Doktrin. Ah penulis pikir kata tersebut kurang tepat. Lebih tepatnya nasehat. Ya, kata ini lebih mendekati pemilihan kata yang benar.
Kisah nyata yang terjadi pada pertengahan 2012 ini masih saja penulis ingat.
Di sebuah hari yang terik dan lapang. Area pesantren (kalau tidak salah) yang tampak modern dengan gedung yang saat itu sebagian direnovasi. Penulis hanya mengantarkan orangtua untuk bersilaturahim dan berkumpul bersama calon-calon haji dan hajah lainnya di lingkup Jabodetabek.
Suasana tampak sepi. Mungkin karena libur atau tidak ada musim kegiatan belajar mengajar santri. Saat itu adalah hari minggu, yang menambah ilmu tidak hanya untuk para calon haji, tetapi juga penulis mendapatkan input dari seorang yang dihormati di tempat tersebut.
Ada sedikit miss-komunikasi, yang membuat beberapa dari kami datang, padahal seharusnya manasik haji di hari itu sedang mengalami perubahan jadwal. Rumah yang cukup besar namun tampak antik di samping gedung ruang belajar santri itu tempat kami singgah, bersilaturahim dengan pak haji.
Akses masuk ke tempat yang mengadakan bimbingan manasik haji ini kalau dari Bojonggede sampai Parung Bogor cukup jauh. Masuk gang agak ke dalam setelah tikungan jalan raya Parung. Untunglah sudah beberapa kali penulis ke tempat ini mengendarai kendaraan beroda empat milik keluarga, Sehingga tidak sampai tersesat.
Kembali lagi di rumah pak haji. Ruang tamunya cukup besar dengan meja panjang. Uniknya, kami lesehan di situ. Dari tempat penulis duduk lesehan dan bersandar di dinding, penulis dan tamu bisa melihat gambar Ka'bah yang ditempel di dinding seberang.
Dan, percakapan pun terjadi. Yang paling penulis ingat, ya tentu hal yang penulis anggap paling menohok ruang penasaran. Hal yang penulis tidak duga, tetapi ya mengalir begitu saja obrolan antar tuan rumah dengan tamu.
Penulis tidak tahu berapa usia pak haji, mungkin sekitar 55 tahun-an. Ia menyambut kami bersama istrinya yang tampak lebih muda darinya. "Kalau cari istri yang sekufu," kata pak Haji, melontarkan perkataannya tepat di hadapan penulis.
Sontak penulis kaget. Ada rasa penasaran yang dikemas dalam senyum, berharap kalimat apa yang selanjutnya akan beliau katakan. Di ruang tamu itu, tersedia beberapa jenis makanan ringan dan minuman teh manis yang bisa kami cicip sembari bercakap-cakap.
Sekufu berarti ada kesetaraan. Penulis tidak bertanya dan lebih memilih diam menyimak apa yang diucap oleh pak haji. Kesamaan, sama-sama seiman, mungkin juga dari sisi harta, sama-sama berpendidikan, dan soal keindahan fisik kalau tidak salah juga disebut.
Meskipun poin yang terakhir sebenarnya relatif, tetapi tidak salah bila seseorang menginginkan pendamping hidup yang cantik (buat yang laki-laki) dan tampan (buat yang perempuan).
Pak haji yang mengenakan sarung sembari duduk di sofa, memberikan nasehatnya, ya penulis anggap saja nasehat seperti itu. Mungkin hanya penulis di situ yang merasakan 'euforia' penasaran, seperti apakah idealnya sosok istri itu.
"Cari yang usianya lebih muda, karena nantinya perempuan itu akan cepat tua," sambungnya. Terlepas dari percaya atau tidak ucapannya, namun ke-kepo-an merasuk pikiran, apakah betul demikian?
Nantinya istri akan tampak lebih tua? Bepikir secara logika, meskipun penulis belum mengalami langsung seperti apa pernikahan, tetapi tampaknya ucapan itu benar adanya. Apalagi itu dinasehatkan oleh seseorang yang sudah berkeluarga, usia 'sesepuh', paham mengenai agama & mengajarkannya kepada orang lain.
Penulis pikir istri akan lebih dominan dalam mengatur hampir semua aspek urusan rumah tangga. Berperan dengan multitasking, mulai dari mengurus ini dan itu, hal-hal kecil sampai yang besar.
Penulis tidak begitu mengetahui alasan apa yang membuatnya mengatakan bahwa istri akan lebih cepat tua dibandingkan suami. Mungkin beliau mengalami sendiri, atau mendengar dari orang yang berkata padanya atau mengamati langsung dari kenyataan yang ada.
Mencoba berlogika, mungkin yang diucapkan ada benarnya. Oleh karena sibuk mengurus keluarga dan sangat piawai dalam mengelola segala macam tetekbengek kehidupan rumah tangga, istri bisa jadi tampak lebih tua. Penulis pikir maksudnya juga akan lebih dewasa dan makin keibuan apabila memiliki anak.
Barangkali, kondisi sibuk mengurus keluarga ini yang membuat seorang perempuan akan tampak lebih tua, secara fisik. Penulis baru paham perkatan beliau, "cari yang usianya lebih muda". Sehingga apa? bila istri lebih muda, maka pada saat mencapai usia pernikahan belasan hingga puluhan tahun, istri akan tetap menyenangkan bagi suami, yang juga sudah tua.
Hadits juga mengungkap bahwa sebaiknya mencari istri yang masih gadis, bukan janda. Ini untuk mencapai salah satu tujuan pernikahan, yakni kelanggengan. Mengutip sebagian kata-kata dari Muslim.or.id.
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih menerima jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"
Tidak hanya pak haji yang mengatakan hal demikian. Input atau nasehat dari orangtua juga pernah muncul. Namun, yang namanya jodoh, tidak ada yang mengetahui kecuali Allah. Boleh jadi jodoh itu, ternyata berbeda tidak seperti nasehat yang mereka katakan, pun manusia yang masih single barangkali tidak pernah tahu siapa jodoh mereka sesungguhnya.
Tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi para pasangan, baik yang belum resmi (masih calon) atau resmi maupun yang masih single untuk jangan langsung berpikir 'doktrinisasi' bahwa pasangan hidup ideal adalah yang laki-lakinya usianya lebih tua, dan perempuannya lebih muda atau mungkin yang sebaya (usianya sama, tahun lahirnya sama).
Mohon maaf tulisan ini juga bukan untuk menyinggung penganut 'brondongnisasi' (ngapa bahasanya jadi pikinisasi begini yak?!), sah-sah saja bukan, yang penting sesuai syariat dan niat menikah karena Allah.
Mulai menerka-nerka, idealnya berapa sih umur pasangan hidup kita? selisih usia 1, 2, 3, 4, 5 bahkan 10 tahun atau lebih? Daripada pusing-pusing kalau belum siap, buat yang laki-laki alias ikhwan single, masih ada waktu, ngaji dulu deh. Siapkan diri untuk sosok shaleh/shalehah yang Allah akan pertemukan, aamiin.
*****
Kisah nyata yang terjadi pada pertengahan 2012 ini masih saja penulis ingat.
Di sebuah hari yang terik dan lapang. Area pesantren (kalau tidak salah) yang tampak modern dengan gedung yang saat itu sebagian direnovasi. Penulis hanya mengantarkan orangtua untuk bersilaturahim dan berkumpul bersama calon-calon haji dan hajah lainnya di lingkup Jabodetabek.
Suasana tampak sepi. Mungkin karena libur atau tidak ada musim kegiatan belajar mengajar santri. Saat itu adalah hari minggu, yang menambah ilmu tidak hanya untuk para calon haji, tetapi juga penulis mendapatkan input dari seorang yang dihormati di tempat tersebut.
Ada sedikit miss-komunikasi, yang membuat beberapa dari kami datang, padahal seharusnya manasik haji di hari itu sedang mengalami perubahan jadwal. Rumah yang cukup besar namun tampak antik di samping gedung ruang belajar santri itu tempat kami singgah, bersilaturahim dengan pak haji.
Akses masuk ke tempat yang mengadakan bimbingan manasik haji ini kalau dari Bojonggede sampai Parung Bogor cukup jauh. Masuk gang agak ke dalam setelah tikungan jalan raya Parung. Untunglah sudah beberapa kali penulis ke tempat ini mengendarai kendaraan beroda empat milik keluarga, Sehingga tidak sampai tersesat.
Kembali lagi di rumah pak haji. Ruang tamunya cukup besar dengan meja panjang. Uniknya, kami lesehan di situ. Dari tempat penulis duduk lesehan dan bersandar di dinding, penulis dan tamu bisa melihat gambar Ka'bah yang ditempel di dinding seberang.
Dan, percakapan pun terjadi. Yang paling penulis ingat, ya tentu hal yang penulis anggap paling menohok ruang penasaran. Hal yang penulis tidak duga, tetapi ya mengalir begitu saja obrolan antar tuan rumah dengan tamu.
Penulis tidak tahu berapa usia pak haji, mungkin sekitar 55 tahun-an. Ia menyambut kami bersama istrinya yang tampak lebih muda darinya. "Kalau cari istri yang sekufu," kata pak Haji, melontarkan perkataannya tepat di hadapan penulis.
Sontak penulis kaget. Ada rasa penasaran yang dikemas dalam senyum, berharap kalimat apa yang selanjutnya akan beliau katakan. Di ruang tamu itu, tersedia beberapa jenis makanan ringan dan minuman teh manis yang bisa kami cicip sembari bercakap-cakap.
Sekufu berarti ada kesetaraan. Penulis tidak bertanya dan lebih memilih diam menyimak apa yang diucap oleh pak haji. Kesamaan, sama-sama seiman, mungkin juga dari sisi harta, sama-sama berpendidikan, dan soal keindahan fisik kalau tidak salah juga disebut.
Meskipun poin yang terakhir sebenarnya relatif, tetapi tidak salah bila seseorang menginginkan pendamping hidup yang cantik (buat yang laki-laki) dan tampan (buat yang perempuan).
Pak haji yang mengenakan sarung sembari duduk di sofa, memberikan nasehatnya, ya penulis anggap saja nasehat seperti itu. Mungkin hanya penulis di situ yang merasakan 'euforia' penasaran, seperti apakah idealnya sosok istri itu.
"Cari yang usianya lebih muda, karena nantinya perempuan itu akan cepat tua," sambungnya. Terlepas dari percaya atau tidak ucapannya, namun ke-kepo-an merasuk pikiran, apakah betul demikian?
Nantinya istri akan tampak lebih tua? Bepikir secara logika, meskipun penulis belum mengalami langsung seperti apa pernikahan, tetapi tampaknya ucapan itu benar adanya. Apalagi itu dinasehatkan oleh seseorang yang sudah berkeluarga, usia 'sesepuh', paham mengenai agama & mengajarkannya kepada orang lain.
Penulis pikir istri akan lebih dominan dalam mengatur hampir semua aspek urusan rumah tangga. Berperan dengan multitasking, mulai dari mengurus ini dan itu, hal-hal kecil sampai yang besar.
Penulis tidak begitu mengetahui alasan apa yang membuatnya mengatakan bahwa istri akan lebih cepat tua dibandingkan suami. Mungkin beliau mengalami sendiri, atau mendengar dari orang yang berkata padanya atau mengamati langsung dari kenyataan yang ada.
Mencoba berlogika, mungkin yang diucapkan ada benarnya. Oleh karena sibuk mengurus keluarga dan sangat piawai dalam mengelola segala macam tetekbengek kehidupan rumah tangga, istri bisa jadi tampak lebih tua. Penulis pikir maksudnya juga akan lebih dewasa dan makin keibuan apabila memiliki anak.
Barangkali, kondisi sibuk mengurus keluarga ini yang membuat seorang perempuan akan tampak lebih tua, secara fisik. Penulis baru paham perkatan beliau, "cari yang usianya lebih muda". Sehingga apa? bila istri lebih muda, maka pada saat mencapai usia pernikahan belasan hingga puluhan tahun, istri akan tetap menyenangkan bagi suami, yang juga sudah tua.
Hadits juga mengungkap bahwa sebaiknya mencari istri yang masih gadis, bukan janda. Ini untuk mencapai salah satu tujuan pernikahan, yakni kelanggengan. Mengutip sebagian kata-kata dari Muslim.or.id.
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih menerima jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"
“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)
Tidak hanya pak haji yang mengatakan hal demikian. Input atau nasehat dari orangtua juga pernah muncul. Namun, yang namanya jodoh, tidak ada yang mengetahui kecuali Allah. Boleh jadi jodoh itu, ternyata berbeda tidak seperti nasehat yang mereka katakan, pun manusia yang masih single barangkali tidak pernah tahu siapa jodoh mereka sesungguhnya.
Tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi para pasangan, baik yang belum resmi (masih calon) atau resmi maupun yang masih single untuk jangan langsung berpikir 'doktrinisasi' bahwa pasangan hidup ideal adalah yang laki-lakinya usianya lebih tua, dan perempuannya lebih muda atau mungkin yang sebaya (usianya sama, tahun lahirnya sama).
Mohon maaf tulisan ini juga bukan untuk menyinggung penganut 'brondongnisasi' (ngapa bahasanya jadi pikinisasi begini yak?!), sah-sah saja bukan, yang penting sesuai syariat dan niat menikah karena Allah.
Mulai menerka-nerka, idealnya berapa sih umur pasangan hidup kita? selisih usia 1, 2, 3, 4, 5 bahkan 10 tahun atau lebih? Daripada pusing-pusing kalau belum siap, buat yang laki-laki alias ikhwan single, masih ada waktu, ngaji dulu deh. Siapkan diri untuk sosok shaleh/shalehah yang Allah akan pertemukan, aamiin.
*****
Comments
Post a Comment