Langsung saja dari sebuah plot, di mana penulis langsung mencatat waktunya saat itu, jam 21.00 tanggal 2 Juni 2014 di Taipei, Taiwan. Makan malam bersama para bule. Sebagian merupakan para pejabat perusahaan pembuat prosesor asal Amerika Serikat.
Ini merupakan perjalanan lintas negara yang kesekian kalinya. Penulis mendapatkan kesempatan berkunjung ke luar negeri. Kali ini tidak sendiri, tetapi ditemani oleh rekan jurnalis dari Indonesia.
Sedikit berbagi cerita dan pengalaman di Taipei. Kunjungan ini hanya berlangsung dari tanggal 1-5 Juni 2014. Sebuah kesempatan menarik, tantangan sekaligus menikmati kota yang menyenangkan di Taipei.
Kami datang atas undangan salah satu produsen prosesor 'Kubu Merah' yang ingin mengungkap teknologi otak komputer terbarunya. Banyak cerita di sini, tetapi penulis ambil dari angle yang menurut penulis paling menarik. Tentang kuliner di Taiwan.
Pada sebuah kesempatan, di hari kedua usai acara kami makan malam bersama di sebuah restoran bergaya China/Taiwan. Ada bule asal Texas, Amerika Serikat dan lain-lain. Mereka bebas minum bir dan makan hidangan 'pork' dalam satu meja bersama kami, jurnalis asal Indonesia.
Di sini kulinernya sesungguhnya enak, tempat yang nyaman, tetapi bagi penulis ini seperti berada dalam sebuah arena ujian, di mana penulis harus sabar dan berusaha memilih sebisa mungkin makanan halal.
Makanan enak yang penulis santap (mungkin karena lapar jadi enak-enak saja), ya kalau tidak burger king (daging ayam/sapi), ngegadoin KFC (ayam goreng) di kamar hotel sebagai makan malam atau roti isi daging ayam sejenis sandwich yang dibeli di tempat makan bernama Subway, semacam fast food. Nasi hanya dihidangkan saat sarapan di hotel.
Entahlah apakah penggorengan atau panci yg digunakan untuk memasak ayam atau ikan itu sudah tercampur dengan daging babi atau tidak. Yang pasti penulis sudah berusaha untuk menghindari hidangan-hidangan yang diharamkan dalam Islam.
Merasa minoritas memang, tapi di sinilah seorang Muslim diuji. Tersirat dalam hati, andai mereka merasakan indahnya menjadi seorang Muslim, pastilah mereka tidak akan memakan hidangan babi itu.
Ah, andai penulis bisa meyakinkan mereka betapa tentramnya menjadi Muslim. Jalan dakwah itu berat, penulis pun belum merasa menjadi ikhwan yang shaleh. Hanya terus belajar dan belajar menjadi Muslim yang istiqomah.
Jangankan ceramah di depan mereka, dalam bahasa Indonesia saja terasa sulit, apalagi dalam bahasa Inggris. Ah, lagi-lagi andai mereka merasakan indahnya menjadi muslim. Maka, tentu mereka tidak akan memakan daging babi yang diharamkan dalam Islam.
Perkara larangan semacam ini mungkin bisa membuat seseorang berpikir dengan nalar, padahal ilmu manusia terbatas. Ilmu manusia dan pengetahuannya tidak ada apa-apanya dibandingkan Allah yang Maha Tahu.
Mengapa daging babi itu dilarang? Mungkin penulis dianggap orang asing di negeri yang mayoritas non-Islam. Mungkin mereka berpikir, loh kenapa gak makan daging babi? apa alasannya tidak memakan daging babi? kenapa Muslim tidak boleh menyantap hidangan daging babi?
Hanya terdiam dan senyum saat sayur dan nasi goreng udang itu penulis santap. Untungnya mereka paham dan tidak ambil pusing dengan preferensi makanan yang penulis makan. Salah seorang bule saat itu, entah dia mencoba berpikir secara logika atau hati.
Dalam bahasa Inggris dia berkata, intinya, dia menceritakan sebelumnya dia bertemu dengan orang yang tidak memakan babi. Orang itu diceritakannya, tidak memakan daging babi karena sebelumnya tidak tega melihat bayi babi yang masih kecil-kecil. Sehingga, atas perasaan iba (terhadap babi kecil mungil itu), orang yang diceritakan bule itu tidak menyantap babi.
Mendengar itu penulis hanya terdiam dan senyum. Sebenarnya tidak ada salahnya menunjukkan identitas bahwa kita adalah Muslim. Dan, satu hal, bukan juga karena kami (Muslim) merasa tega terhadap hewan babi tersebut, tetapi ini adalah bagian dari larangan secara hukum Islam bahwa babi itu haram. Maka, semua yang mengaku Muslim di seluruh dunia patuh tidak akan memakan daging hewan yang hidupnya senang berkubang di lumpur tersebut.
Mereka, para bule itu pun tidak segan-segan menenggak bir. Ya, minuman satu itu lagi-lagi adalah larangan dalam Islam (khamar). Penulis tidak sendiri pada saat itu, ada dua rekan sesama profesi jurnalis. Yang satu non-Islam, yang satu lagi beragama Islam.
Hanya kami berdua yang bersulang dengan gelas kecil berwarna putih/bening (air mineral), sedangkan para bule itu menggenggam gelas kecil dengan air berwarna kuning (bir Taiwan). Selepas menyantap makan malam, kami bergegas menuju hotel.
Hal yang mungkin tidak terlupakan saat tidur di kamar hotel. Penulis sebenarnya memiliki alergi udang, dan terbukti, udang-udang yang disantap pada pukul 21.00an itu memberikan efek alergi gatal bentol di sekujur tubuh tepat pada pukul 01.00 waktu Taipei (3 Juni 2014). Efek gatal merah pada paha, lengan serta leher bagian belakang baru terasa setelah empat jam, usai menyantap hidangan udang tersebut.
Terbangun di kamar karena gatal, dan kemudian meminum teh pahit Tong Ji yang di bawa dari rumah, sambil berdoa meminta kesembuhan. Alhamdulillah, bentol dan gatal pun mereda sekira pukul 02.00. Dan, penulis melanjutkan tidur hingga bangun kembali untuk solat Subuh.
Pengalaman ini bagi penulis menarik dan menantang. Seharusnya tidak perlu menyantap udang banyak-banyak, namun apa boleh dikata demi menghindari hidangan 'porky'. Agak bosan dengan santapan chicken lagi or fish lagi.
Kami menyantap hidangan makanan ala Jepang di sebuah restoran bernama Din Tai Fung di wilayah Xinyi Rd, Taipei City. Penulis baru tahu bahwa Din Tai Fung juga ada di Indonesia.
Yang ingin penulis sampaikan ialah, sebagai Muslim, kita harus buktikan bahwa kita benar-benar menggenggam keteguhan iman dan tidak tergoda menyantap makanan daging hewan tertentu yang dilarang dalam Islam.
Walau sulit menemukan mushola. Beberapa tempat solat yang ditemukan, hanya di kamar Hotel dan tersedia di ruangan 'prayer' acara Computex, itu pun wudhunya melalui wastafel toilet. Agak sulit pada saat bagian terakhir, yakni membasuh kaki yang tentu saja bisa dilihat oleh para pengunjung lainnya yang mayoritas non-Islam.
Pertanyaannya, mengapa Babi haram? larangan memakan daging babi sudah disebutkan dalam beberapa ayat Al Quran. "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala" (QS Al Maa'idah: 3).
Semoga hidayah datang kepada mereka yang memang mencari jalan memahami indahnya agama Islam. Beberapa tulisan yang penulis baca, banyak mualaf yang memeluk Islam karena melihat hal-hal menakjubkan dalam Islam.
Misalnya, bagaimana diterangkan proses terciptanya manusia (QS Al Hajj: 5), mengenai sungai di dalam laut yang sempat populer dengan foto-foto yang bisa dilihat di internet dan ayat yang menerangkan, "Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi" (QS Al Furqaan: 53).
Tanda-tanda kebesaran Allah bisa dirasakan seluruh manusia, bagi mereka yang berpikir dan mau menerima kebenaran. Mengapa babi itu diharamkan? terlepas dari penjelasan sains, bahwa babi itu mengandung cacing pita dan lain-lain, maka kita wajib patuh untuk mengikuti aturan yang telah digariskan dalam Islam.
Ada juga sebuah cerita yang pernah penulis dengar, bahwa babi itu kelakuannya 'kotor'. Beda dengan ayam yang saat ingin mendapatkan betina pujaannya, ia bertarung dengan jantan lainnya untuk bisa kawin dengan betinanya.
Sedangkan babi tidak, malahan babi memuaskan birahinya dengan menyetubuhi beramai-ramai satu betina. Tidak puas dengan itu, kabarnya dua babi jantan ini melakukan hubungan sejenis (homoseksual). Konon, babi terkenal rakus dan hidup di tempat kotor, bahkan menyantap kotorannya sendiri.
Dari segi sains sudah ada penjelasan bahwa babi itu hewan yang menjijikan untuk disantap bukan? Begitu pula dalam Islam, tidak ada yang tidak diatur dalam Islam, termasuk apa yang boleh disantap dan yang tidak, bahkan urusan hubungan suami istri pun diatur dalam Islam. Islam adalah agama damai dan mendamaikan.
Wallahu a'lam.
*****
(Foto: Dok. Pribadi)
Ini merupakan perjalanan lintas negara yang kesekian kalinya. Penulis mendapatkan kesempatan berkunjung ke luar negeri. Kali ini tidak sendiri, tetapi ditemani oleh rekan jurnalis dari Indonesia.
Sedikit berbagi cerita dan pengalaman di Taipei. Kunjungan ini hanya berlangsung dari tanggal 1-5 Juni 2014. Sebuah kesempatan menarik, tantangan sekaligus menikmati kota yang menyenangkan di Taipei.
Kami datang atas undangan salah satu produsen prosesor 'Kubu Merah' yang ingin mengungkap teknologi otak komputer terbarunya. Banyak cerita di sini, tetapi penulis ambil dari angle yang menurut penulis paling menarik. Tentang kuliner di Taiwan.
Pada sebuah kesempatan, di hari kedua usai acara kami makan malam bersama di sebuah restoran bergaya China/Taiwan. Ada bule asal Texas, Amerika Serikat dan lain-lain. Mereka bebas minum bir dan makan hidangan 'pork' dalam satu meja bersama kami, jurnalis asal Indonesia.
Di sini kulinernya sesungguhnya enak, tempat yang nyaman, tetapi bagi penulis ini seperti berada dalam sebuah arena ujian, di mana penulis harus sabar dan berusaha memilih sebisa mungkin makanan halal.
Makanan enak yang penulis santap (mungkin karena lapar jadi enak-enak saja), ya kalau tidak burger king (daging ayam/sapi), ngegadoin KFC (ayam goreng) di kamar hotel sebagai makan malam atau roti isi daging ayam sejenis sandwich yang dibeli di tempat makan bernama Subway, semacam fast food. Nasi hanya dihidangkan saat sarapan di hotel.
Entahlah apakah penggorengan atau panci yg digunakan untuk memasak ayam atau ikan itu sudah tercampur dengan daging babi atau tidak. Yang pasti penulis sudah berusaha untuk menghindari hidangan-hidangan yang diharamkan dalam Islam.
Merasa minoritas memang, tapi di sinilah seorang Muslim diuji. Tersirat dalam hati, andai mereka merasakan indahnya menjadi seorang Muslim, pastilah mereka tidak akan memakan hidangan babi itu.
Ah, andai penulis bisa meyakinkan mereka betapa tentramnya menjadi Muslim. Jalan dakwah itu berat, penulis pun belum merasa menjadi ikhwan yang shaleh. Hanya terus belajar dan belajar menjadi Muslim yang istiqomah.
Jangankan ceramah di depan mereka, dalam bahasa Indonesia saja terasa sulit, apalagi dalam bahasa Inggris. Ah, lagi-lagi andai mereka merasakan indahnya menjadi muslim. Maka, tentu mereka tidak akan memakan daging babi yang diharamkan dalam Islam.
Perkara larangan semacam ini mungkin bisa membuat seseorang berpikir dengan nalar, padahal ilmu manusia terbatas. Ilmu manusia dan pengetahuannya tidak ada apa-apanya dibandingkan Allah yang Maha Tahu.
Mengapa daging babi itu dilarang? Mungkin penulis dianggap orang asing di negeri yang mayoritas non-Islam. Mungkin mereka berpikir, loh kenapa gak makan daging babi? apa alasannya tidak memakan daging babi? kenapa Muslim tidak boleh menyantap hidangan daging babi?
Hanya terdiam dan senyum saat sayur dan nasi goreng udang itu penulis santap. Untungnya mereka paham dan tidak ambil pusing dengan preferensi makanan yang penulis makan. Salah seorang bule saat itu, entah dia mencoba berpikir secara logika atau hati.
Dalam bahasa Inggris dia berkata, intinya, dia menceritakan sebelumnya dia bertemu dengan orang yang tidak memakan babi. Orang itu diceritakannya, tidak memakan daging babi karena sebelumnya tidak tega melihat bayi babi yang masih kecil-kecil. Sehingga, atas perasaan iba (terhadap babi kecil mungil itu), orang yang diceritakan bule itu tidak menyantap babi.
Mendengar itu penulis hanya terdiam dan senyum. Sebenarnya tidak ada salahnya menunjukkan identitas bahwa kita adalah Muslim. Dan, satu hal, bukan juga karena kami (Muslim) merasa tega terhadap hewan babi tersebut, tetapi ini adalah bagian dari larangan secara hukum Islam bahwa babi itu haram. Maka, semua yang mengaku Muslim di seluruh dunia patuh tidak akan memakan daging hewan yang hidupnya senang berkubang di lumpur tersebut.
Mereka, para bule itu pun tidak segan-segan menenggak bir. Ya, minuman satu itu lagi-lagi adalah larangan dalam Islam (khamar). Penulis tidak sendiri pada saat itu, ada dua rekan sesama profesi jurnalis. Yang satu non-Islam, yang satu lagi beragama Islam.
Hanya kami berdua yang bersulang dengan gelas kecil berwarna putih/bening (air mineral), sedangkan para bule itu menggenggam gelas kecil dengan air berwarna kuning (bir Taiwan). Selepas menyantap makan malam, kami bergegas menuju hotel.
Hal yang mungkin tidak terlupakan saat tidur di kamar hotel. Penulis sebenarnya memiliki alergi udang, dan terbukti, udang-udang yang disantap pada pukul 21.00an itu memberikan efek alergi gatal bentol di sekujur tubuh tepat pada pukul 01.00 waktu Taipei (3 Juni 2014). Efek gatal merah pada paha, lengan serta leher bagian belakang baru terasa setelah empat jam, usai menyantap hidangan udang tersebut.
Terbangun di kamar karena gatal, dan kemudian meminum teh pahit Tong Ji yang di bawa dari rumah, sambil berdoa meminta kesembuhan. Alhamdulillah, bentol dan gatal pun mereda sekira pukul 02.00. Dan, penulis melanjutkan tidur hingga bangun kembali untuk solat Subuh.
Pengalaman ini bagi penulis menarik dan menantang. Seharusnya tidak perlu menyantap udang banyak-banyak, namun apa boleh dikata demi menghindari hidangan 'porky'. Agak bosan dengan santapan chicken lagi or fish lagi.
Kami menyantap hidangan makanan ala Jepang di sebuah restoran bernama Din Tai Fung di wilayah Xinyi Rd, Taipei City. Penulis baru tahu bahwa Din Tai Fung juga ada di Indonesia.
Yang ingin penulis sampaikan ialah, sebagai Muslim, kita harus buktikan bahwa kita benar-benar menggenggam keteguhan iman dan tidak tergoda menyantap makanan daging hewan tertentu yang dilarang dalam Islam.
Walau sulit menemukan mushola. Beberapa tempat solat yang ditemukan, hanya di kamar Hotel dan tersedia di ruangan 'prayer' acara Computex, itu pun wudhunya melalui wastafel toilet. Agak sulit pada saat bagian terakhir, yakni membasuh kaki yang tentu saja bisa dilihat oleh para pengunjung lainnya yang mayoritas non-Islam.
Pertanyaannya, mengapa Babi haram? larangan memakan daging babi sudah disebutkan dalam beberapa ayat Al Quran. "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala" (QS Al Maa'idah: 3).
Semoga hidayah datang kepada mereka yang memang mencari jalan memahami indahnya agama Islam. Beberapa tulisan yang penulis baca, banyak mualaf yang memeluk Islam karena melihat hal-hal menakjubkan dalam Islam.
Misalnya, bagaimana diterangkan proses terciptanya manusia (QS Al Hajj: 5), mengenai sungai di dalam laut yang sempat populer dengan foto-foto yang bisa dilihat di internet dan ayat yang menerangkan, "Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi" (QS Al Furqaan: 53).
Tanda-tanda kebesaran Allah bisa dirasakan seluruh manusia, bagi mereka yang berpikir dan mau menerima kebenaran. Mengapa babi itu diharamkan? terlepas dari penjelasan sains, bahwa babi itu mengandung cacing pita dan lain-lain, maka kita wajib patuh untuk mengikuti aturan yang telah digariskan dalam Islam.
Ada juga sebuah cerita yang pernah penulis dengar, bahwa babi itu kelakuannya 'kotor'. Beda dengan ayam yang saat ingin mendapatkan betina pujaannya, ia bertarung dengan jantan lainnya untuk bisa kawin dengan betinanya.
Sedangkan babi tidak, malahan babi memuaskan birahinya dengan menyetubuhi beramai-ramai satu betina. Tidak puas dengan itu, kabarnya dua babi jantan ini melakukan hubungan sejenis (homoseksual). Konon, babi terkenal rakus dan hidup di tempat kotor, bahkan menyantap kotorannya sendiri.
Dari segi sains sudah ada penjelasan bahwa babi itu hewan yang menjijikan untuk disantap bukan? Begitu pula dalam Islam, tidak ada yang tidak diatur dalam Islam, termasuk apa yang boleh disantap dan yang tidak, bahkan urusan hubungan suami istri pun diatur dalam Islam. Islam adalah agama damai dan mendamaikan.
Wallahu a'lam.
*****
(Foto: Dok. Pribadi)
Comments
Post a Comment