Lagi cukup ramai beberapa waktu belakangan ini diberitakan fitur BlackBerry Messenger (BBM) bakal muncul di Android dan iOS. Katanya udah ada yang bisa install aplikasi BBM di Android, walau bukan dari Google Play resmi.
Penulis jadi teringat, alasan dulu cukup ngebet ingin pakai Android adalah karena adanya fitur BBM ini yang cukup banyak dipakai orang. Kala duduk di bangku kuliah, feature phone 'SonEr Walkman' sudah cukup berguna untuk sekedar sms, telepon, foto-foto dan mp3. Penulis sempat berpikir 'miring' mengenai mereka yang menggunakan BlackBerry (BB).
Penulis pikir, mereka yang pakai gadget pasaran ini hanya ikut-ikutan tren saja. Sebagian dari teman yang pakai berkata, karena teman-temannya pada pakai BB, sehingga kalau chatting pakai BB juga akan memudahkan, lebih murah ketimbang SMS.
Merebak ragam varian BB ketika itu. Gak hafal semua jenis BB, yang jelas BB Gemini kira-kira waktu era 2008-2009 populer banget di kalangan mahasiswa. Mereka cukup menikmati smartphone tersebut, mungkin bersyukur punya BB, walau jadul dan hanya bisa '2G only', mereka sudah senang bisa beraktivitas BBM dengan teman.
Sebagian lain yang punya duit beli BB yang agak mahalan, seperti BB Onyx atau Torch, yang memiliki dukungan sinyal 3G. Sebagian lain, di kemudian hari mengeluhkan BB 'murah'nya lemot, sempat penulis lihat kekesalan karena lemotnya gadget ini sampai harus di cabut baterai-pasang lagi.
Di otak mahasiswa salah satu perguruan negeri tinggi swasta angkatan 2007 ini, penulis gak sampai kepikiran memiliki BB, karena memang gak memiliki penghasilan sendiri, masa mau minta sama ortu? malu dong. Kalau pun ada duit, mending ditabung atau mending ganti HP baru, yang tetap feature phone pula.
Sampai suatu saat, ada perempuan, teman dulu satu SMP yang entah kenapa begitu berbeda yang membuat pandangan mata sulit lepas, walau hanya melihatnya dari sebuah foto di jejaring sosial. Kita memang jarang atau bahkan gak pernah ketemu setelah kelulusan SMP-SMA yang sama. Meskipun kesehariannya juga sama-sama menunggangi moda transportasi kereta api listrik dan naik di stasiun yang sama.
Penulis ingat, BB menjadi tren yang begitu marak digunakan, tak terkecuali gadis tersebut. Hal ini diketahui melalui jejaring sosial miliknya, yang juga menginformasikan bahwa dirinya menggunakan BB. Berapa nomor telefonnya hanya bisa didapat melalui buku tahunan, dan ketika di SMS pun tidak ditanggapi. Tak apa, karena hanya ketikan teks yang tidak penting.
Terpikir kala itu andai memiliki BB, pasti bisa langsung ngobrol. Dan, suatu ketika dia memposting pin BB miliknya di jejaring sosial, langsung penulis catat tanpa menghiraukan apakah penulis punya BB untuk bisa meng-add pin tersebut. Penulis juga sempat berpikir dan berharap aplikasi BBM nongol di PC Windows saat itu, sampai oprek-oprek cari di Google nyatanya enggak ada.
Bersyukur, gadget asal Kanada ini pada akhirnya bisa dicicipi, oleh karena kakak kandung tidak lagi menggunakan BB miliknya dan beralih ke iPhone. Sampai saat ini, dari sejak 3 tahun lalu mungkin BB ini tetap menjadi teman setia. Bahkan, sangat berguna ketika digunakan untuk mendukung profesi, walau kondisinya tidak lagi mulus serta terdapat boncel di beberapa titik dan tombol yang sudah lepas-lepas bila tidak dipasangkan penyanggah plastik atau sarung.
Sejak beberapa tahun lalu itu pula, pin BB gadis sesama alumni SMA negeri di Buitenzorg ini akhirnya dilihat kembali. Sempat gaptek bagaimana menggunakan BB, karena tampilan yang berbeda dengan feature phone, terlebih keypad bergaya QWERTY masih belum begitu akrab.
Singkat cerita, akhirnya penulis masuk ke sebuah group alumni SMP/SMA. Disitu ternyata ada member gadis tersebut. Alih-alih penulis yang harusnya meng-add, malah dirinya yang meng-add duluan. Tidak apa-apa.
Obrolan kemudian berkembang dan berlanjut dalam lingkup wajar, tetapi penulis memang jarang berkomunikasi dengannya, baik di jejaring sosial atau BBM. Tiba-tiba, ada keinginan untuk bertemu dan memberi sebuah buku berjudul Jalan Cinta Para Pejuang.
Penulis anggap sudah bukan zamannya lagi mengungkapkan 'pesan' dengan memberikan bunga atau sejenisnya, karena yang diperlukan adalah sesuatu yang sifatnya ilmu. Ilmu bisa menolong dan menjadikan seseorang lebih bisa menghadapi permasalahan hidup dengan lebih siap. Tidak hanya itu, perhatian tersebut adalah bentuk lain dari ungkapan 'rasa' spesial.
Alih-alih ingin bertemu dan memberikan buku tersebut, sudah ada tanda-tanda bahwa doi sudah memiliki calon, yang ia ungkap secara eksplisit. Namun, niatan buku yang sudah siap diberikan tidak pudar, dan karena sudah terlanjur dibeli dengan uang hasil sisihan jajan dari ortu, maka buku untuknya ini harus dikirimkan, walau melalui bantuan jasa pengiriman 'tukang pos bermotor warna orange'.
Mungkin kisah cukup sekian. Penulis sudah puas dan senang dengan terkirimnya dan diterima buku itu dengan selamat sampai di tujuan. Perkembangan kemudian, komunikasi hanya sebatas teman obrolan saat waktu luang, dan sepertinya gadis itu akan segera menikah dalam waktu dekat. Alhamdulillah. Semoga buku itu bermanfaat.
Mungkin panjang lebar cerita di atas. Intinya, kehadiran BBM di Android atau iOS sebagai bukti bahwa aplikasi tersebut tidak akan ekslusif lagi. Dan, menunjukkan, BBM menjadi 'aset' BB, di mana banyak orang pengen pakai BB, khususnya di Indonesia karena adanya aplikasi chatting tersebut. Mungkin bisa saja BB perlahan ditinggalkan, tetapi yang sudah terlanjur memiliki BB dan meskipun punya duit untuk beli Android murah meriah, sebagian dari mereka tampaknya akan tetap loyal menggunakan BB.
Flashback penulis, apa yang membuat BB begitu ingin digunakan ialah karena adanya aplikasi BBM, di mana penulis ingin meng-add pin BB seorang gadis. Ya, andai di era 2008-2009 itu BBM sudah bisa dijajal di Android, mungkin akan lain ceritanya.
Sekian.
******
(Foto: Dok. Pribadi)
Penulis jadi teringat, alasan dulu cukup ngebet ingin pakai Android adalah karena adanya fitur BBM ini yang cukup banyak dipakai orang. Kala duduk di bangku kuliah, feature phone 'SonEr Walkman' sudah cukup berguna untuk sekedar sms, telepon, foto-foto dan mp3. Penulis sempat berpikir 'miring' mengenai mereka yang menggunakan BlackBerry (BB).
Penulis pikir, mereka yang pakai gadget pasaran ini hanya ikut-ikutan tren saja. Sebagian dari teman yang pakai berkata, karena teman-temannya pada pakai BB, sehingga kalau chatting pakai BB juga akan memudahkan, lebih murah ketimbang SMS.
Merebak ragam varian BB ketika itu. Gak hafal semua jenis BB, yang jelas BB Gemini kira-kira waktu era 2008-2009 populer banget di kalangan mahasiswa. Mereka cukup menikmati smartphone tersebut, mungkin bersyukur punya BB, walau jadul dan hanya bisa '2G only', mereka sudah senang bisa beraktivitas BBM dengan teman.
Sebagian lain yang punya duit beli BB yang agak mahalan, seperti BB Onyx atau Torch, yang memiliki dukungan sinyal 3G. Sebagian lain, di kemudian hari mengeluhkan BB 'murah'nya lemot, sempat penulis lihat kekesalan karena lemotnya gadget ini sampai harus di cabut baterai-pasang lagi.
Di otak mahasiswa salah satu perguruan negeri tinggi swasta angkatan 2007 ini, penulis gak sampai kepikiran memiliki BB, karena memang gak memiliki penghasilan sendiri, masa mau minta sama ortu? malu dong. Kalau pun ada duit, mending ditabung atau mending ganti HP baru, yang tetap feature phone pula.
Sampai suatu saat, ada perempuan, teman dulu satu SMP yang entah kenapa begitu berbeda yang membuat pandangan mata sulit lepas, walau hanya melihatnya dari sebuah foto di jejaring sosial. Kita memang jarang atau bahkan gak pernah ketemu setelah kelulusan SMP-SMA yang sama. Meskipun kesehariannya juga sama-sama menunggangi moda transportasi kereta api listrik dan naik di stasiun yang sama.
Penulis ingat, BB menjadi tren yang begitu marak digunakan, tak terkecuali gadis tersebut. Hal ini diketahui melalui jejaring sosial miliknya, yang juga menginformasikan bahwa dirinya menggunakan BB. Berapa nomor telefonnya hanya bisa didapat melalui buku tahunan, dan ketika di SMS pun tidak ditanggapi. Tak apa, karena hanya ketikan teks yang tidak penting.
Terpikir kala itu andai memiliki BB, pasti bisa langsung ngobrol. Dan, suatu ketika dia memposting pin BB miliknya di jejaring sosial, langsung penulis catat tanpa menghiraukan apakah penulis punya BB untuk bisa meng-add pin tersebut. Penulis juga sempat berpikir dan berharap aplikasi BBM nongol di PC Windows saat itu, sampai oprek-oprek cari di Google nyatanya enggak ada.
Bersyukur, gadget asal Kanada ini pada akhirnya bisa dicicipi, oleh karena kakak kandung tidak lagi menggunakan BB miliknya dan beralih ke iPhone. Sampai saat ini, dari sejak 3 tahun lalu mungkin BB ini tetap menjadi teman setia. Bahkan, sangat berguna ketika digunakan untuk mendukung profesi, walau kondisinya tidak lagi mulus serta terdapat boncel di beberapa titik dan tombol yang sudah lepas-lepas bila tidak dipasangkan penyanggah plastik atau sarung.
Sejak beberapa tahun lalu itu pula, pin BB gadis sesama alumni SMA negeri di Buitenzorg ini akhirnya dilihat kembali. Sempat gaptek bagaimana menggunakan BB, karena tampilan yang berbeda dengan feature phone, terlebih keypad bergaya QWERTY masih belum begitu akrab.
Singkat cerita, akhirnya penulis masuk ke sebuah group alumni SMP/SMA. Disitu ternyata ada member gadis tersebut. Alih-alih penulis yang harusnya meng-add, malah dirinya yang meng-add duluan. Tidak apa-apa.
Obrolan kemudian berkembang dan berlanjut dalam lingkup wajar, tetapi penulis memang jarang berkomunikasi dengannya, baik di jejaring sosial atau BBM. Tiba-tiba, ada keinginan untuk bertemu dan memberi sebuah buku berjudul Jalan Cinta Para Pejuang.
Penulis anggap sudah bukan zamannya lagi mengungkapkan 'pesan' dengan memberikan bunga atau sejenisnya, karena yang diperlukan adalah sesuatu yang sifatnya ilmu. Ilmu bisa menolong dan menjadikan seseorang lebih bisa menghadapi permasalahan hidup dengan lebih siap. Tidak hanya itu, perhatian tersebut adalah bentuk lain dari ungkapan 'rasa' spesial.
Alih-alih ingin bertemu dan memberikan buku tersebut, sudah ada tanda-tanda bahwa doi sudah memiliki calon, yang ia ungkap secara eksplisit. Namun, niatan buku yang sudah siap diberikan tidak pudar, dan karena sudah terlanjur dibeli dengan uang hasil sisihan jajan dari ortu, maka buku untuknya ini harus dikirimkan, walau melalui bantuan jasa pengiriman 'tukang pos bermotor warna orange'.
Mungkin kisah cukup sekian. Penulis sudah puas dan senang dengan terkirimnya dan diterima buku itu dengan selamat sampai di tujuan. Perkembangan kemudian, komunikasi hanya sebatas teman obrolan saat waktu luang, dan sepertinya gadis itu akan segera menikah dalam waktu dekat. Alhamdulillah. Semoga buku itu bermanfaat.
Mungkin panjang lebar cerita di atas. Intinya, kehadiran BBM di Android atau iOS sebagai bukti bahwa aplikasi tersebut tidak akan ekslusif lagi. Dan, menunjukkan, BBM menjadi 'aset' BB, di mana banyak orang pengen pakai BB, khususnya di Indonesia karena adanya aplikasi chatting tersebut. Mungkin bisa saja BB perlahan ditinggalkan, tetapi yang sudah terlanjur memiliki BB dan meskipun punya duit untuk beli Android murah meriah, sebagian dari mereka tampaknya akan tetap loyal menggunakan BB.
Flashback penulis, apa yang membuat BB begitu ingin digunakan ialah karena adanya aplikasi BBM, di mana penulis ingin meng-add pin BB seorang gadis. Ya, andai di era 2008-2009 itu BBM sudah bisa dijajal di Android, mungkin akan lain ceritanya.
Sekian.
******
(Foto: Dok. Pribadi)
Comments
Post a Comment