapakan ini bisa muncul, dari dukungan elemen 'backbone' karena ia telah bekerja dan berpenghasilan, serta ia sadar bahwa seharusnya maisyah dari pekerjaannya sudah bisa disalurkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, menafkahi istri dan tidak menggunakan uang pendapatan itu untuk dimakan sendiri.
Selain itu, faktor lainnya ialah perasaan rindu mendalam bahwa sudah saatnya ia memiliki kekasih halal, agar hidupnya menjadi tentram, bisa lebih bersemangat, bisa memiliki teman curhat abadi serta partner hidup dunia dan akherat. Sungguh, tidak ada yang merugi saat seseorang sudah menikah, terlebih menikah muda atau saat di mana usianya telah dianggap matang.
Bagaimanapun juga manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Menargetkan sesuatu ada kalanya gagal, meleset dari harapan atau bahkan tidak kesampaian. Yang perlu dicermati ialah, bukan seberapa sibuknya menyelesaikan target, tetapi memperhatikan segala persiapan baik yang bersifat lahiriah dan batiniah serta yang bersifat dukungan materi maupun non-materi.
Seseorang bisa mencintai karena Allah dan dapat berpisah pula karena Allah. Tidak ada yang bisa menghalangi bila sudah tiba saatnya untuk menikah atas izin Allah. Selayaknya seseorang mencintai karena Allah, pasti ia tidak akan menghalangi dalam mendekatkan dirinya kepada Allah melalui jalan pernikahan. Karena pernikahan itu sendiri pada hakekatnya merupakan ibadah untuk semakin mendekatkan diri pada Allah.
Wallahu a'lam.
*****
(Foto: Wowheboh)
Comments
Post a Comment