Penulis senang mengklasifikasi. Salah satu artikel laptop yang baru-baru ini di-review juga menyebutkan kata-kata klasifikasi. Penulis mengklasifikasi laptop dengan spesifikasi low-end, mid-end hingga high end.
Mungkin tidak hanya laptop yang merupakan benda mati, manusia pun bisa diklasifikasi. Ini ada kaitannya dengan akhlak, ilmu agama Islam serta kematangan pribadi seseorang.
Mengapa ilmu agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan maupun peradaban manusia? Jawaban bisa berdasarkan penalaran pribadi, di mana penulis ini merupakan manusia yang jauh dari kata sempurna. Semua yang tertulis dalam posting-an ini juga berdasarkan pengamatan langsung atau realitas yang ada di lapangan.
Islam diturunkan sebagai penyempurna dari agama sebelumnya. Tidak dapat diragukan lagi kebenaran dalam kitab suci umat Islam, yang menjadi pegangan hidup seorang Muslim, bahkan umat manusia hingga akhir zaman.
Selalu ada kaitan antara agama dengan perilaku, kebiasaan serta hal-hal yang menyangkut sosial, komunikasi antar sesama manusia, interaksi antar kelompok dan sebagainya. Seseorang yang mengaku Muslim memiliki tingkatan kepahaman, pendalaman ilmu, serta pengamalan ajaran agama yang barangkali berbeda-beda pada tiap orang.
Seseorang yang sudah fitrahnya menjadi Muslim (karena kedua orangtuanya juga Muslim), barangkali tingkatan ilmu seperti yang disebutkan di atas memiliki ketidaksamaan. Ini mungkin dipengaruhi didikan sejak kecil oleh orang-orang terdekatnya, termasuk orangtua, lingkungan pergaulan dan faktor dari dalam dirinya sendiri hingga ia dewasa.
Ilmu memang tidak bisa diamati secara kasat mata. Kaitannya dengan akhlak dan perilaku, maka setinggi apa ilmu yang dimiliki seseorang maka akan terlihat dalam perilakunya sehari-hari.
Penulis sedang tidak berbicara mengenai mualaf atau orang yang masuk Islam bukan dari keturunan orangtuanya. Namun, sedikit berkata, justru mualaf seperti misalnya Ust. Felix Siauw bisa menjadi orang 'hebat' yang ilmu dakwahnya jauh melampaui mereka yang dari kecil sudah memeluk Islam oleh karena kedua orangtuanya Islam.
Bukan maksud membanding-bandingkan, tetapi ini bisa sebagai pecutan untuk introspeksi, di mana seharusnya yang disebut "Islam KTP" itu bisa lebih baik lagi dalam urusan pendalaman agama, pengamalan serta ibadah yang lebih ditingkatkan.
Balik lagi mengenai klasifikasi. Ibarat spesifikasi laptop, hal-hal yang berkaitan dengan kemutakhiran hardware diumpamakan seperti ilmu agama yang tinggi. Semakin canggih tentu harganya semakin mahal, dan hanya orang-orang tertentu, yang mampu untuk beli produk canggih tersebut.
Secara eksplisit penulis bagi klasifikasi berikut. Klasifikasi ini dalam konteks agama Islam. 1. Orang yang pemahaman agamanya sangat baik dan konsisten dalam ibadah, 2. Orang yang pemahaman agamanya cukup baik, tetapi ibadahnya kurang konsisten, 3. Orang yang mengaku beragama Islam, tetapi tidak pernah atau jarang beribadah, 4. Orang yang tidak perduli atau tidak percaya akan adanya Sang Maha Pencipta, dan cenderung menjauhi pergaulan yang mengantarkan ia untuk lebih mengenal Islam.
Lantas, apa maksudnya mengklasifikasi seperti yang disebutkan di atas? Penulis ingin memberikan gambaran dari apa yang pernah terlihat dalam pergaulan keseharian, menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan implikasi apabila seseorang itu berada di poin 1, 2, 3 atau 4. Diharapkan ini menjadi sebuah motivasi untuk terus memperbaiki diri. Dari tingkatan yang ada tersebut, sehingga ada dorongan yang kuat untuk berusaha 'naik kelas'.
Bersambung ke artikel bagian dua >>
Mungkin tidak hanya laptop yang merupakan benda mati, manusia pun bisa diklasifikasi. Ini ada kaitannya dengan akhlak, ilmu agama Islam serta kematangan pribadi seseorang.
Mengapa ilmu agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan maupun peradaban manusia? Jawaban bisa berdasarkan penalaran pribadi, di mana penulis ini merupakan manusia yang jauh dari kata sempurna. Semua yang tertulis dalam posting-an ini juga berdasarkan pengamatan langsung atau realitas yang ada di lapangan.
Islam diturunkan sebagai penyempurna dari agama sebelumnya. Tidak dapat diragukan lagi kebenaran dalam kitab suci umat Islam, yang menjadi pegangan hidup seorang Muslim, bahkan umat manusia hingga akhir zaman.
Selalu ada kaitan antara agama dengan perilaku, kebiasaan serta hal-hal yang menyangkut sosial, komunikasi antar sesama manusia, interaksi antar kelompok dan sebagainya. Seseorang yang mengaku Muslim memiliki tingkatan kepahaman, pendalaman ilmu, serta pengamalan ajaran agama yang barangkali berbeda-beda pada tiap orang.
Seseorang yang sudah fitrahnya menjadi Muslim (karena kedua orangtuanya juga Muslim), barangkali tingkatan ilmu seperti yang disebutkan di atas memiliki ketidaksamaan. Ini mungkin dipengaruhi didikan sejak kecil oleh orang-orang terdekatnya, termasuk orangtua, lingkungan pergaulan dan faktor dari dalam dirinya sendiri hingga ia dewasa.
Ilmu memang tidak bisa diamati secara kasat mata. Kaitannya dengan akhlak dan perilaku, maka setinggi apa ilmu yang dimiliki seseorang maka akan terlihat dalam perilakunya sehari-hari.
Penulis sedang tidak berbicara mengenai mualaf atau orang yang masuk Islam bukan dari keturunan orangtuanya. Namun, sedikit berkata, justru mualaf seperti misalnya Ust. Felix Siauw bisa menjadi orang 'hebat' yang ilmu dakwahnya jauh melampaui mereka yang dari kecil sudah memeluk Islam oleh karena kedua orangtuanya Islam.
Bukan maksud membanding-bandingkan, tetapi ini bisa sebagai pecutan untuk introspeksi, di mana seharusnya yang disebut "Islam KTP" itu bisa lebih baik lagi dalam urusan pendalaman agama, pengamalan serta ibadah yang lebih ditingkatkan.
Balik lagi mengenai klasifikasi. Ibarat spesifikasi laptop, hal-hal yang berkaitan dengan kemutakhiran hardware diumpamakan seperti ilmu agama yang tinggi. Semakin canggih tentu harganya semakin mahal, dan hanya orang-orang tertentu, yang mampu untuk beli produk canggih tersebut.
Secara eksplisit penulis bagi klasifikasi berikut. Klasifikasi ini dalam konteks agama Islam. 1. Orang yang pemahaman agamanya sangat baik dan konsisten dalam ibadah, 2. Orang yang pemahaman agamanya cukup baik, tetapi ibadahnya kurang konsisten, 3. Orang yang mengaku beragama Islam, tetapi tidak pernah atau jarang beribadah, 4. Orang yang tidak perduli atau tidak percaya akan adanya Sang Maha Pencipta, dan cenderung menjauhi pergaulan yang mengantarkan ia untuk lebih mengenal Islam.
Lantas, apa maksudnya mengklasifikasi seperti yang disebutkan di atas? Penulis ingin memberikan gambaran dari apa yang pernah terlihat dalam pergaulan keseharian, menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan implikasi apabila seseorang itu berada di poin 1, 2, 3 atau 4. Diharapkan ini menjadi sebuah motivasi untuk terus memperbaiki diri. Dari tingkatan yang ada tersebut, sehingga ada dorongan yang kuat untuk berusaha 'naik kelas'.
Bersambung ke artikel bagian dua >>
Comments
Post a Comment