Apa implikasi dari tingkatan akhlak atau klasifikasi yang telah disebutkan di-posting-an sebelumnya? Sejauh mana pemahaman seseorang terhadap ilmu agamanya barangkali berpengaruh pula terhadap watak, karakteristik, gaya hidup serta perilaku. Contoh di poin 1 atau 4, seperti dua kubu yang saling bertentangan. Sedangkan poin 2 atau 3 barangkali bisa dikatakan 'moderate'.
Poin 1 yang merupakan 'Orang yang pemahaman agamanya sangat baik dan konsisten dalam ibadah' bukan berarti menutup diri dari pergaulan atau melupakan urusan duniawi. Melainkan, ia lebih mampu mengatur diri untuk bergerak berdasarkan apa yang diyakini dan semata-mata hanya mengharap ridha Allah.
Implikasi lainnya bisa terlihat dari kehidupan sehari-harinya, seperti misalnya bagaimana ia memutuskan sesuatu hal, lebih sabar menghadapi cobaan, bertutur kata yang berguna, senantiasa sabar, pembawaannya yang tenang, dan berpikir dengan lebih jernih. Selain itu, seseorang pada tingkatan 1 ini tidak ingin waktunya tersita untuk hal-hal yang tidak berguna, selalu pandai bersyukur serta cenderung memiliki kepribadian yang sangat matang.
Masih banyak contoh-contoh lainnya, namun yang bisa terlihat atau teramati salah satunya menyangkut ibadah wajib. Orang yang memiliki pemahaman agama yang baik, maka bila tiba waktu adzan, ia ikhlas segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas wudhu dan menuju masjid, bahkan saat tiba shalat Shubuh. Dan, ibadah ini rutin atau konsisten dilakukan secara berkelanjutan di samping ibadah-ibadah lainnya, baik sunnah atau wajib.
Pada poin 1 ini, mereka cenderung memiliki kepribadian lebih matang, tidak suka berfoya-foya, lebih sabar dalam menerima ujian, termasuk lebih cepat untuk bersegera menikah. Tentu bisa dibedakan antara bersegera dengan terburu-buru ya. Bersegera, berarti paham betul apa yang hendak dilakukannya, siap menghadapai konsekuensi dan kesiapan yang sudah sangat matang tanpa perlu menunda, apalagi takut tidak bisa mencukupi kehidupan berkeluarga. Sebab, semua dilandasi niatan karena Allah semata, maka rezeki itu akan datang melalui usaha serta do'a.
Observasi selama ini memperlihatkan bahwa di poin 1, khusus perempuan, sudah barang tentu tidak mungkin tidak berjilbab. Bisa dikatakan tingkatan paling alim ini maka jilbab yang dikenakan pun tidak sembarang penutup kepala. Perempuan yang paham betul dan mengamalkan agama Islam dalam keseharian, maka busana yang dikenakan pun menutup seluruh aurat secara syar'i, kecuali wajah dan telapak tangan. Baik laki-laki atau perempuan yang berada pada tingkatan 1 ini, mampu membatasi pergaulan bebas dengan lawan jenis yang bukan muhrim.
Bagaimana cara laki-laki menjemput jodoh pada tingkatan poin 1 ini? tidak lain tidak bukan, bukan dengan jalan pacaran, melainkan ta'aruf yang dilakukan secara benar. Allah Maha Adil, laki-laki pada klasifikasi ini sudah pasti memilih calon istrinya yang juga sekufu, seiman atau berada di tingkatan yang sama. Benar menurut salah satu Firman-Nya, menyebut bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik dan begitu juga sebaliknya. Sinkronisasi antara dalil tersebut dengan kenyataan yang tidak mengada-ada dan kebenaran Al Quran mutlak, tidak dapat diragukan. (QS An Nuur:26)
Penulis rasanya tidak perlu membahas poin nomor 4, karena semua tampak bertentangan dari semua yang disebut ada pada poin 1. Bisa dipahami bersama pertentangan dari poin 1 dan 4 tersebut, di mana seseorang bisa saja 'turun kelas' atau 'naik kelas' pun bergantung dari kehendak Allah serta kesadaran seseorang untuk mau berubah ke arah yang lebih baik.
Bagaimana dengan poin 2 dan 3? tingkatan yang berbeda, tetapi di poin 2 masih jauh lebih baik daripada poin 3. Seiring berjalannya waktu atau usia, maka seseorang bisa berpikir untuk dapat berubah ke arah yang lebih baik. Bagaimanapun ini semua merupakan proses. Sesuatu yang menyangkut akhlak kepribadian, atau yang terkait dengan hidayah, bisa muncul kapanpun, di manapun dan seperti apa skenario jalur diturunkannya hidayah itu juga menjadi kehendak Allah.
Kini, tinggal manusianya yang niat atau tidak, siap atau tidak, mau atau tidak, ikhlas atau tidak sebagai seorang hamba untuk bisa terus memperbaiki diri, mau memahami isi kandungan Al Quran & Hadits dan menimba ilmu, serta bertemu dengan orang-orang shaleh. Maka, apabila seseorang itu mau dan siap berubah menjadi seseorang yang berakhlak baik, hidayah itu akan datang menghampiri atas Izin-Nya.
Penulis ingin menyampaikan, yakni teruslah berkaca diri. Sudah sejauh mana ketaatan kita sebagai seorang Muslim kepada Allah? Barangkali ada sebagian dari kita yang ingin mengharap jodoh baik, tetapi masih belum memantaskan diri. Tampaknya, klasifikasi ini berlaku secara universal pada seluruh umat manusia.
Penulis juga secara langsung atau tidak langsung, melihat dan mengamati sekilas bagaimana transformasi seseorang yang tadinya ibadah wajib (shalat) malas-malasan atau jarang, menjadi rajin dan bahkan lebih dahulu mengajak untuk shalat. Atau, transformasi dari orang-orang yang belum memutuskan berjilbab, menjadi berjilbab. Mungkin awalnya masih mengenakan 'kerudung gaul', namun lama-kelamaan paham bagaimana berbusana yang menjadi kewajiban seorang Muslimah untuk menutup auratnya.
Ada rasa senang melihat transformasi mereka yang beranjak dari tingkatan satu ke tingkatan berikutnya ke arah yang lebih baik. Berusaha mengubah seseorang yang barangkali masih berada di poin 3 atau 4 mungkin sulit. Disinilah dakwah harus terus ditegakkan, dan senantiasa mendoakan untuk kesadaran dan kebaikan sesama.
Kalau mau mengamati lebih detail di lingkungan terdekat atau bisa disaksikan melalui media pemberitaan, ada orang-orang yang dengan tingkatan poin masing-masing itu, berperilaku, berucap dan menghasilkan bahan gosip, yang mungkin menjadi buah bibir. Banyaknya kasus perceraian oleh para selebritis, kasus hamil di luar nikah, gagal nikah akibat putus cinta berujung penyesalan dan lain sebagainya, barangkali mereka pelaku atau korbannya itu kurang memperhatikan pentingnya memahami terlebih dahulu berada ditingkatan manakah calon atau partner hidupnya tersebut.
Yang ingin disampaikan, berbeda tingkatan poin, berbeda pula cara yang ditempuh untuk melangsungkan proses menuju pernikahan. Pembahasan ta'aruf versus pacaran tampaknya sudah sering digaungkan di buku atau seminar. Jangan pernah anggap remeh ta'aruf, karena itu justru menyucikan, sesuai syariat Islam dan tentu menutup rapat jalan perzinaan yang mungkin dilakukan oleh mereka yang berpacaran.
Penulis ingin terus memperbaiki diri. Barangkali tulisan ini bisa menjadi motivasi, pendorong dan pelatuk agar semangat dan bersabar dalam proses 'naik kelas'. Begitu juga harapan kepada semua pembaca posting-an ini.
*****
Poin 1 yang merupakan 'Orang yang pemahaman agamanya sangat baik dan konsisten dalam ibadah' bukan berarti menutup diri dari pergaulan atau melupakan urusan duniawi. Melainkan, ia lebih mampu mengatur diri untuk bergerak berdasarkan apa yang diyakini dan semata-mata hanya mengharap ridha Allah.
Implikasi lainnya bisa terlihat dari kehidupan sehari-harinya, seperti misalnya bagaimana ia memutuskan sesuatu hal, lebih sabar menghadapi cobaan, bertutur kata yang berguna, senantiasa sabar, pembawaannya yang tenang, dan berpikir dengan lebih jernih. Selain itu, seseorang pada tingkatan 1 ini tidak ingin waktunya tersita untuk hal-hal yang tidak berguna, selalu pandai bersyukur serta cenderung memiliki kepribadian yang sangat matang.
Masih banyak contoh-contoh lainnya, namun yang bisa terlihat atau teramati salah satunya menyangkut ibadah wajib. Orang yang memiliki pemahaman agama yang baik, maka bila tiba waktu adzan, ia ikhlas segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas wudhu dan menuju masjid, bahkan saat tiba shalat Shubuh. Dan, ibadah ini rutin atau konsisten dilakukan secara berkelanjutan di samping ibadah-ibadah lainnya, baik sunnah atau wajib.
Pada poin 1 ini, mereka cenderung memiliki kepribadian lebih matang, tidak suka berfoya-foya, lebih sabar dalam menerima ujian, termasuk lebih cepat untuk bersegera menikah. Tentu bisa dibedakan antara bersegera dengan terburu-buru ya. Bersegera, berarti paham betul apa yang hendak dilakukannya, siap menghadapai konsekuensi dan kesiapan yang sudah sangat matang tanpa perlu menunda, apalagi takut tidak bisa mencukupi kehidupan berkeluarga. Sebab, semua dilandasi niatan karena Allah semata, maka rezeki itu akan datang melalui usaha serta do'a.
Observasi selama ini memperlihatkan bahwa di poin 1, khusus perempuan, sudah barang tentu tidak mungkin tidak berjilbab. Bisa dikatakan tingkatan paling alim ini maka jilbab yang dikenakan pun tidak sembarang penutup kepala. Perempuan yang paham betul dan mengamalkan agama Islam dalam keseharian, maka busana yang dikenakan pun menutup seluruh aurat secara syar'i, kecuali wajah dan telapak tangan. Baik laki-laki atau perempuan yang berada pada tingkatan 1 ini, mampu membatasi pergaulan bebas dengan lawan jenis yang bukan muhrim.
Bagaimana cara laki-laki menjemput jodoh pada tingkatan poin 1 ini? tidak lain tidak bukan, bukan dengan jalan pacaran, melainkan ta'aruf yang dilakukan secara benar. Allah Maha Adil, laki-laki pada klasifikasi ini sudah pasti memilih calon istrinya yang juga sekufu, seiman atau berada di tingkatan yang sama. Benar menurut salah satu Firman-Nya, menyebut bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik dan begitu juga sebaliknya. Sinkronisasi antara dalil tersebut dengan kenyataan yang tidak mengada-ada dan kebenaran Al Quran mutlak, tidak dapat diragukan. (QS An Nuur:26)
Penulis rasanya tidak perlu membahas poin nomor 4, karena semua tampak bertentangan dari semua yang disebut ada pada poin 1. Bisa dipahami bersama pertentangan dari poin 1 dan 4 tersebut, di mana seseorang bisa saja 'turun kelas' atau 'naik kelas' pun bergantung dari kehendak Allah serta kesadaran seseorang untuk mau berubah ke arah yang lebih baik.
Bagaimana dengan poin 2 dan 3? tingkatan yang berbeda, tetapi di poin 2 masih jauh lebih baik daripada poin 3. Seiring berjalannya waktu atau usia, maka seseorang bisa berpikir untuk dapat berubah ke arah yang lebih baik. Bagaimanapun ini semua merupakan proses. Sesuatu yang menyangkut akhlak kepribadian, atau yang terkait dengan hidayah, bisa muncul kapanpun, di manapun dan seperti apa skenario jalur diturunkannya hidayah itu juga menjadi kehendak Allah.
Kini, tinggal manusianya yang niat atau tidak, siap atau tidak, mau atau tidak, ikhlas atau tidak sebagai seorang hamba untuk bisa terus memperbaiki diri, mau memahami isi kandungan Al Quran & Hadits dan menimba ilmu, serta bertemu dengan orang-orang shaleh. Maka, apabila seseorang itu mau dan siap berubah menjadi seseorang yang berakhlak baik, hidayah itu akan datang menghampiri atas Izin-Nya.
Penulis ingin menyampaikan, yakni teruslah berkaca diri. Sudah sejauh mana ketaatan kita sebagai seorang Muslim kepada Allah? Barangkali ada sebagian dari kita yang ingin mengharap jodoh baik, tetapi masih belum memantaskan diri. Tampaknya, klasifikasi ini berlaku secara universal pada seluruh umat manusia.
Penulis juga secara langsung atau tidak langsung, melihat dan mengamati sekilas bagaimana transformasi seseorang yang tadinya ibadah wajib (shalat) malas-malasan atau jarang, menjadi rajin dan bahkan lebih dahulu mengajak untuk shalat. Atau, transformasi dari orang-orang yang belum memutuskan berjilbab, menjadi berjilbab. Mungkin awalnya masih mengenakan 'kerudung gaul', namun lama-kelamaan paham bagaimana berbusana yang menjadi kewajiban seorang Muslimah untuk menutup auratnya.
Ada rasa senang melihat transformasi mereka yang beranjak dari tingkatan satu ke tingkatan berikutnya ke arah yang lebih baik. Berusaha mengubah seseorang yang barangkali masih berada di poin 3 atau 4 mungkin sulit. Disinilah dakwah harus terus ditegakkan, dan senantiasa mendoakan untuk kesadaran dan kebaikan sesama.
Kalau mau mengamati lebih detail di lingkungan terdekat atau bisa disaksikan melalui media pemberitaan, ada orang-orang yang dengan tingkatan poin masing-masing itu, berperilaku, berucap dan menghasilkan bahan gosip, yang mungkin menjadi buah bibir. Banyaknya kasus perceraian oleh para selebritis, kasus hamil di luar nikah, gagal nikah akibat putus cinta berujung penyesalan dan lain sebagainya, barangkali mereka pelaku atau korbannya itu kurang memperhatikan pentingnya memahami terlebih dahulu berada ditingkatan manakah calon atau partner hidupnya tersebut.
Yang ingin disampaikan, berbeda tingkatan poin, berbeda pula cara yang ditempuh untuk melangsungkan proses menuju pernikahan. Pembahasan ta'aruf versus pacaran tampaknya sudah sering digaungkan di buku atau seminar. Jangan pernah anggap remeh ta'aruf, karena itu justru menyucikan, sesuai syariat Islam dan tentu menutup rapat jalan perzinaan yang mungkin dilakukan oleh mereka yang berpacaran.
Penulis ingin terus memperbaiki diri. Barangkali tulisan ini bisa menjadi motivasi, pendorong dan pelatuk agar semangat dan bersabar dalam proses 'naik kelas'. Begitu juga harapan kepada semua pembaca posting-an ini.
*****
Comments
Post a Comment