Sampai tidak bisa tidur (pukul 02.30an WIB). Mengingat kepicikan seseorang yang mengaku katanya berpengalaman dalam dunia perkulitintaan. Yap, julukan kuli tinta biasa disebut untuk profesi yang satu ini. Tanpa perlu dijelaskan, intuisi sudah memahami terkait sebuah praktik sogok yang mencemari dunia jurnalistik.
Sudah sejak lama teramati, terobservasi dan juga terdengar dari berbagai sumber terdekat. Sebuah istilah proyek yang berorientasi persis ungkapan “ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang”, kiranya itulah yang saat ini terjadi. Vulgarnya, “ada uang berita tentang produk elu gue naikin, kaga ada uang berita elu sori cuma bertengger di-inbox email kantor aje ye”.
Kebobrokan ini sudah lama terjadi. Proyek semacam ini pun kompak dijalani oleh superior yang cuma mementingkan kantong rekeningnya sendiri. Anak buah bukan tidak tahu menahu, justru tahu dan cerdas mengamati ketidakjujuran. Salah seorang rekan kerja mengungkapkan, “gimana mau maju, kalo mikirin untung sendiri padahal sebenarnya sedang merugi,”. Benar saja, proyek kotor itu masih saja dijalani, seperti biasa, tanpa perlu komunikasi secara terang-terangan.
Seolah anak buah tidak tahu, dan menjadikan salah satu di antara mereka menjadi sasaran dengan ‘mendompleng nama’, tanpa sepengetahuan dan berdalih bahwa itu untuk ‘menolong’ jumlah kuantitas berita. Dengan catatan, alasan tersebut terlontar pada saat ketahuan aksinya dituduh sebagai sebuah pelanggaran.
Yang tidak habis pikir, mengapa begitu ‘percaya diri’, ya, penulis katakan terlalu percaya diri karena masih saja meneruskan proyek nakal tersebut. Tidakkah engkau merasa sakit hati kawan? jurnalistik yang seharusnya independen, sudah tercoreng dengan lakon ‘suap’ tersebut. Tidak tahu berapa nominal yang dikirimkan melalui rekening itu. Akan tetapi yang jelas, “Wibawa sebagai bagian dari petinggi kanal redaksi, sudah berhasil ‘dibeli’ sesuai dengan reward atau kesepakatan uang yang dikantongi,”.
Kacrutnya, penguasaan wawasan mengenai produk milik perusahaan asing yang bersangkutan sangat minim sekali. Pekerjaan sederhana yang hanya tinggal naikkan artikel itu kemudian dilimpahkan ke anak buah yang juga tidak terlalu paham mengenai produk atau isi pesan dalam press release tersebut. Anak buah juga sebenarnya tahu mana informasi yang memiliki nilai berita tinggi, serta berita menarik atau tidak.
Sedangkan, sebuah berita produk yang lebih condong untuk konsumen dan menarik, malah dikatakan “sudah terlalu sering ini nih” dan mengungkap alasan tidak mendasar untuk menguatkan argumennya, sehingga berita tersebut batal naik. Padahal sesungguhnya, tak ada sepeserpun uang dari siaran pers tersebut, sebab orientasi yang dikedepankan adalah informasi berharga untuk para pembaca.
Lain lagi cerita seorang teman, yang rupanya sudah membuat satu artikel berita yang sudah jadi. Ketika hendak diperiksa, malah artikel tersebut gagal naik, karena dianggap hubungan sosial perusahaan media dengan operator telekomunikasi yang diberitakan itu belum baik. Hello?!, di mana jiwa seorang yang katanya wartawan yang harusnya terbebas dari segala bentuk kepentingan. Jangan katakan karena tidak diundang liputan ke luar negeri. *geleng-geleng
Pernah diutarakan kepada atasan, kalau terus-terus menahan berita tentang perusahaan yang tidak mengundang ke luar negeri, maka ini media seperti enggak professional. Selalu ada kata counter dari superior dengan lontaran pertanyaan bahwa lebih baik mana, jadi wartawan 'recycle' (tukang terima begitu aja press release) atau wartawan yang berani mengambil sikap, (padahal seperti menyatakan sikap ‘ngambek’ oleh karena tidak diundang liputan ke luar negeri), kemudian berita-berita tentang perusahaan (yang dimusuhi) tersebut tidak boleh dinaikan? Disodorkan dua pilihan itu, hanya senyum dan ngangguk-ngangguk penuh kepalsuan saja yang bisa diperlihatkan. Karena tahu, bahwa tabiat superior selalu merasa benar untuk menghindari perdebatan kusir.
Kejadian menarik lainnya juga pernah terjadi. Ketika itu, salah seorang teman satu tim jurnalis di media raksasa tempat bekerja, diinstruksikan untuk menghadiri sebuah acara yang tampak tidak jelas isi acaranya. Sesampai di sana, ketahuanlah melalui penuturan sang humas bahwa ada titipan untuk bos di kantor. Rekan satu tim ini tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan titipan tersebut? Ketika dikonfirmasi kepada si penginstruksi, jawaban yang diperoleh kurang memuaskan dan semakin membuat tanda tanya.
Benar tampaknya bahwa acara ‘gajebo’ ini berduit. Uang yang diperoleh sudah diraup manis oleh si penginstruksi, sedangkan wartawan lapangan yang sudah ketar-ketir meliput, penasaran, bahkan jawaban mengenai titipan itu dari si penginstruksi pun tidak jelas. Jangan bingung sobat, penulis katakan saat ini, ‘jelas’ alias jale yang dititipkan itu sudah cukup sempurna menjelaskan tanpa perlu dijelaskan lagi dengan kata-kata.
Semakin bobroklah sebuah media akibat ulah para pelakunya yang senantiasa berorientasi pada duit. Jangan menganggap remeh terkait masalah uang dalam konteks ini, karena itu sangat sensitif. Sebab apa? Sama-sama tahu bahwa gaji enggak seberapa di media tersebut. Kalau mau main cantik, praktik gelap seperti itu ya seyogianya dilakukan secara terampil, tanpa jejak, tanpa meninggalkan kecurigaan dan pintar. Salah seorang teman satu tim juga mengatakan, “Hauk itu bos lw udah kagak waras. Boleh sih mikirin duit, tapi caranya itu lhooooo,”.
Miris melihat peristiwa semacam ini. Adanya gap tercipta akibat permainan kotor yang didalangi superior. Alih-alih mau bergaul secara akrab dengan bawahan, perbuatan ‘lempar perintah terima upah ini’ justru membuat ketidaknyamanan yang dirasakan oleh rekan satu tim. Tidak bisa bertemu satu titik kekompakan antar kasta dalam struktur redaksi, kalau cara yang dilakukan dan permainan kotor tersebut justru membentuk gap atau jurang pemisah.
Masih ada kisah lainnya. Yang merupakan kesaksian langsung dari seorang teman satu tim, bahwa terdapat kongkalikong antara superior dengan orang lapangan yang mengaku fotografer, mendompleng nama media, padahal ia tak berbeda dengan seorang bodrex. Permainan ini sudah diketahui oleh semua punggawa, masih saja percaya diri meneruskan aksi-aksi serupa. “Ibarat teras rumah sudah ngeres bung, harus dibersihin dulu baru nyaman untuk ditempatin,”.
Dan, masih ada kisah lainnya. Tentang sebuah produk review yang rupanya pernah masuk dalam ‘proyek yang cukup besar’. Rupanya produk review handphone asal China itu tidak harus dikembalikan, dan berhak si pengoprek yang memiliki gadget tersebut. Atas ketidaktahuan dan ‘keluguan’, maka perangkat seharga Rp5 jutaan itu akhirnya berpindah ke tangan superior. Entah kemudian di kemanakan produk tersebut?
Sudah semakin tidak sehat. Pertama, posisi strategis yang ditempati pemimpin kanal ini bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Kedua, berbicara mengenai kompetensi bidang yang diampu, seharusnya dapat terdorong untuk memiliki kemauan atau keinginan yang kuat untuk belajar, update informasi mengenai perkembangan terkini dan bisa menjelaskan lebih rinci terkait isu, khusus bidang yang diampu saja dulu.
Ketiga, fungsi gatekeeper yang terlalu kuat. Sehingga, kekuasaan mutlak dipegang oleh posisi superior untuk mengatur segala macam konten pemberitaan, kebijakan, perintah atau arahan yang terkadang terkesan memaksakan. Empat, ini yang menyedihkan, ketidakmampuan merangkul atau menciptakan atmosfer sosial yang tentram antara anak buah dengan atasannya.
Entah seperti apa perusahaan media lainnya di luar sana. Barangkali tidak semua perusahaan media diisi oleh awak redaksi yang selalu berorientasi pada jale. Penulis tidak bilang profesi ini adalah hina, atau perusahaan media ini adalah buruk, justru profesi ini mulia sebagai penyambung informasi untuk masyarakat luas, apapun jenis informasinya. Tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan siapapun, hanya berupa pengungkapan fakta berdasarkan pengamatan langsung dan keterlibatan langsung dalam mengobservasi segala peristiwa dan perilaku orang-orang di sekitar. Bila tidak ditemukan jua jalan keluarnya, masih perlukah bertahan di tempat kerja tersebut?
*****
Sudah sejak lama teramati, terobservasi dan juga terdengar dari berbagai sumber terdekat. Sebuah istilah proyek yang berorientasi persis ungkapan “ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang”, kiranya itulah yang saat ini terjadi. Vulgarnya, “ada uang berita tentang produk elu gue naikin, kaga ada uang berita elu sori cuma bertengger di-inbox email kantor aje ye”.
Kebobrokan ini sudah lama terjadi. Proyek semacam ini pun kompak dijalani oleh superior yang cuma mementingkan kantong rekeningnya sendiri. Anak buah bukan tidak tahu menahu, justru tahu dan cerdas mengamati ketidakjujuran. Salah seorang rekan kerja mengungkapkan, “gimana mau maju, kalo mikirin untung sendiri padahal sebenarnya sedang merugi,”. Benar saja, proyek kotor itu masih saja dijalani, seperti biasa, tanpa perlu komunikasi secara terang-terangan.
Seolah anak buah tidak tahu, dan menjadikan salah satu di antara mereka menjadi sasaran dengan ‘mendompleng nama’, tanpa sepengetahuan dan berdalih bahwa itu untuk ‘menolong’ jumlah kuantitas berita. Dengan catatan, alasan tersebut terlontar pada saat ketahuan aksinya dituduh sebagai sebuah pelanggaran.
Yang tidak habis pikir, mengapa begitu ‘percaya diri’, ya, penulis katakan terlalu percaya diri karena masih saja meneruskan proyek nakal tersebut. Tidakkah engkau merasa sakit hati kawan? jurnalistik yang seharusnya independen, sudah tercoreng dengan lakon ‘suap’ tersebut. Tidak tahu berapa nominal yang dikirimkan melalui rekening itu. Akan tetapi yang jelas, “Wibawa sebagai bagian dari petinggi kanal redaksi, sudah berhasil ‘dibeli’ sesuai dengan reward atau kesepakatan uang yang dikantongi,”.
Kacrutnya, penguasaan wawasan mengenai produk milik perusahaan asing yang bersangkutan sangat minim sekali. Pekerjaan sederhana yang hanya tinggal naikkan artikel itu kemudian dilimpahkan ke anak buah yang juga tidak terlalu paham mengenai produk atau isi pesan dalam press release tersebut. Anak buah juga sebenarnya tahu mana informasi yang memiliki nilai berita tinggi, serta berita menarik atau tidak.
Sedangkan, sebuah berita produk yang lebih condong untuk konsumen dan menarik, malah dikatakan “sudah terlalu sering ini nih” dan mengungkap alasan tidak mendasar untuk menguatkan argumennya, sehingga berita tersebut batal naik. Padahal sesungguhnya, tak ada sepeserpun uang dari siaran pers tersebut, sebab orientasi yang dikedepankan adalah informasi berharga untuk para pembaca.
Lain lagi cerita seorang teman, yang rupanya sudah membuat satu artikel berita yang sudah jadi. Ketika hendak diperiksa, malah artikel tersebut gagal naik, karena dianggap hubungan sosial perusahaan media dengan operator telekomunikasi yang diberitakan itu belum baik. Hello?!, di mana jiwa seorang yang katanya wartawan yang harusnya terbebas dari segala bentuk kepentingan. Jangan katakan karena tidak diundang liputan ke luar negeri. *geleng-geleng
Pernah diutarakan kepada atasan, kalau terus-terus menahan berita tentang perusahaan yang tidak mengundang ke luar negeri, maka ini media seperti enggak professional. Selalu ada kata counter dari superior dengan lontaran pertanyaan bahwa lebih baik mana, jadi wartawan 'recycle' (tukang terima begitu aja press release) atau wartawan yang berani mengambil sikap, (padahal seperti menyatakan sikap ‘ngambek’ oleh karena tidak diundang liputan ke luar negeri), kemudian berita-berita tentang perusahaan (yang dimusuhi) tersebut tidak boleh dinaikan? Disodorkan dua pilihan itu, hanya senyum dan ngangguk-ngangguk penuh kepalsuan saja yang bisa diperlihatkan. Karena tahu, bahwa tabiat superior selalu merasa benar untuk menghindari perdebatan kusir.
Kejadian menarik lainnya juga pernah terjadi. Ketika itu, salah seorang teman satu tim jurnalis di media raksasa tempat bekerja, diinstruksikan untuk menghadiri sebuah acara yang tampak tidak jelas isi acaranya. Sesampai di sana, ketahuanlah melalui penuturan sang humas bahwa ada titipan untuk bos di kantor. Rekan satu tim ini tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan titipan tersebut? Ketika dikonfirmasi kepada si penginstruksi, jawaban yang diperoleh kurang memuaskan dan semakin membuat tanda tanya.
Benar tampaknya bahwa acara ‘gajebo’ ini berduit. Uang yang diperoleh sudah diraup manis oleh si penginstruksi, sedangkan wartawan lapangan yang sudah ketar-ketir meliput, penasaran, bahkan jawaban mengenai titipan itu dari si penginstruksi pun tidak jelas. Jangan bingung sobat, penulis katakan saat ini, ‘jelas’ alias jale yang dititipkan itu sudah cukup sempurna menjelaskan tanpa perlu dijelaskan lagi dengan kata-kata.
Semakin bobroklah sebuah media akibat ulah para pelakunya yang senantiasa berorientasi pada duit. Jangan menganggap remeh terkait masalah uang dalam konteks ini, karena itu sangat sensitif. Sebab apa? Sama-sama tahu bahwa gaji enggak seberapa di media tersebut. Kalau mau main cantik, praktik gelap seperti itu ya seyogianya dilakukan secara terampil, tanpa jejak, tanpa meninggalkan kecurigaan dan pintar. Salah seorang teman satu tim juga mengatakan, “Hauk itu bos lw udah kagak waras. Boleh sih mikirin duit, tapi caranya itu lhooooo,”.
Miris melihat peristiwa semacam ini. Adanya gap tercipta akibat permainan kotor yang didalangi superior. Alih-alih mau bergaul secara akrab dengan bawahan, perbuatan ‘lempar perintah terima upah ini’ justru membuat ketidaknyamanan yang dirasakan oleh rekan satu tim. Tidak bisa bertemu satu titik kekompakan antar kasta dalam struktur redaksi, kalau cara yang dilakukan dan permainan kotor tersebut justru membentuk gap atau jurang pemisah.
Masih ada kisah lainnya. Yang merupakan kesaksian langsung dari seorang teman satu tim, bahwa terdapat kongkalikong antara superior dengan orang lapangan yang mengaku fotografer, mendompleng nama media, padahal ia tak berbeda dengan seorang bodrex. Permainan ini sudah diketahui oleh semua punggawa, masih saja percaya diri meneruskan aksi-aksi serupa. “Ibarat teras rumah sudah ngeres bung, harus dibersihin dulu baru nyaman untuk ditempatin,”.
Dan, masih ada kisah lainnya. Tentang sebuah produk review yang rupanya pernah masuk dalam ‘proyek yang cukup besar’. Rupanya produk review handphone asal China itu tidak harus dikembalikan, dan berhak si pengoprek yang memiliki gadget tersebut. Atas ketidaktahuan dan ‘keluguan’, maka perangkat seharga Rp5 jutaan itu akhirnya berpindah ke tangan superior. Entah kemudian di kemanakan produk tersebut?
Sudah semakin tidak sehat. Pertama, posisi strategis yang ditempati pemimpin kanal ini bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Kedua, berbicara mengenai kompetensi bidang yang diampu, seharusnya dapat terdorong untuk memiliki kemauan atau keinginan yang kuat untuk belajar, update informasi mengenai perkembangan terkini dan bisa menjelaskan lebih rinci terkait isu, khusus bidang yang diampu saja dulu.
Ketiga, fungsi gatekeeper yang terlalu kuat. Sehingga, kekuasaan mutlak dipegang oleh posisi superior untuk mengatur segala macam konten pemberitaan, kebijakan, perintah atau arahan yang terkadang terkesan memaksakan. Empat, ini yang menyedihkan, ketidakmampuan merangkul atau menciptakan atmosfer sosial yang tentram antara anak buah dengan atasannya.
Entah seperti apa perusahaan media lainnya di luar sana. Barangkali tidak semua perusahaan media diisi oleh awak redaksi yang selalu berorientasi pada jale. Penulis tidak bilang profesi ini adalah hina, atau perusahaan media ini adalah buruk, justru profesi ini mulia sebagai penyambung informasi untuk masyarakat luas, apapun jenis informasinya. Tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan siapapun, hanya berupa pengungkapan fakta berdasarkan pengamatan langsung dan keterlibatan langsung dalam mengobservasi segala peristiwa dan perilaku orang-orang di sekitar. Bila tidak ditemukan jua jalan keluarnya, masih perlukah bertahan di tempat kerja tersebut?
*****
Comments
Post a Comment