Biar judul pakai bahasa Inggris, padahal mah bukan berarti si pengucap benar-benar jago ceplas ceplos ngomong bahasa Inggris. Terkadang, memang bahasa asing bisa membuat sebuah pesan menjadi lebih sedikit 'berbobot' alias kerenan. Ketimbang, bila judulnya ditulis menjadi "Tidak ada yang spesial hari ini". Nada curhat bukan, dibilang galau mungkin.
Tetapi bukan itu yang menjadi pokok pembicaraan. Kita tidak sedang membicarakan asal-usul kata galau dan sejenisnya. Melainkan, tidak ada yang spesial berarti tidak ada implikasi, tidak ada pengaruh atau apapun itu yang bisa membawa seseorang dalam perubahan signifikan.
Nah, ditambah dengan kata hari ini? hari apa? 17 Agustus 2013. Ya, dahulu mungkin semarak 17 Agustus-an menjadi sebuah event tahunan yang dimeriahkan dengan karnaval kecil-kecilan se RT/RW, atau diramaikan dengan kegiatan lomba semacam balap karung, makan kerupuk dan sebagainya. Di sebagian daerah mungkin masih ada yang merayakan kegiatan tahunan tersebut, namun di beberapa tempat justru biasa-biasa saja.
Pertanyaannya, kenapa? kenapa di sebagian tempat justru tidak terdengar kegiatan menarik apa yang diselenggarakan bertema 17 Agustus-an, kemana panggung megah yang biasanya dibuat untuk mengiringi malam 17 Agustus? Khususnya di daerah tempat tinggal penulis, momen-momen euforia semacam itu seolah hilang. Penulis yakin dibelahan daerah lain pun demikian.
Kemana umbul-umbul merah putih? kemana itu plastik bening yang dicat warna merah putih dan digantung pakai benang di atas jalan-jalan komplek rumah? Dan kemana berbagai atribut lainnya yang menunjukkan tema 17 Agustus, bahkan bendera merah putih pun tampaknya tidak lagi dipasang di depan-depan rumah.
Pertanyaanya, kenapa? kenapa bisa hilang semangat 17 Agustus-an yang dahulu sering digaung-gaungkan? Tampaknya bukan salah pengurus RT, tetapi memang zaman telah berubah ke era serba online. Muda-mudi yang tumbuh dan berkembang serta akrab dengan berbagai rentetan gadget dan koneksi internet yang tersedia lebih senang bercuap-cuap via online. Maka, tak perlu lagi menunjukkan 'jiwa nasionalis' melalui aksi nyata, namun cukup pencet update status setelah merangkai ucapan HUT RI atau perayaan kemerdekaan, beres.
Atau mungkin, para muda-mudi sudah malas dan hilang identitas kebangsaan, saat berbagai variasi pengaruh dari luar menyergap pikiran dan mempengaruhi rasa ketertarikan terhadap negara tempat tinggalnya sendiri. Gak percaya? Tengok yuk olahraga sepakbola yang baru beberapa minggu lalu, ada klub sepakbola luar dari liga Inggris atau liga-liga lainnya yang datang ke Indonesia. Coba diterka, berapa proporsi jumlah fansbase atau penggemar dari dua tim, yakni timnas dan tim luar? Banyakan mana sih suporter atau muda-mudi yang mendukung timnas atau tim luar? Kalah mungkin biasa, tetapi lebih bangga mana dengan kemenangan tim sepakbola luar atau timnas?
Masih belum percaya? Coba tengok sinetron atau film dan industri musik yang kini merebak. Bagaimana sosok 'pria-pria cantik' itu, yang berasal dari negeri gingseng mulai bergentayangan dalam angan dan menjadi idola para mudi-mudi tanah air ketimbang sosok yang pernah berjasa terhadap kemajuan bangsa Indonesia?
Dan, masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan sudah pudarnya rasa nasionalis atau kebangsaan, bahkan yang lebih 'ekstrem', gak peduli mau itu tanggal 17 Agustus atau bukan, yang penting dia gak lupa lirik artis atau penyanyi idolanya dan gak lupa jalan cerita film-film dari luar negeri favoritnya.
Pengungkapan Nothing Special Today juga bermakna sebuah frase 'picik' seperti judul lagu Saykoji, So What Gitu Loch?! "Terus kalau 17 Agustus kite harus bilang Wow gitu?" (kata anak yang ngaku-ngaku dirinya gaul). Coba diperhatikan, dan resapi makna hari ini, ya, Sabtu, 17 Agustus 2013, apanya yang spesial?
Saat dahulu dan mungkin sekaran mereka mendengungkan, 'merdeka atau mati'? Kebanyakan dari kata 'sakti' itu tampak tak lagi relevan dengan kondisi sekarang. Masih banyak orang-orang yang kesusahan, kemiskinan masih merajalela, korupsi di mana-mana, masih ada hak-hak hidup sebagian kaum dhuafa yang tidak diindahkan, misalnya rumah sakit 'somse' yang gak mau ngobatin pasien orang miskin. Biaya hidup tinggi, BBM naik mulu, dan segala 'pelanggaran' lainnya yang dilakukan oleh 'oknum' tak bertanggungjawab.
Parahnya, partai polik dalam negeri yang berjuang misalnya dalam penolakkan BBM beberapa waktu lalu, yang jelas-jelas pro-rakyat, justru dicitrakan dan dihujam oleh berbagai macam fitnah. Memang sulit, kalau kebobobrokan akarnya sudah menguat, maka perlu waktu dan lebih banyak bukti bahwa sistem thagut adalah jalan menuju 'kehancuran'.
Masih ingat pembukaan UUD 1945 yang biasa dibacakan saat upacara hari senin dari SD sampai SMA? Bait ketiga berbunyi, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya,". Masih ingkar bahwa hukum Allah tak relevan bila ditegakkan di suatu negara? Apalagi di Indonesia, bukan berbicara 'kaum' mayoritas, tetapi jelas dalam pembukaan UUD saja disebutkan demikian. Mana rasa bersyukurmu atas kemerdekaan RI?
Justru euforia apa yang terjadi di konflik Mesir sana, menggetarkan hati seluruh muslim yang 'sadar' bahwa penindasan masih terjadi di salah satu belahan Bumi termasuk juga di sini, Indonesia, walau seolah tidak tampak atau media tak selalu mengabarkannya kepada publik. Bagaimana ribuan muslim tak berdosa diberondong peluru militer Mesir, bagaimana pendemo yang berhak atas menyuarakan aspirasinya malah direspon dengan tindak kekerasan oleh pihak yang katanya aparat, padahal aslinya malah berbuat keparat.
Siapa otak dibalik itu semua? 'politik licik' hasil dari produk demokrasi 'sampah' berhasil menipu masyarakat setempat dan sukses mendaulat atau mengkudeta tokoh eksekutif hafidz Quran hasil dari pemilu yang sah. Hal tersebut terjadi akibat ketakutan-ketakutan orang-orang pendzhalim, yang tidak mau Islam berjaya di muka Bumi. Turut andil negeri paman sam, dan kelompok 'bintang daud' yang mendukung upaya kehancuran tersebut.
Seperti apa idealnya bangsa atau negara di dunia ini memiliki aturan? Adalah tegaknya khilafah, menggunakan hukum-hukum yang bersumber dari hukum Allah. Selama masih pakai hukum buatan manusia, maka pemandangan ketidakadilan di negeri bakal terus muncul tanpa henti.
Itu realita yang terjadi. Bagaimana hati tidak terketuk, saat mayoritas muslim di Indonesia menyaksikan kekejian itu, walau hanya dari tulisan, berita online atau tayangan berita TV media-media nasional, yang sebagian dari media nusantara ini justru dituduh seolah mendiskreditkan Islam. Siapa yang tidak mengutuk melihat aksi kebengisan rezim militer Mesir, sehingga di sana, tak henti-hentinya korban berjatuhan, terluka, dan menderita di negerinya sendiri.
Padahal, diberitakan, salah satu negara yang mendukung kemerdekaan Indonesia ialah Mesir. "Mesir merupakan negara pertama yang memberikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia," tulis berita dari Kompas, 17 Agustus tahun lalu, sebelum presiden Mursi digulingkan. Lalu, apa salah bila sebagian muda-mudi saat ini lebih senang mengetahui perkembangan Mesir dibandingkan merayakan HUT RI?
Tengok lagi ke hari ini, 17 Agustus, adakah hari ini yang masih bersenang-senang di atas penderitaan berat saudara-saudarinya di Mesir dan negara timur tengah lainnya? Masih pentingkah merayakan hari ini? Adakah dampak yang paling penting bagi hidup kita usai hari ini dan seterusnya setelah merayakan hari kemerdekaan? Coba tengok lagi, benarkah kita sudah benar-benar merdeka?
*****
Ilustrasi (Foto: Empowernetwork)
Tetapi bukan itu yang menjadi pokok pembicaraan. Kita tidak sedang membicarakan asal-usul kata galau dan sejenisnya. Melainkan, tidak ada yang spesial berarti tidak ada implikasi, tidak ada pengaruh atau apapun itu yang bisa membawa seseorang dalam perubahan signifikan.
Nah, ditambah dengan kata hari ini? hari apa? 17 Agustus 2013. Ya, dahulu mungkin semarak 17 Agustus-an menjadi sebuah event tahunan yang dimeriahkan dengan karnaval kecil-kecilan se RT/RW, atau diramaikan dengan kegiatan lomba semacam balap karung, makan kerupuk dan sebagainya. Di sebagian daerah mungkin masih ada yang merayakan kegiatan tahunan tersebut, namun di beberapa tempat justru biasa-biasa saja.
Pertanyaannya, kenapa? kenapa di sebagian tempat justru tidak terdengar kegiatan menarik apa yang diselenggarakan bertema 17 Agustus-an, kemana panggung megah yang biasanya dibuat untuk mengiringi malam 17 Agustus? Khususnya di daerah tempat tinggal penulis, momen-momen euforia semacam itu seolah hilang. Penulis yakin dibelahan daerah lain pun demikian.
Kemana umbul-umbul merah putih? kemana itu plastik bening yang dicat warna merah putih dan digantung pakai benang di atas jalan-jalan komplek rumah? Dan kemana berbagai atribut lainnya yang menunjukkan tema 17 Agustus, bahkan bendera merah putih pun tampaknya tidak lagi dipasang di depan-depan rumah.
Pertanyaanya, kenapa? kenapa bisa hilang semangat 17 Agustus-an yang dahulu sering digaung-gaungkan? Tampaknya bukan salah pengurus RT, tetapi memang zaman telah berubah ke era serba online. Muda-mudi yang tumbuh dan berkembang serta akrab dengan berbagai rentetan gadget dan koneksi internet yang tersedia lebih senang bercuap-cuap via online. Maka, tak perlu lagi menunjukkan 'jiwa nasionalis' melalui aksi nyata, namun cukup pencet update status setelah merangkai ucapan HUT RI atau perayaan kemerdekaan, beres.
Atau mungkin, para muda-mudi sudah malas dan hilang identitas kebangsaan, saat berbagai variasi pengaruh dari luar menyergap pikiran dan mempengaruhi rasa ketertarikan terhadap negara tempat tinggalnya sendiri. Gak percaya? Tengok yuk olahraga sepakbola yang baru beberapa minggu lalu, ada klub sepakbola luar dari liga Inggris atau liga-liga lainnya yang datang ke Indonesia. Coba diterka, berapa proporsi jumlah fansbase atau penggemar dari dua tim, yakni timnas dan tim luar? Banyakan mana sih suporter atau muda-mudi yang mendukung timnas atau tim luar? Kalah mungkin biasa, tetapi lebih bangga mana dengan kemenangan tim sepakbola luar atau timnas?
Masih belum percaya? Coba tengok sinetron atau film dan industri musik yang kini merebak. Bagaimana sosok 'pria-pria cantik' itu, yang berasal dari negeri gingseng mulai bergentayangan dalam angan dan menjadi idola para mudi-mudi tanah air ketimbang sosok yang pernah berjasa terhadap kemajuan bangsa Indonesia?
Dan, masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan sudah pudarnya rasa nasionalis atau kebangsaan, bahkan yang lebih 'ekstrem', gak peduli mau itu tanggal 17 Agustus atau bukan, yang penting dia gak lupa lirik artis atau penyanyi idolanya dan gak lupa jalan cerita film-film dari luar negeri favoritnya.
Pengungkapan Nothing Special Today juga bermakna sebuah frase 'picik' seperti judul lagu Saykoji, So What Gitu Loch?! "Terus kalau 17 Agustus kite harus bilang Wow gitu?" (kata anak yang ngaku-ngaku dirinya gaul). Coba diperhatikan, dan resapi makna hari ini, ya, Sabtu, 17 Agustus 2013, apanya yang spesial?
Saat dahulu dan mungkin sekaran mereka mendengungkan, 'merdeka atau mati'? Kebanyakan dari kata 'sakti' itu tampak tak lagi relevan dengan kondisi sekarang. Masih banyak orang-orang yang kesusahan, kemiskinan masih merajalela, korupsi di mana-mana, masih ada hak-hak hidup sebagian kaum dhuafa yang tidak diindahkan, misalnya rumah sakit 'somse' yang gak mau ngobatin pasien orang miskin. Biaya hidup tinggi, BBM naik mulu, dan segala 'pelanggaran' lainnya yang dilakukan oleh 'oknum' tak bertanggungjawab.
Parahnya, partai polik dalam negeri yang berjuang misalnya dalam penolakkan BBM beberapa waktu lalu, yang jelas-jelas pro-rakyat, justru dicitrakan dan dihujam oleh berbagai macam fitnah. Memang sulit, kalau kebobobrokan akarnya sudah menguat, maka perlu waktu dan lebih banyak bukti bahwa sistem thagut adalah jalan menuju 'kehancuran'.
Masih ingat pembukaan UUD 1945 yang biasa dibacakan saat upacara hari senin dari SD sampai SMA? Bait ketiga berbunyi, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya,". Masih ingkar bahwa hukum Allah tak relevan bila ditegakkan di suatu negara? Apalagi di Indonesia, bukan berbicara 'kaum' mayoritas, tetapi jelas dalam pembukaan UUD saja disebutkan demikian. Mana rasa bersyukurmu atas kemerdekaan RI?
Justru euforia apa yang terjadi di konflik Mesir sana, menggetarkan hati seluruh muslim yang 'sadar' bahwa penindasan masih terjadi di salah satu belahan Bumi termasuk juga di sini, Indonesia, walau seolah tidak tampak atau media tak selalu mengabarkannya kepada publik. Bagaimana ribuan muslim tak berdosa diberondong peluru militer Mesir, bagaimana pendemo yang berhak atas menyuarakan aspirasinya malah direspon dengan tindak kekerasan oleh pihak yang katanya aparat, padahal aslinya malah berbuat keparat.
Siapa otak dibalik itu semua? 'politik licik' hasil dari produk demokrasi 'sampah' berhasil menipu masyarakat setempat dan sukses mendaulat atau mengkudeta tokoh eksekutif hafidz Quran hasil dari pemilu yang sah. Hal tersebut terjadi akibat ketakutan-ketakutan orang-orang pendzhalim, yang tidak mau Islam berjaya di muka Bumi. Turut andil negeri paman sam, dan kelompok 'bintang daud' yang mendukung upaya kehancuran tersebut.
Seperti apa idealnya bangsa atau negara di dunia ini memiliki aturan? Adalah tegaknya khilafah, menggunakan hukum-hukum yang bersumber dari hukum Allah. Selama masih pakai hukum buatan manusia, maka pemandangan ketidakadilan di negeri bakal terus muncul tanpa henti.
Itu realita yang terjadi. Bagaimana hati tidak terketuk, saat mayoritas muslim di Indonesia menyaksikan kekejian itu, walau hanya dari tulisan, berita online atau tayangan berita TV media-media nasional, yang sebagian dari media nusantara ini justru dituduh seolah mendiskreditkan Islam. Siapa yang tidak mengutuk melihat aksi kebengisan rezim militer Mesir, sehingga di sana, tak henti-hentinya korban berjatuhan, terluka, dan menderita di negerinya sendiri.
Padahal, diberitakan, salah satu negara yang mendukung kemerdekaan Indonesia ialah Mesir. "Mesir merupakan negara pertama yang memberikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia," tulis berita dari Kompas, 17 Agustus tahun lalu, sebelum presiden Mursi digulingkan. Lalu, apa salah bila sebagian muda-mudi saat ini lebih senang mengetahui perkembangan Mesir dibandingkan merayakan HUT RI?
Tengok lagi ke hari ini, 17 Agustus, adakah hari ini yang masih bersenang-senang di atas penderitaan berat saudara-saudarinya di Mesir dan negara timur tengah lainnya? Masih pentingkah merayakan hari ini? Adakah dampak yang paling penting bagi hidup kita usai hari ini dan seterusnya setelah merayakan hari kemerdekaan? Coba tengok lagi, benarkah kita sudah benar-benar merdeka?
*****
Ilustrasi (Foto: Empowernetwork)
Comments
Post a Comment