Kau tahu mengapa penulis menulis ini? Karena sepertinya agak sulit mengurai dengan lisan secara spontan.
Rahasia laki-laki yang mungkin tidak terpikirkan oleh kaum perempuan. Atau barangkali tahu, tapi ya sudah berlalu begitu saja.
Penulis senang mengklasifikasi. Biarlah perspektif yang coba diutarakan berasal dari sudut pandang dan pikiran laki-laki. Laki-laki itu bisa dibagi ke dalam 3 kelompok.
1. Belum dewasa
2. Dewasa setengah-setengah
3. Dewasa
Ketiganya memang tidak melulu merepresentasikan usia.
1. Belum dewasa
Mengapa seseorang dikatakan belum dewasa? Apa indikator yang mencirikan seseorang dinilai belum dewasa.
Orangtua memiliki peran dalam mengawasi, mendidik dan menentukan tanpa tertulis bahwa sang anak sudah bisa dikatakan dewasa atau belum.
Tanggungjawab, salah satu poin pokok yang identik dengan kedewasaan seseorang. Seorang laki-laki memiliki tanggungjawab. Bagi yang belum menikah, kalau mau hidupnya 'lurus', setidaknya laki-laki harus bisa bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.
Bertanggungjawab dalam menjaga dirinya sendiri dari rusaknya badan, pengaruh buruk lingkungan, dan juga bertanggungjawab untuk membangun, merealisasikan setahap demi setahap mimpi dan harapan untuk kebaikan di masa depan.
Kenapa harus bisa menjaga diri dari rusaknya badan? Ini tentang fisik yang bisa dilihat oleh orang. Pernah lihat pemuda segar bugar, macho, single, berpenghasilan, tampan, tapi merokok? Atau mengonsumsi minuman keras, bahkan obat-obatan terlarang?
Seperti peribahasa, "Nila setitik, rusak susu sebelanga", bukan?
Ada lagi misalnya, laki-laki sejak masa kanak-kanak terlalu dan selalu dimanja oleh orangtuanya. Apa-apa dikasih, mau beli ini & itu diberikan. Tidak pernah diajarkan di mana letak kesalahan. Tanpa didikan yang benar & tegas, sang anak jadi 'ngelunjak'. Terlebih anak tidak diberi pengetahuan & nilai-nilai Islam.
Apa yang terjadi ketika ia berusia remaja atau berada di usia kepala 2X? Boleh jadi laki-laki ini menjadi seseorang yang keras kepala. Tidak mau hidup susah, tidak mau bekerja, maunya meminta dari duit orangtuanya. Bahkan mungkin, akan bermental koruptor.
Laki-laki yang belum dewasa bisa tercermin dari bagaimana ia memiliki rencana hidup jangka panjang. Terkait pula dengan bagaimana ia berpikir tentang waktu, apakah dihabiskan untuk aktivitas yang digunakan untuk manfaat atau sebaliknya. Lingkungan pergaulan, siapa teman-temannya? Secara langsung atau tidak langsung ini berpengaruh terhadap pengembangan karakter dirinya.
Yang paling bisa dijadikan faktor penentu kedewasaan ialah bagaimana ia memiliki perencanaan masa depan. Mau di bawa kemana dirinya sendiri, 'self concept' seperti apa yang mau dia tonjolkan kepada orang-orang terdekatnya, dan seberapa mampu ia mandiri dalam memecahkan sebuah permasalahan.
Pada akhirnya, usia jua lah yang mungkin menjadi bagian tolak ukur dari kedewasaan, apabila dibarengi oleh pengalaman. Semakin laki-laki banyak salah, semakin ia banyak menerima kegagalan, seyogianya ia secara optimal menyerap pembelajaran.
Bila masih sering galau, masih sering bermain-main dengan urusan kesenangannya sendiri, masih belum bisa mandiri dari orangtua, masih cuek dengan kehidupannya sendiri, bahkan merusak badannya sendiri tanpa memperhatikan masa depannya. Apakah ini bisa disebut dewasa?
2. Dewasa setengah-setengah
Sepakat usia bukan faktor penentu kedewasaan? Tetapi umumnya orang yang dewasa memang orang yang sudah cukup umur.
Kedewasaan sampai mencapai cukup umur tersebut dipengaruhi dari adanya proses belajar. Penulis sebut ini sebagai perjalanan dan pengalaman hidup. Karena belajar tentu menelan waktu. Makanya, orangtua yang sudah banyak menelan pahit-manis kehidupan, lebih bisa berperan sebagai pemberi nasehat, mendidik atau mengajarkan.
Posisi dewasa setengah-setengah itu ibarat spesifikasi komputer, ya berada di tengah-tengah, kelas mid-end. Setingkat lebih tinggi daripada penggalau sejati, namun masih belum siap untuk menjadi dewasa yang sempurna.
Dewasa setengah-setengah sudah mengerti bagaimana hakekat kehidupan, sudah memiliki tujuan pencapaian, dan perencanaan kehidupan di masa depan. Tetapi masih ada 'tapi', ia masih perlu untuk mengasah kedewasaan dengan tingkatan atau jenjang yang lebih tinggi.
Ibaratnya, ini umpamanya ya, seseorang baru lulus SMA. Untuk mengasah skill dan meningkatkan taraf ilmu pendidikannya, tidak mungkin seseorang kembali daftar SMA dan belajar di kelas 1, lagi.
Seseorang perlu untuk loncat ke kolam kehidupan berikutnya yang lebih besar, lebih berani, lebih menantang. Untuk apa? Karena ia sudah tidak mungkin lagi terus-menerus 'berlari di tempat', ia mesti punya wadah baru yang besar, tingkatan baru yang sesuai dengan kondisinya sekarang.
Untuk mencapai tingkatan selanjutnya, menghapus embel-embel 'setengah-setengah' yang menjadi predikatnya dalam kelabilan yang tak menentu, ia perlu untuk menyempurnakan kedewasaannya. Tidak lain dan tidak bukan, memang ini yang menjadi fokus bahasan yang ingin penulis sampaikan, ialah menyempurnakan separuh agama alias menikah.
3. Dewasa
Kata orang, menjadi dewasa itu adalah pilihan. Frase ini tersusun dari bentuk kalimat opini. Namun, siapa yang mau menyangkal?
Menjadi dewasa ialah hak individu warga negara bangsa di seluruh dunia. Dewasa dicapai dari pengertian-pengertian mengenai kemampuan diri untuk menguraikan masalah, tumbuhnya jiwa kepemimpinan, dan kapabilitas dalam merampungkan problema kehidupan, minimal untuk diri sendiri dulu deh.
Seperti yang telah diungkap di atas, seharusnya tingkatan dewasa ini mampu diperjelas dengan rinci oleh laki-laki yang sudah menyempurnakan separuh dien-nya. Karena sifat tulisan ini teoritis, maka tidak mengapa penulis coba menjelaskan.
Dewasa pada tahapan ini, laki-laki sudah bisa membaca peta kehidupan dirinya sendiri. Ditambah dengan tanggungjawab baru, membina kehidupan rumah tangga sebagai kepala keluarga.
Pada tingkatan ini, laki-laki harusnya berpikir bagaimana mencari duit, dengan cara halal pastinya, untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, termasuk memberi nafkah terhadap istri. Dewasa juga secara otomatis memiliki jiwa yang senantiasa menebar ilmu dan manfaat.
Dewasa sudah tidak lagi banyak bercanda atau bersenda gurau. Sebagian porsi hidupnya seharusnya dipakai untuk mengaplikasikan nilai-nilai religius, mendidik generasi baru, yakni anak-anaknya untuk mendorong transformasi dari tingkatan 'Belum dewasa' menjadi 'Dewasa setengah-setengah', seperti tingkatan pada nomor 1 hingga mencapai nomor 2 di atas, baru kemudian mendorong hingga sampai pada tingkatan 'Dewasa'.
Ya, pada posisi ini, ada kewajiban penuh, tanggungjawab besar bagi laki-laki sebagai bagian dari pengembangan anak. 'Child Development' disebutnya. Penjelasan ini, tingkatan Dewasa ini memang identik dengan mereka yang telah menikah.
Meskipun demikian, bukan berarti mereka yang belum menikah dianggap belum dewasa. Hanya saja, tingkatan dewasa dalam pengertian paripurna hanya bisa dimiliki oleh mereka yang umumnya sudah menikah.
"Tapi kan ada juga tuh yang sudah menikah tapi masih menunjukkan kepribadian labil & mirip bocah?". Jawabannya, dewasa adalah pilihan, tidak mengenal umur. Maka, sebelum menyesal, pilihlah kepribadian yang 'dewasa', atau paling tidak yang mendekati pengertian dewasa yang sesungguhnya.
*****
Ilustrasi (Foto: Smartgrowth)
Rahasia laki-laki yang mungkin tidak terpikirkan oleh kaum perempuan. Atau barangkali tahu, tapi ya sudah berlalu begitu saja.
Penulis senang mengklasifikasi. Biarlah perspektif yang coba diutarakan berasal dari sudut pandang dan pikiran laki-laki. Laki-laki itu bisa dibagi ke dalam 3 kelompok.
1. Belum dewasa
2. Dewasa setengah-setengah
3. Dewasa
Ketiganya memang tidak melulu merepresentasikan usia.
1. Belum dewasa
Mengapa seseorang dikatakan belum dewasa? Apa indikator yang mencirikan seseorang dinilai belum dewasa.
Orangtua memiliki peran dalam mengawasi, mendidik dan menentukan tanpa tertulis bahwa sang anak sudah bisa dikatakan dewasa atau belum.
Tanggungjawab, salah satu poin pokok yang identik dengan kedewasaan seseorang. Seorang laki-laki memiliki tanggungjawab. Bagi yang belum menikah, kalau mau hidupnya 'lurus', setidaknya laki-laki harus bisa bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.
Bertanggungjawab dalam menjaga dirinya sendiri dari rusaknya badan, pengaruh buruk lingkungan, dan juga bertanggungjawab untuk membangun, merealisasikan setahap demi setahap mimpi dan harapan untuk kebaikan di masa depan.
Kenapa harus bisa menjaga diri dari rusaknya badan? Ini tentang fisik yang bisa dilihat oleh orang. Pernah lihat pemuda segar bugar, macho, single, berpenghasilan, tampan, tapi merokok? Atau mengonsumsi minuman keras, bahkan obat-obatan terlarang?
Seperti peribahasa, "Nila setitik, rusak susu sebelanga", bukan?
Ada lagi misalnya, laki-laki sejak masa kanak-kanak terlalu dan selalu dimanja oleh orangtuanya. Apa-apa dikasih, mau beli ini & itu diberikan. Tidak pernah diajarkan di mana letak kesalahan. Tanpa didikan yang benar & tegas, sang anak jadi 'ngelunjak'. Terlebih anak tidak diberi pengetahuan & nilai-nilai Islam.
Apa yang terjadi ketika ia berusia remaja atau berada di usia kepala 2X? Boleh jadi laki-laki ini menjadi seseorang yang keras kepala. Tidak mau hidup susah, tidak mau bekerja, maunya meminta dari duit orangtuanya. Bahkan mungkin, akan bermental koruptor.
Laki-laki yang belum dewasa bisa tercermin dari bagaimana ia memiliki rencana hidup jangka panjang. Terkait pula dengan bagaimana ia berpikir tentang waktu, apakah dihabiskan untuk aktivitas yang digunakan untuk manfaat atau sebaliknya. Lingkungan pergaulan, siapa teman-temannya? Secara langsung atau tidak langsung ini berpengaruh terhadap pengembangan karakter dirinya.
Yang paling bisa dijadikan faktor penentu kedewasaan ialah bagaimana ia memiliki perencanaan masa depan. Mau di bawa kemana dirinya sendiri, 'self concept' seperti apa yang mau dia tonjolkan kepada orang-orang terdekatnya, dan seberapa mampu ia mandiri dalam memecahkan sebuah permasalahan.
Pada akhirnya, usia jua lah yang mungkin menjadi bagian tolak ukur dari kedewasaan, apabila dibarengi oleh pengalaman. Semakin laki-laki banyak salah, semakin ia banyak menerima kegagalan, seyogianya ia secara optimal menyerap pembelajaran.
Bila masih sering galau, masih sering bermain-main dengan urusan kesenangannya sendiri, masih belum bisa mandiri dari orangtua, masih cuek dengan kehidupannya sendiri, bahkan merusak badannya sendiri tanpa memperhatikan masa depannya. Apakah ini bisa disebut dewasa?
2. Dewasa setengah-setengah
Sepakat usia bukan faktor penentu kedewasaan? Tetapi umumnya orang yang dewasa memang orang yang sudah cukup umur.
Kedewasaan sampai mencapai cukup umur tersebut dipengaruhi dari adanya proses belajar. Penulis sebut ini sebagai perjalanan dan pengalaman hidup. Karena belajar tentu menelan waktu. Makanya, orangtua yang sudah banyak menelan pahit-manis kehidupan, lebih bisa berperan sebagai pemberi nasehat, mendidik atau mengajarkan.
Posisi dewasa setengah-setengah itu ibarat spesifikasi komputer, ya berada di tengah-tengah, kelas mid-end. Setingkat lebih tinggi daripada penggalau sejati, namun masih belum siap untuk menjadi dewasa yang sempurna.
Dewasa setengah-setengah sudah mengerti bagaimana hakekat kehidupan, sudah memiliki tujuan pencapaian, dan perencanaan kehidupan di masa depan. Tetapi masih ada 'tapi', ia masih perlu untuk mengasah kedewasaan dengan tingkatan atau jenjang yang lebih tinggi.
Ibaratnya, ini umpamanya ya, seseorang baru lulus SMA. Untuk mengasah skill dan meningkatkan taraf ilmu pendidikannya, tidak mungkin seseorang kembali daftar SMA dan belajar di kelas 1, lagi.
Seseorang perlu untuk loncat ke kolam kehidupan berikutnya yang lebih besar, lebih berani, lebih menantang. Untuk apa? Karena ia sudah tidak mungkin lagi terus-menerus 'berlari di tempat', ia mesti punya wadah baru yang besar, tingkatan baru yang sesuai dengan kondisinya sekarang.
Untuk mencapai tingkatan selanjutnya, menghapus embel-embel 'setengah-setengah' yang menjadi predikatnya dalam kelabilan yang tak menentu, ia perlu untuk menyempurnakan kedewasaannya. Tidak lain dan tidak bukan, memang ini yang menjadi fokus bahasan yang ingin penulis sampaikan, ialah menyempurnakan separuh agama alias menikah.
3. Dewasa
Kata orang, menjadi dewasa itu adalah pilihan. Frase ini tersusun dari bentuk kalimat opini. Namun, siapa yang mau menyangkal?
Menjadi dewasa ialah hak individu warga negara bangsa di seluruh dunia. Dewasa dicapai dari pengertian-pengertian mengenai kemampuan diri untuk menguraikan masalah, tumbuhnya jiwa kepemimpinan, dan kapabilitas dalam merampungkan problema kehidupan, minimal untuk diri sendiri dulu deh.
Seperti yang telah diungkap di atas, seharusnya tingkatan dewasa ini mampu diperjelas dengan rinci oleh laki-laki yang sudah menyempurnakan separuh dien-nya. Karena sifat tulisan ini teoritis, maka tidak mengapa penulis coba menjelaskan.
Dewasa pada tahapan ini, laki-laki sudah bisa membaca peta kehidupan dirinya sendiri. Ditambah dengan tanggungjawab baru, membina kehidupan rumah tangga sebagai kepala keluarga.
Pada tingkatan ini, laki-laki harusnya berpikir bagaimana mencari duit, dengan cara halal pastinya, untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, termasuk memberi nafkah terhadap istri. Dewasa juga secara otomatis memiliki jiwa yang senantiasa menebar ilmu dan manfaat.
Dewasa sudah tidak lagi banyak bercanda atau bersenda gurau. Sebagian porsi hidupnya seharusnya dipakai untuk mengaplikasikan nilai-nilai religius, mendidik generasi baru, yakni anak-anaknya untuk mendorong transformasi dari tingkatan 'Belum dewasa' menjadi 'Dewasa setengah-setengah', seperti tingkatan pada nomor 1 hingga mencapai nomor 2 di atas, baru kemudian mendorong hingga sampai pada tingkatan 'Dewasa'.
Ya, pada posisi ini, ada kewajiban penuh, tanggungjawab besar bagi laki-laki sebagai bagian dari pengembangan anak. 'Child Development' disebutnya. Penjelasan ini, tingkatan Dewasa ini memang identik dengan mereka yang telah menikah.
Meskipun demikian, bukan berarti mereka yang belum menikah dianggap belum dewasa. Hanya saja, tingkatan dewasa dalam pengertian paripurna hanya bisa dimiliki oleh mereka yang umumnya sudah menikah.
"Tapi kan ada juga tuh yang sudah menikah tapi masih menunjukkan kepribadian labil & mirip bocah?". Jawabannya, dewasa adalah pilihan, tidak mengenal umur. Maka, sebelum menyesal, pilihlah kepribadian yang 'dewasa', atau paling tidak yang mendekati pengertian dewasa yang sesungguhnya.
*****
Ilustrasi (Foto: Smartgrowth)
Comments
Post a Comment