Lagi, sebuah kesempatan datang bukan dari keinginan sendiri untuk meluncur ke salah satu kota istimewa di Indonesia, Yogyakarta. Kali ini, sama seperti sebelumnya, sebuah undangan dari salah satu provider telekomunikasi di Tanah Air memungkinkan untuk menempuh perjalanan udara menuju Solo, kemudian diteruskan menunggangi bus ke Yogyakarta dan berwisata ke situs Merapi.
Biasanya, ketika liputan luar kota, bos senantiasa menyuruh prajuritnya untuk tidak hanya menginformasikan seputar 'apa' yang terjadi di lokasi maupun peristiwa apa yang layak untuk diberitakan. Namun, 'senior' ini biasanya mengatakan bahwa seyogianya membuat karya tulis feature ('bagaimana') mengenai hal menarik yang ditemukan di lapangan.
Tema acara utama dari pihak pengundang 'si operator warna kuning' mungkin tampak agak kurang menarik untuk dijadikan tulisan panjang mendalam. Maka, sisi lain yang penulis suka ialah, menikmati sepanjang perjalanan, mencicipi kuliner dan merasakan langsung aroma petualangan dan kemudian mengemasnya menjadi tulisan komprehensif bergaya feature dalam blog pribadi.
Tiba di bandara Jakarta sekitar pukul 07.15-an WIB setelah menaiki DAMRI dengan ongkos Rp25.000 dari terminal pasar minggu (sekitar pukul 06.00 WIB), suasanya sudah ramai dengan dipenuhi manusia-manusia yang 'mobile' serta para pengantar. Selepas subuh berangkat tak sempat menyantap sarapan, maka sebelum jam berkumpul tiba, penulis bergerak mencari tempat makanan yang tidak asing di terminal 1B, Soeta.
Buat lidah asli orang Indonesia, mungkin nasi adalah makanan pokok yang 'wajib' untuk mencapai klimaks kenyang. Setelah berputar-putar, dan mencari tempat makan yang ada nasi, maka 'American Warteg' tampaknya cocok menjadi pilihan dengan hidangan ayamnya. Padahal, tak biasa menyantap ayam tepung khas, nasi, soto, minuman soda (paket seharga Rp35.000-an) dengan banderol berlipat dari makan siang biasa.
Setelah berkumpul bersama sekitar 10 awak media yang lain, sayang tak satupun penulis kenal dengan mereka. Namun, beberapa tampak tidak asing walau baru pertama bertemu, sebab mereka satu aliran media mainstream dengan penulis. Kami pun akhirnya terbang menuju Solo menggunakan pesawat terbang yang nama maskapainya serupa dengan nama Kerajaan yang pernah berjaya di pulau Sumatera.
Penerbangan sempat delay selama 2 jam hingga sekira pukul 11.00 WIB, namun semua tampak santai duduk-duduk diruang tunggu sebelum boarding pesawat. Diumumkan bagi para penumpang yang pesawatnya mengalami keterlambatan untuk mengambil 'service delight?', namun tampaknya tak satupun awak media yang mengambil kotak yang berisi makanan tersebut.
Lalu, pesawat tiba dan berangkat dari Jakarta menuju bandara Adi Sumarmo, Solo, kami tiba pukul 12.00-an. Di kota yang pernah dipimpin pak Jokowi ini sungguh berbeda dengan di Jakarta. Tampak jalan-jalan raya begitu sepi, tidak seperti di Jakarta yang penuh sesak dengan kendaraan bermotor. Selain itu, terdapat rel kereta (sepertinya MRT) yang terlihat di pinggir jalan raya utama.
Yap, nuansa kota budaya memang terasa di kota ini, begitu juga dari logat orang setempat yang 'medoq' dengan bahasa Jawanya. Kalau tidak salah makanan khas di kota ini adalah nasi liwet, sebab kami disuguhi dengan hidangan tersebut pada acara utama yang digelar pihak operator di sebuah tempat makan yang nama belakangnya 'sinten', penulis lupa.
Kemudian, kami meneruskan perjalanan hingga ke Yogyakarta, mengunjungi salah satu menara BTS yang telah dimodernisasi di daerah Kaliurang, Yogyakarta. Akan tetapi, di kota Gudeg ini kami tidak berkesempatan untuk bisa mengunjungi jalan yang paling terkenal di Yogyakarta, yaitu Malioboro. Sebab, jadwal padat, kalau pun bisa, itu dilakukan saat awak media sudah check-in di hotel, namun kondisi sudah malam dan melelahkan. Sehingga, lebih baik beristirahat untuk petualangan berikutnya.
*****
(Foto: Dokumen Pribadi)
Biasanya, ketika liputan luar kota, bos senantiasa menyuruh prajuritnya untuk tidak hanya menginformasikan seputar 'apa' yang terjadi di lokasi maupun peristiwa apa yang layak untuk diberitakan. Namun, 'senior' ini biasanya mengatakan bahwa seyogianya membuat karya tulis feature ('bagaimana') mengenai hal menarik yang ditemukan di lapangan.
Tema acara utama dari pihak pengundang 'si operator warna kuning' mungkin tampak agak kurang menarik untuk dijadikan tulisan panjang mendalam. Maka, sisi lain yang penulis suka ialah, menikmati sepanjang perjalanan, mencicipi kuliner dan merasakan langsung aroma petualangan dan kemudian mengemasnya menjadi tulisan komprehensif bergaya feature dalam blog pribadi.
Tiba di bandara Jakarta sekitar pukul 07.15-an WIB setelah menaiki DAMRI dengan ongkos Rp25.000 dari terminal pasar minggu (sekitar pukul 06.00 WIB), suasanya sudah ramai dengan dipenuhi manusia-manusia yang 'mobile' serta para pengantar. Selepas subuh berangkat tak sempat menyantap sarapan, maka sebelum jam berkumpul tiba, penulis bergerak mencari tempat makanan yang tidak asing di terminal 1B, Soeta.
Buat lidah asli orang Indonesia, mungkin nasi adalah makanan pokok yang 'wajib' untuk mencapai klimaks kenyang. Setelah berputar-putar, dan mencari tempat makan yang ada nasi, maka 'American Warteg' tampaknya cocok menjadi pilihan dengan hidangan ayamnya. Padahal, tak biasa menyantap ayam tepung khas, nasi, soto, minuman soda (paket seharga Rp35.000-an) dengan banderol berlipat dari makan siang biasa.
Setelah berkumpul bersama sekitar 10 awak media yang lain, sayang tak satupun penulis kenal dengan mereka. Namun, beberapa tampak tidak asing walau baru pertama bertemu, sebab mereka satu aliran media mainstream dengan penulis. Kami pun akhirnya terbang menuju Solo menggunakan pesawat terbang yang nama maskapainya serupa dengan nama Kerajaan yang pernah berjaya di pulau Sumatera.
Penerbangan sempat delay selama 2 jam hingga sekira pukul 11.00 WIB, namun semua tampak santai duduk-duduk diruang tunggu sebelum boarding pesawat. Diumumkan bagi para penumpang yang pesawatnya mengalami keterlambatan untuk mengambil 'service delight?', namun tampaknya tak satupun awak media yang mengambil kotak yang berisi makanan tersebut.
Lalu, pesawat tiba dan berangkat dari Jakarta menuju bandara Adi Sumarmo, Solo, kami tiba pukul 12.00-an. Di kota yang pernah dipimpin pak Jokowi ini sungguh berbeda dengan di Jakarta. Tampak jalan-jalan raya begitu sepi, tidak seperti di Jakarta yang penuh sesak dengan kendaraan bermotor. Selain itu, terdapat rel kereta (sepertinya MRT) yang terlihat di pinggir jalan raya utama.
Yap, nuansa kota budaya memang terasa di kota ini, begitu juga dari logat orang setempat yang 'medoq' dengan bahasa Jawanya. Kalau tidak salah makanan khas di kota ini adalah nasi liwet, sebab kami disuguhi dengan hidangan tersebut pada acara utama yang digelar pihak operator di sebuah tempat makan yang nama belakangnya 'sinten', penulis lupa.
Kemudian, kami meneruskan perjalanan hingga ke Yogyakarta, mengunjungi salah satu menara BTS yang telah dimodernisasi di daerah Kaliurang, Yogyakarta. Akan tetapi, di kota Gudeg ini kami tidak berkesempatan untuk bisa mengunjungi jalan yang paling terkenal di Yogyakarta, yaitu Malioboro. Sebab, jadwal padat, kalau pun bisa, itu dilakukan saat awak media sudah check-in di hotel, namun kondisi sudah malam dan melelahkan. Sehingga, lebih baik beristirahat untuk petualangan berikutnya.
*****
(Foto: Dokumen Pribadi)
Comments
Post a Comment