Kau tahu kawan? Hal yang membuat suasana hati menjadi tidak menentu (baca: galau), bukan karena banyak hutang, bukan karena ketinggalan kereta di stasiun, bukan karena belum mendapatkan pekerjaan yang diidamkan, tetapi lebih banyak diam saat adu pendapat dengan orangtua.
Lho, kok! pakai acara adu pendapat dengan orangtua? Ya, mungkin tidak semua orangtua ingin bersegera memiliki menantu dari anaknya yang paling muda. Ini realita yang bisa terjadi di dunia yang fana ini.
Saat lebih banyak diam, justru seolah mengiyakan apa yang diinginkan orangtua mengenai konsep kematangan untuk menginjak fase pernikahan.
Kasihan. Kau tahu kawan? Mungkin semua yang tersampaikan di sini tidak selebay seperti yang terjadi sesungguhnya. Penulis hanya ingin mengungkap poin penting dalam sebuah kehidupan secara umum, universal.
Penulis tidak bisa membayangkan, dengan kondisi laki-laki yang sudah berpenghasilan, suduh cukup umur, sudah dapat hidup mandiri, sudah bisa mencukupi kehidupannya sendiri, tetapi masih terganjal dengan dukungan orangtua untuk bersegera (penulis tidak bilang buru-buru), untuk segera menikahkan putra atau putrinya. Mungkin tidak ada laki-laki yang mau disebut sebagai 'bujang lapuk', bukan?
Bersyukurlah bagi pemuda & pemudi yang memiliki orangtua dengan prinsip, "mengutamakan ibadah dan kebaikan, di samping urusan duniawi". Penulis tidak mengatakan kuliah S2 atau mungkin S3 sebagai urusan duniawi yang tidak penting, tetapi seyogianya pendidikan tidak menjadi penghalang untuk bersegera menikah. Ada pula orangtua yang ingin anaknya masuk PNS atau calon menantunya yang harus mendapatkan pekerjaan PNS terlebih dahulu, baru nikah bisa disegerakan, dan lain-lain.
Kau tahu kawan? Apa yang dirasa para bujanghidin. Hmm, bujanghidin sebutan yang penulis pertama kali tahu dari seorang komentar teman di jejaring sosial 'pesbuk'. Penulis berpikir, bujanghidin pasti muncul dari kata mujahidin, yang artinya pejuang muslim yang terlibat dalam peperangan membela Islam.
Sementara bujanghidin, ada kata bujang disitu, pasti kau tahu maksudnya. Seorang lajang yang berjuang untuk melaksanakan perintah Allah & menjauhi larangan-Nya. Mungkin kira-kira begitu definisinya.
Yang menarik dari bujanghidin ialah, sesuatu yang terlihat dan sesuatu yang tidak terlihat dari dirinya. Sesuatu yang terlihat, visual, mencuat oleh karena 'rasa yang begitu bergejolak' di dalam dan terpendam, namun segalanya sulit ditahan, kemudian direfleksikannya dari seringnya ia membaca buku-buku tentang persiapan pernikahan (kalau kebetulan kelihatan sering baca buku tentang nikah), menunjukkan di jejaring sosial kalimat status tertentu atau re-posting kata-kata dari grup bertemakan pernikahan.
Bujanghidin juga manusia. Pasti ada keadaan di mana ia justru lebih mampu ekspresif dibandingkan perempuan mengenai hal-hal berbau pernikahan. Padahal ia sendiri belum menikah, tidak mau pacaran, tetapi tingginya wawasan sebenarnya sudah menunjukkan seberapa siap ia ingin bersegera menyempurnakan separuh dien-nya.
Penulis menyaksikan sendiri, ada beberapa bujanghidin yang terlihat. Berbeda individu, memang bermacam pula sifat yang dimilikinya. Fenomena keanekaragaman ini membuat individu bujanghidin akan mendapat pasangannya kelak, yang sesuai juga dengan kualitas dirinya.
Bagaimana dengan sesuatu yang tidak terlihat pada bujanghidin? Menjelaskannya saja agak sulit, karena tidak terlihat apa yang dilakukan bujanghidin, hanya dia dan Allah yang Maha Mengetahui. Namun barangkali, ini bisa diketahui dari diam-diamnya dia, melakukan kegiatan tanpa perlu diketahui orang lain.
Sebagai contoh, diam-diam ia lebih sering tadarus, menghafal bacaan surat pendek Al-quran. Diam-diam ia nabung mengumpulkan maisyah. Diam-diam ia banyak belajar mengenai ilmu-ilmu mengenai hal yang berbau pra-, dan pascanikah. Bukan tidak mungkin, bujanghidin diam-diam mencari informasi mengenai calon akhwat yang hendak dipinangnya, bisa melalui teman, saudara atau ustadz-nya.
Tidak menutup kemungkinan jejaring sosial juga dioptimalkan sebagai media informasi untuk mengetahui kabar atau informasi.
*****
(Foto: Emoslem)
Lho, kok! pakai acara adu pendapat dengan orangtua? Ya, mungkin tidak semua orangtua ingin bersegera memiliki menantu dari anaknya yang paling muda. Ini realita yang bisa terjadi di dunia yang fana ini.
Saat lebih banyak diam, justru seolah mengiyakan apa yang diinginkan orangtua mengenai konsep kematangan untuk menginjak fase pernikahan.
Kasihan. Kau tahu kawan? Mungkin semua yang tersampaikan di sini tidak selebay seperti yang terjadi sesungguhnya. Penulis hanya ingin mengungkap poin penting dalam sebuah kehidupan secara umum, universal.
Penulis tidak bisa membayangkan, dengan kondisi laki-laki yang sudah berpenghasilan, suduh cukup umur, sudah dapat hidup mandiri, sudah bisa mencukupi kehidupannya sendiri, tetapi masih terganjal dengan dukungan orangtua untuk bersegera (penulis tidak bilang buru-buru), untuk segera menikahkan putra atau putrinya. Mungkin tidak ada laki-laki yang mau disebut sebagai 'bujang lapuk', bukan?
Bersyukurlah bagi pemuda & pemudi yang memiliki orangtua dengan prinsip, "mengutamakan ibadah dan kebaikan, di samping urusan duniawi". Penulis tidak mengatakan kuliah S2 atau mungkin S3 sebagai urusan duniawi yang tidak penting, tetapi seyogianya pendidikan tidak menjadi penghalang untuk bersegera menikah. Ada pula orangtua yang ingin anaknya masuk PNS atau calon menantunya yang harus mendapatkan pekerjaan PNS terlebih dahulu, baru nikah bisa disegerakan, dan lain-lain.
Kau tahu kawan? Apa yang dirasa para bujanghidin. Hmm, bujanghidin sebutan yang penulis pertama kali tahu dari seorang komentar teman di jejaring sosial 'pesbuk'. Penulis berpikir, bujanghidin pasti muncul dari kata mujahidin, yang artinya pejuang muslim yang terlibat dalam peperangan membela Islam.
Sementara bujanghidin, ada kata bujang disitu, pasti kau tahu maksudnya. Seorang lajang yang berjuang untuk melaksanakan perintah Allah & menjauhi larangan-Nya. Mungkin kira-kira begitu definisinya.
Yang menarik dari bujanghidin ialah, sesuatu yang terlihat dan sesuatu yang tidak terlihat dari dirinya. Sesuatu yang terlihat, visual, mencuat oleh karena 'rasa yang begitu bergejolak' di dalam dan terpendam, namun segalanya sulit ditahan, kemudian direfleksikannya dari seringnya ia membaca buku-buku tentang persiapan pernikahan (kalau kebetulan kelihatan sering baca buku tentang nikah), menunjukkan di jejaring sosial kalimat status tertentu atau re-posting kata-kata dari grup bertemakan pernikahan.
Bujanghidin juga manusia. Pasti ada keadaan di mana ia justru lebih mampu ekspresif dibandingkan perempuan mengenai hal-hal berbau pernikahan. Padahal ia sendiri belum menikah, tidak mau pacaran, tetapi tingginya wawasan sebenarnya sudah menunjukkan seberapa siap ia ingin bersegera menyempurnakan separuh dien-nya.
Penulis menyaksikan sendiri, ada beberapa bujanghidin yang terlihat. Berbeda individu, memang bermacam pula sifat yang dimilikinya. Fenomena keanekaragaman ini membuat individu bujanghidin akan mendapat pasangannya kelak, yang sesuai juga dengan kualitas dirinya.
Bagaimana dengan sesuatu yang tidak terlihat pada bujanghidin? Menjelaskannya saja agak sulit, karena tidak terlihat apa yang dilakukan bujanghidin, hanya dia dan Allah yang Maha Mengetahui. Namun barangkali, ini bisa diketahui dari diam-diamnya dia, melakukan kegiatan tanpa perlu diketahui orang lain.
Sebagai contoh, diam-diam ia lebih sering tadarus, menghafal bacaan surat pendek Al-quran. Diam-diam ia nabung mengumpulkan maisyah. Diam-diam ia banyak belajar mengenai ilmu-ilmu mengenai hal yang berbau pra-, dan pascanikah. Bukan tidak mungkin, bujanghidin diam-diam mencari informasi mengenai calon akhwat yang hendak dipinangnya, bisa melalui teman, saudara atau ustadz-nya.
Tidak menutup kemungkinan jejaring sosial juga dioptimalkan sebagai media informasi untuk mengetahui kabar atau informasi.
*****
(Foto: Emoslem)
Comments
Post a Comment