Akhir-akhir ini penulis merasa futur. Kondisi yang membuat pikiran terlalu diporsir untuk pekerjaan dan segala macam kemumetan. Tidak ada 100 persen pekerjaan yang menyenangkan, penulis paham akan hal itu. Akan selalu ditemui plus minus yang dihadapi dalam sebuah pekerjaan.
Pekerjaan saat ini bisa dikatakan mempengaruhi aspek psikis dan mental, bahkan iman. Godaan selalu datang, sulit menentukan apakah ini halal atau haram, terutama bila menyangkut soal uang yang kita terima dari suatu jasa yang kita lakukan, walaupun sesungguhnya itu sudah menjadi bagian dari pekerjaan.
Bagi yang ingin menjadi reporter, tolong pikirkan sekali lagi dengan matang, yakinkan diri sehingga tidak salah dalam memilih sebuah pekerjaan.
Dari beragam sudut pandang, ada 'dosa-dosa' reporter yang bisa muncul dan dialami, baik itu oleh kalangan junior maupun senior. Reporter, 'prajurit' dari sebuah media, secara tidak langsung atau langsung turut andil dalam menentukan arah dan kebijakan pemerintah dan mengonstruksi opini publik.
Bila pemberitaannya berbobot dan benar untuk kebaikan bersama, maka hal itu justru bagus. Tetapi bila terselubung untuk menjatuhkan kelompok tertentu dan sarat akan muatan politis, ini yang buruk. Bahkan, bos media pun bisa ikut-ikutan terjun ke dunia politik.
Pertanyaannya, ngapain bos perusahaan media nekat terjun ke politik? Ada maksud yang mungkin kita tidak ketahui. Entah itu untuk kebaikan umat atau untuk memperkaya kalangan tertentu, kita tidak benar-benar tahu. Muak dengan pemberitaan yang begitu gencar di media, seperti adu domba, apalagi media yang sampai mencoreng nama Islam dan menyebarkan fitnah dan kebohongan.
Tidak aneh bukan di televisi atau media online, rubrik atau berita mengenai infotainment sangat digemari sebagian masyarakat. Apakah reporternya berdosa bila membeberkan aib atau rahasia orang? Apakah kita bisa ikut-ikutan berdosa juga, yang bekerja di perusahaan tersebut yang kita pun menyaksikan ada hal semacam itu dan berita-berita ghibah/gosip, boleh jadi tanpa kita sadari, kita pun bisa mengonsumsinya?
Sudah bukan skala mikro lagi, bila dampak dari pemberitaan bisa mengubah persepsi orang, membuat yang putih menjadi hitam, atau hitam menjadi putih. Belum lagi jalean alias sogokan halus yang mungkin biasa diterima reporter sebagai bentuk ucapan terima kasih, yang berkedok penyebutan uang transport dan sebagainya.
Bagi reporter junior mungkin masih malu-malu atau takut menerima bentuk menggiurkan seperti itu. Namun, seiring berjalannya waktu dan pengalaman, kadang kokohnya idealisme bisa luntur dikikis realitas yang ada terkait kesejahteraan reporter. Kode etik wartawan hanya jadi wacana di perkuliahan dasar-dasar jurnalistik.
Memang enak kerja menjadi reporter? banyak tantangan, dan terutama waktu kerja yang tidak menentu. Buat yang lebih senang kerja santai-santai di kantoran, penulis sarankan jangan pernah mencoba menjadi reporter, karena mungkin Anda akan salah jalur.
Profesi ini ekslusif, bisa dikatakan demikian, karena ada benefit-benefit yang tidak bisa diperoleh apabila Anda bekerja di tempat lain (non-reporter). Boleh berpakaian bebas-santai, tetapi sabtu-minggu dan tanggal merah belum tentu libur.
Bersyukurlah apabila ada yang bekerja di sebuah media yang tidak mengedepankan kuantitas artikel berita, namun kualitas. Sebab, porsi kuantitas yang terlalu digenjot otomatis akan menurunkan kualitas.
Bagi yang tidak terlalu senang pergi-pergi liputan ke luar negeri, lebih baik pilih perusahaan media yang biasa-biasa saja. Karena, media yang besar umumnya bisa diundang pergi meliput ke luar negeri, baik itu kawasan Asia, Amerika atau Eropa.
Tetapi, ada juga perusahaan media yang katanya besar, tetapi tidak diperhitungkan untuk diundang meliput ke luar negeri. Sayangnya, perusahaan media ini malah terlihat 'mengemis' dan mengeluarkan jurusnya, sehingga kelak diundang liputan ke luar negeri.
Penulis jadi ingat seorang teman kuliah dulu yang pada akhirnya tidak menjadi reporter. Padahal, dahulu ia sangat pintar sekali di kelas jurusan Multimedia Jurnalistik. Mungkin dia tahu bahwa pekerjaan reporter kental akan kepentingan kelompok dan kapitalis. Daripada terlanjur bermain api, mendingan tidak perlu membakar sekalipun.
Kalau tahu dunia reporter seperti ini, dengan ritme kerja yang seperti ini, dan tantangan macam-macam yang ada di dalamnya, persiapkan mental dan psikis Anda agar tidak cepat 'jatuh'. Stamina fisik, jangan ditanya, lelah, jangan mengeluh. Terkadang pekerjaan ini benar-benar membuat keasyikan, sampai-sampai bisa menciptakan kondisi futur.
Memang tidak semua perusahaan media itu buruk. Ada juga beberapa media Islam yang mendukung dakwah, itu yang perlu didorong dan dilestarikan.
Bukankah segala macam perbuatan kita akan dimintai pertanggunganjawabnya dihadapan Allah? Bukankah pertanggunganjawab itu termasuk artikel-artikel tulisan yang dibuat oleh reporternya?
Apakah ini merupakan tanda-tanda, bahwa sudah seharusnya mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Pekerjaan yang lebih tentram dan damai.
Wallahu a'lam.
*****
Pekerjaan saat ini bisa dikatakan mempengaruhi aspek psikis dan mental, bahkan iman. Godaan selalu datang, sulit menentukan apakah ini halal atau haram, terutama bila menyangkut soal uang yang kita terima dari suatu jasa yang kita lakukan, walaupun sesungguhnya itu sudah menjadi bagian dari pekerjaan.
Bagi yang ingin menjadi reporter, tolong pikirkan sekali lagi dengan matang, yakinkan diri sehingga tidak salah dalam memilih sebuah pekerjaan.
Dari beragam sudut pandang, ada 'dosa-dosa' reporter yang bisa muncul dan dialami, baik itu oleh kalangan junior maupun senior. Reporter, 'prajurit' dari sebuah media, secara tidak langsung atau langsung turut andil dalam menentukan arah dan kebijakan pemerintah dan mengonstruksi opini publik.
Bila pemberitaannya berbobot dan benar untuk kebaikan bersama, maka hal itu justru bagus. Tetapi bila terselubung untuk menjatuhkan kelompok tertentu dan sarat akan muatan politis, ini yang buruk. Bahkan, bos media pun bisa ikut-ikutan terjun ke dunia politik.
Pertanyaannya, ngapain bos perusahaan media nekat terjun ke politik? Ada maksud yang mungkin kita tidak ketahui. Entah itu untuk kebaikan umat atau untuk memperkaya kalangan tertentu, kita tidak benar-benar tahu. Muak dengan pemberitaan yang begitu gencar di media, seperti adu domba, apalagi media yang sampai mencoreng nama Islam dan menyebarkan fitnah dan kebohongan.
Tidak aneh bukan di televisi atau media online, rubrik atau berita mengenai infotainment sangat digemari sebagian masyarakat. Apakah reporternya berdosa bila membeberkan aib atau rahasia orang? Apakah kita bisa ikut-ikutan berdosa juga, yang bekerja di perusahaan tersebut yang kita pun menyaksikan ada hal semacam itu dan berita-berita ghibah/gosip, boleh jadi tanpa kita sadari, kita pun bisa mengonsumsinya?
Sudah bukan skala mikro lagi, bila dampak dari pemberitaan bisa mengubah persepsi orang, membuat yang putih menjadi hitam, atau hitam menjadi putih. Belum lagi jalean alias sogokan halus yang mungkin biasa diterima reporter sebagai bentuk ucapan terima kasih, yang berkedok penyebutan uang transport dan sebagainya.
Bagi reporter junior mungkin masih malu-malu atau takut menerima bentuk menggiurkan seperti itu. Namun, seiring berjalannya waktu dan pengalaman, kadang kokohnya idealisme bisa luntur dikikis realitas yang ada terkait kesejahteraan reporter. Kode etik wartawan hanya jadi wacana di perkuliahan dasar-dasar jurnalistik.
Memang enak kerja menjadi reporter? banyak tantangan, dan terutama waktu kerja yang tidak menentu. Buat yang lebih senang kerja santai-santai di kantoran, penulis sarankan jangan pernah mencoba menjadi reporter, karena mungkin Anda akan salah jalur.
Profesi ini ekslusif, bisa dikatakan demikian, karena ada benefit-benefit yang tidak bisa diperoleh apabila Anda bekerja di tempat lain (non-reporter). Boleh berpakaian bebas-santai, tetapi sabtu-minggu dan tanggal merah belum tentu libur.
Bersyukurlah apabila ada yang bekerja di sebuah media yang tidak mengedepankan kuantitas artikel berita, namun kualitas. Sebab, porsi kuantitas yang terlalu digenjot otomatis akan menurunkan kualitas.
Bagi yang tidak terlalu senang pergi-pergi liputan ke luar negeri, lebih baik pilih perusahaan media yang biasa-biasa saja. Karena, media yang besar umumnya bisa diundang pergi meliput ke luar negeri, baik itu kawasan Asia, Amerika atau Eropa.
Tetapi, ada juga perusahaan media yang katanya besar, tetapi tidak diperhitungkan untuk diundang meliput ke luar negeri. Sayangnya, perusahaan media ini malah terlihat 'mengemis' dan mengeluarkan jurusnya, sehingga kelak diundang liputan ke luar negeri.
Penulis jadi ingat seorang teman kuliah dulu yang pada akhirnya tidak menjadi reporter. Padahal, dahulu ia sangat pintar sekali di kelas jurusan Multimedia Jurnalistik. Mungkin dia tahu bahwa pekerjaan reporter kental akan kepentingan kelompok dan kapitalis. Daripada terlanjur bermain api, mendingan tidak perlu membakar sekalipun.
Kalau tahu dunia reporter seperti ini, dengan ritme kerja yang seperti ini, dan tantangan macam-macam yang ada di dalamnya, persiapkan mental dan psikis Anda agar tidak cepat 'jatuh'. Stamina fisik, jangan ditanya, lelah, jangan mengeluh. Terkadang pekerjaan ini benar-benar membuat keasyikan, sampai-sampai bisa menciptakan kondisi futur.
Memang tidak semua perusahaan media itu buruk. Ada juga beberapa media Islam yang mendukung dakwah, itu yang perlu didorong dan dilestarikan.
Bukankah segala macam perbuatan kita akan dimintai pertanggunganjawabnya dihadapan Allah? Bukankah pertanggunganjawab itu termasuk artikel-artikel tulisan yang dibuat oleh reporternya?
Apakah ini merupakan tanda-tanda, bahwa sudah seharusnya mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Pekerjaan yang lebih tentram dan damai.
Wallahu a'lam.
*****
Ma sya Allah... serem juga ya..
ReplyDeleteApa disana ga bisa milih.. misalnya hanya fokus di rubrik olahraga jd ga ikutan report yg nyerempet2 ke politik,
bisa pilih rubrik tertentu, dan tdk nyerempet politik. tetapi rubrik tertentu itu juga memiliki byk godaan, hrus hati-hati juga :)
Delete