Skip to main content

Mau Jadi Reporter?

Kamu tahu mengapa saya punya blog? Terlepas dari profesi saya sebagai buruh ketik, saya memang menyukai yang namanya menulis. Menulis apapun saya suka. Kecuali, menulis kata-kata galau di jejaring sosial. Menulis juga terkadang membuat seseorang lebih tenang & lebih mampu extrovert mengenai suatu hal.

Profesi pekerja media, saya tidak pernah menyangka bisa terjun pada bidang pekerjaan yang satu ini. Bahkan, saya tidak menganggap diri saya reporter, walau profesi ini mencantumkan saya otomatis sebagai seorang jurnalis dalam daftar struktur media.

Akan terasa klop bukan, saat minat dan kegemaran dipertemukan dengan bidang pekerjaan terikat yang disenangi. Ibaratnya, seperti Anda menyukai seseorang, kemudian dipertemukan dan melangsungkan ikatan suci yang terikat resmi (ups, apa hubungannya ya?).

Padahal, saya seperti tidak sengaja 'nyasar' memilih penjurusan bidang jurnalistik di kampus saya beberapa tahun lalu. Dan kini, saya terdampar bekerja di sebuah media online di Jakarta atas informasi dari seorang teman satu almamater yang kini ia juga masih sebagai reporter sport di salah satu media online. Kita satu grup.

Ada perasaan lega, karena saya merasa sudah tepat menggeluti bidang jurnalistik yang sesuai dengan mata kuliah yang saya ikuti ketika masih menjadi mahasiswa. Entah berapa banyak di luar sana, yang terkadang saya perhatikan, jurusan/fakultasnya apa, tetapi bekerja di perusahaan/instansi apa.

Itu tidak jadi masalah. Di beberapa perusahaan bahkan hanya membutuhkan lulusan dengan gelar sarjana (S1) saja. 'Segala jurusan', tetapi dia tetap berkompeten pada posisi pekerjaan yang dibutuhkan tersebut.

Saya juga tidak begitu tahu, siapa saja teman-teman kuliah saya yang bekerja sesuai dengan penjurusan yang dipilihnya atau yang benar-benar bekerja sesuai dengan ilmu yang telah ia peroleh ketika kuliah. Hanya sedikit yang saya ketahui.

Menulis adalah kegemaran. Kalau kegemaran dikaitkan dengan keahlian, misalnya piawai memainkan alat musik tertentu. Rasanya saya tidak perlu menjadi musisi atau anak band terkenal untuk bisa menyalurkan kegemaran saya dalam hal musik.

Cukup mengisi waktu luang yang positif dan menikmati permainan musik saya sendiri, syukur-syukur orang lain juga terhibur. Bukan tidak mungkin internet menjadi corong untuk berbagi video musik hasil buah karya sendiri kepada orang lain dalam cakupan nasional maupun internasional.

Begitu pula saya berpikir. Saya menyukai menulis, bukan berarti saya ingin benar-benar menjadi seorang reporter secara resmi. Tetapi, menjadi penulis independen (blogger misalnya), lebih disenangi ketimbang terikat dengan media tertentu.

Yang jadi soal kan, apakah dengan menulis bisa mendatangkan duit? Karena orientasinya mau tidak mau, untuk mencukupi kebutuhan pangan, sandang, papan seseorang harus bekerja, salah satunya ya terikat kontrak atau tetap sebagai pekerja media. Yang namanya penulis kan tidak melulu menjadi 'kuli tinta' atau 'buruh ketik'.

Menjadi penulis buku best seller atau kontributor artikel juga bisa. Tinggal pilihan masing-masing individunya. Yang mau saya soroti sebenarnya, lagi-lagi ialah keunikan profesi reporter.

Kamu tahu, reporter itu dibagi tingkatannya. Ada rubriknya, seperti hardnews yang mencakup bidang seperti politik, ekonomi dan hukum. Softnews seperti lifestyle, travel atau health. Mungkin pembagian jenis-jenis ini sudah pernah dibahas oleh mereka yang kuliah di jurusan jurnalistik.

Saya sendiri merasakan dan menyadari bahwa reporter yang sesungguhnya reporter sejati ialah mereka yang kuat di hardnews. Ini menempati posisi pertama, yakni politik, ekonomi dan hukum. Rubrik atau bidang ini yang paling punya nilai berita, sering menjadi sorotan publik dan pemerintah, tidak jarang juga menjadi Headline berita. Dan, semua media nasional terkemuka pasti memberitakan hardnews.

Reporter hardnews ini bukan main tangguhnya. Entah apa yang memotivasi mereka, untuk bela-belain dari pagi sampai sore menunggu narasumber beres rapat di DPR RI, menunggu berjam-jam di gedung KPK, berjejal memburu narasumber dan lain-lain.

Atau reporter ekonomi misalnya, yang entah apa yang membuat mereka senang memantau pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar misalnya. Apa yang membuat mereka betah mengamati saham sebuah perusahaan misalnya. Terkait dengan rubrik hukum, apa yang menguatkan mereka untuk berlama-lama menunggu hasil keputusan sidang pejabat si 'anu' dan si 'anu'.

Waktu, energi, ongkos, penelantaran jam makan minum & kesehatan pribadi, dikomentari orang, hujan kedinginan, terik matahari kepanasan, bahkan mungkin dicaci maki oleh orang, atasan atau narasumber. Reporter atau wartawan hardnews adalah yang sebenar-benarnya wartawan. Walau kadang terasa tidak manusiawi memang.

Lalu apa enaknya jadi wartawan hardnews? Secara internal, pengalaman serta relasi jaringan menjadi sebuah reward yang mungkin tidak bisa dinilai dengan harta. Kebanggaan, kepuasan batin mungkin bisa dirasakan bagi orang-orang yang memiliki passion jurnalistik di bidang hardnews.

Katanya Paradoks. Bisa dibayangkan bila pagi hari ngobrol dengan tukang becak atau tukang sayur, sore atau malam hari bertemu langsung di depan bapak Presiden RI dan menteri, misalnya. Yang kebanyakan dilihat di televisi pada berjejal dengan kamera mengerubungi narasumber, iya itu adalah wartawan hardnews yang perkasa itu.

Saya tidak mau berbicara gaji wartawan idealnya berapa, dengan kerjaan yang tidak mengenal waktu dan super lelah itu, seharusnya kesejahteraan wartawan lebih ditingkatkan.

Saya tidak meremehkan rubrik yang lain, seperti misalnya ada olahraga/sport, kampus/pendidikan, properti, celebrity (nah ini infotainment), otomotif, musik, serta teknologi/techno. Masing-masing memiliki tantangannya sendiri-sendiri.

Cuma memang, reporter hardnews seyogianya paling diacungi jempol dibandingkan reporter bidang lainnya. Belum jadi reporter hardnews, mungkin belum pantas dikatakan sebagai reporter, sekiranya itulah yang saya rasakan di tempat media saya bekerja.

Di media online, mereka yang di luar hardnews lebih cenderung sebagai translator (penerjemah) ketimbang reporter dalam pengertian sesungguhnya. Mungkin begitu yang saya amati selama mengabdi di media online tempat saya bekerja. Terlebih para petinggi kanal redaksinya yang memang tidak terlalu menekan reporternya untuk aktif di lapangan seperti mereka yang terjun di hardnews.

Giliran enak di kantor, terus saja merasa nyaman. Akan terasa terusik kenyamanannya bila tiba-tiba disuruh meliput keluar atau menghubungi narasumber. Ini kenyataan yang saya rasakan. Meskipun saya tahu, ini sesungguhnya tidak mendidik dan hanya membangun 'mental translator' yang terus dipupuk sedari awal.

Pesan yang mau disampaikan ialah, bila memang ingin menjadi reporter sejati, terjunlah ke hardnews. Bila ingin mendapatkan kemampuan menulis yang sangat baik melalui proses belajar, bergurulah di tempat yang usia medianya 'senior' dan tidak diragukan lagi bagaimana kualitas tulisan berita yang disuguhkan para punggawa di dalamnya. Ini terutama di media cetak.

Jenjang profesi selalu ada di tubuh media. Sehabis reporter bisa loncat ke asisten redaktur, baru kemudian redaktur dan nantinya bisa jadi redaktur pelaksana. Bukan tidak mungkin bila digeluti terus puluhan tahun akan menjadi pemimpin redaksi. Tentunya, setiap strata akan memiliki gaji yang berbeda-beda, sesuai tingkatan beban tanggungjawabnya.

Bagi mahasiswa tingkat akhir atau fresh gradute, biasanya paling semangat dapat kerja. Apalagi jadi reporter dengan gaji yang mungkin tidak seberapa, yang penting gawe dan cari pengalaman dulu deh. Setahun atau dua tahun baru kerasa mau ngapain selanjutnya dari tempat media bekerja.

Awal-awal bisa jadi idealis (takut atau enggak mau nerima sesuatu pemberian apapun dari perusahaan atau pihak yang mengundang liputan), tetapi seiring berjalannya waktu, mungkin seseorang bisa berpikir "realita kadang lebih perih daripada menolak rezeki, yang jelas-jelas itu halal (tidak mencuri), bukan?". Terlepas ada kode etik jurnalistik. Agaknya hal itu lumrah terjadi dan beberapa media ada yang membolehkan dengan bersyarat.

Pada kondisi ini, akan terpikir bahwa pekerjaan lapangan ini cuma cocok untuk mereka yang masih berusia produktif, baik laki-laki atau perempuan. Yang tua-tua sudah selayaknya di kantor.

Salut untuk para reporter hardnews dengan dedikasinya. Kalau semua orang pada mau kerja enak terus, leha-leha di kantor, enggak ada yang mau jadi reporter hardnews, enggak bakalan ada berita ekslusif atau berita yang penting yang berkaitan dengan politik, hukum dan ekonomi negara yang berguna untuk diketahui seluruh lapisan masyarakat.

Yang berjiwa petualang, kepo', gampang gaul, bisa beradaptasi dengan cepat, pandai melebur dalam sebuah pembicaraan kelompok, senang mengikuti isu-isu tertentu, kuat stamina fisik, gemar nulis dan belum menikah, cocoklah jadi reporter. Tapi mau sampai kapan jadi reporter dengan waktu kerja yang tidak menentu itu? Kapan bisa lebih banyak meluangkan waktu sabtu-minggu/tanggal merah untuk berkumpul dengan keluarga (istri dan anak-anak, buat yang sudah menikah)?

Jawabannya sesuai passion dan opsi hidup masing-masing. Catatan, tidak aneh reporter atau pekerja media pindah-pindah tempat kerja dari satu media ke media lainnya. Atau, berani banting setir mengambil bidang profesi atau pekerjaan lain yang enggak ada kaitannya dengan dunia jurnalistik? Pilihan dan masa depan di tangan Anda.

Saya sempat menulis 'Catatan Seorang yang Katanya Jurnalis' dua tahun lalu. Mungkin bisa bermanfaat untuk pembaca.

Catatan Seorang yang Katanya Jurnalis Bagian I

Catatan Seorang yang Katanya Jurnalis Bagian II

Catatan Seorang yang Katanya Jurnalis III-Habis

*****

Ilustrasi (Foto: Beernexus, Worddreams)

Comments

  1. Ka mau nanya dong,
    Kesulitan apa saja yang kaka alami selama jadi reporter

    ReplyDelete
  2. Ka mau nanya dong,
    Kesulitan apa saja yang kaka alami selama jadi reporter

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pengalaman mengurus balik nama motor, pajak tahunan dan ganti kaleng (plat) di Samsat Kelapa Dua Tangerang

Sebagai warna negara yang baik, tentu kita perlu untuk memenuhi apa yang diharuskan bagi setiap pemilik kendaraan bermotor, yakni membayar pajak. Oleh karena kini sudah berdomisili di Kabupaten Tangerang, tepatnya di wilayah kecamatan Curug, maka Anda yang beralamat di wilayah tersebut bisa mengurus seperti balik nama kendaraan bermotor, pajak tahunan dan ganti kaleng alias plat di Samsat Induk Kelapa Dua Tangerang. Penulis mengalami sendiri, karena berdomisili di Curug, maka tidak dapat mengurus seperti balik nama ranmor, dan lain-lain di Samsat Tangerang (Cikokol). Yang beralamat di Curug diarahkan untuk mengurus ke Samsat Kelapa Dua Tangerang. Perlu diperhatikan kalau Anda mengetikkan kata kunci di Google "Samsat Kelapa Dua Tangerang", maka hasil pencarian teratas akan menunjukkan "Gerai Samsat Kelapa Dua". Kalau Anda ingin cek fisik, mengurus balik nama hingga ganti kaleng secara mandiri (ngurus sendiri), maka di gerai tersebut tampaknya tidak bisa m

Lebih Baik Disini, Rumah Kita Sendiri (Bagian I)

Rasa nasionalis meledak bukan karena sedang nonton pertandingan bola timnas Indonesia, namun justru rasa kebanggaan dengan negara sendiri muncul pada saat ditolak dalam pengajuan VISA keluar negeri, ke USA. Bisa dibayangkan berapa uang yang mesti dikeluarkan dalam pengajuan permohonan VISA serta tinggal di negeri paman Sam tersebut, meski hanya beberapa hari. Untungnya semua biaya ditanggung oleh salah satu perusahaan elektronik terkemuka asal Jepang, yang memiliki Country Manager atau kantor cabang negara yang berlokasi di Jakarta timur. Komprehensifnya arsip, berkas dan surat ternyata mampu dikalahkan dengan "personal identity" yang mungkin mereka anggap belum layak untuk melancong ke negara super power tersebut. Padahal, surat beserta dokumen resmi lainnya telah dilampirkan, bahkan tiket reservasi hotel di Las Vegas pun telah dibukukan. Sekadar diketahui, event CES atau Consumer Electronic Show 2013 digelar pada awal Januari 2013. Di event akbar internasional ters

Pengalaman Balik Nama atau Ubah Nama Sepeda Motor

Balik nama motor itu penting, karena daripada capek-capek bolak-balik pinjem KTP asli pemilik motor lama, maka balik nama bisa memudahkan kita untuk bayar pajak pakai KTP sendiri. Selain itu, dari sisi psikologis juga, motor kesayangan itu sudah benar-benar 100 persen milik kita (perasaannya sih gitu), jadi lebih enak aja. Sebelumnya penulis belum tahu sama sekali dengan proses balik nama. Ya, karena ini baru pertama kali. Seharusnya balik nama itu enggak lama setelah Anda membeli kendaraan, jadi kalau entar-entaran lama-lama jadi males, eh tau-tau sudah kelewat dari jatuh tempo pajak motor tahunan. Terus kena denda deh. Tp sebaiknya memang satu bulan sebelum jatuh tempo pajak motor udah disiapin dan segera cabcus cari waktu ke kantor Samsat. Oh ya, di sini penulis ingin berbagi cerita nyata proses balik nama kendaraan motor. Sebelum berangkat, ada baiknya Anda cari-cari informasi melalui teman, saudara, atau cari di internet bagaimana proses balik nama kendaraan motor. Rupanya