Lihat yang katanya media besar, yang promosinya gencar namun sebagian besar dari para 'pendekar'nya berkoar. Mungkin karena kesejahteraan yang agak 'terlantar' dibandingkan media tetangga lainnya yang juga besar.
Mereka menyaksikan ada hak yang seolah 'dirampas', permainan 'lempar perintah terima upah' tampaknya sudah beberapa kali terjadi. Anak buah bukan orang-orang tak pintar yang tidak tahu menahu praktek kotor oleh kaum superior.
Bisa jadi alasan minimnya gaji yang diperoleh, tetapi mereka pun sama-sama 'kurang'. Akan tetapi, mereka terkadang terus dibombardir dengan kerjaan yang ekstra melelahkan. Tak jarang juga instruksi atau arahan kepada anak buah, seringkali 'tak mendasar'.
Alasan kedangkalan kompetensi sebenarnya bisa diatasi dengan mau belajar. Karena mau tidak mau seorang yang katanya pemimpin harus tahu dan mengerti hal-hal yang menyangkut bidang yang diampunya. Bukan malah melimpahkan pekerjaan itu pada orang lain, yang juga memiliki tugas atau pekerjaannya masing-masing.
Sungguh, barangkali bukan karena uang gaji yang minim di perusahaan raksasa media tersebut. Namun, lebih dikarenakan 'muak' melihat segala hal yang berbau 'orientasi rekening', 'orientasi kepentingan' dan 'orientasi jalan-jalan ke luar negeri'.
Maka, tak aneh silih berganti punggawa di dalamnya dan tak perlu lagi menanyakan alasan mereka untuk 'keluar'. Semuanya telah jelas dan 'jelas' yang diraup itu sudah sempurna menjelaskan.
Mungkin, keseimbangan memang diperlukan antara hak pendapatan dengan sejumlah besar energi yang dikeluarkan. Bila tidak seimbang, maka akan ada pilihan untuk mencari tempat lain yang lebih menjanjikan.
Menghindari percekcokan argumen mungkin lebih baik ketimbang beradu pandangan dengan orang yang mengaku sudah berpengalaman di profesi sebagai 'pemburu informasi'. Tabiat pada umumnya, bos selalu tidak ingin dianggap salah dan seolah selalu merasa benar.
Sudah saatnya berintrospeksi di kubu masing-masing. Bila tidak, maka akan semakin keruh atmosfer sosial antara bawahan dengan atasan dan bisa semakin cepat mereka yang menjadi korban untuk memproklamirkan 'kelulusan'.
Jangan pernah membenci manusia, bencilah kelakuannya, bukan orangnya.
*****
Mereka menyaksikan ada hak yang seolah 'dirampas', permainan 'lempar perintah terima upah' tampaknya sudah beberapa kali terjadi. Anak buah bukan orang-orang tak pintar yang tidak tahu menahu praktek kotor oleh kaum superior.
Bisa jadi alasan minimnya gaji yang diperoleh, tetapi mereka pun sama-sama 'kurang'. Akan tetapi, mereka terkadang terus dibombardir dengan kerjaan yang ekstra melelahkan. Tak jarang juga instruksi atau arahan kepada anak buah, seringkali 'tak mendasar'.
Alasan kedangkalan kompetensi sebenarnya bisa diatasi dengan mau belajar. Karena mau tidak mau seorang yang katanya pemimpin harus tahu dan mengerti hal-hal yang menyangkut bidang yang diampunya. Bukan malah melimpahkan pekerjaan itu pada orang lain, yang juga memiliki tugas atau pekerjaannya masing-masing.
Sungguh, barangkali bukan karena uang gaji yang minim di perusahaan raksasa media tersebut. Namun, lebih dikarenakan 'muak' melihat segala hal yang berbau 'orientasi rekening', 'orientasi kepentingan' dan 'orientasi jalan-jalan ke luar negeri'.
Maka, tak aneh silih berganti punggawa di dalamnya dan tak perlu lagi menanyakan alasan mereka untuk 'keluar'. Semuanya telah jelas dan 'jelas' yang diraup itu sudah sempurna menjelaskan.
Mungkin, keseimbangan memang diperlukan antara hak pendapatan dengan sejumlah besar energi yang dikeluarkan. Bila tidak seimbang, maka akan ada pilihan untuk mencari tempat lain yang lebih menjanjikan.
Menghindari percekcokan argumen mungkin lebih baik ketimbang beradu pandangan dengan orang yang mengaku sudah berpengalaman di profesi sebagai 'pemburu informasi'. Tabiat pada umumnya, bos selalu tidak ingin dianggap salah dan seolah selalu merasa benar.
Sudah saatnya berintrospeksi di kubu masing-masing. Bila tidak, maka akan semakin keruh atmosfer sosial antara bawahan dengan atasan dan bisa semakin cepat mereka yang menjadi korban untuk memproklamirkan 'kelulusan'.
Jangan pernah membenci manusia, bencilah kelakuannya, bukan orangnya.
*****
Comments
Post a Comment