Biar langit kamar yang menjadi saksi atas diketuknya satu demi satu tombol keyboard ini. Merangkai sebuah kisah lalu yang perlahan mulai meninggalkan jejak.
Baru beberapa pekan lalu, seorang teman hendak mengundang ke acara pernikahan dirinya. Ia berkata, untuk jangan sungkan hadir beserta 'harim', yang notabene adalah orang terdekat yang diharapkan kelak bisa bersama-sama 'gantian' mengundang si empunya hajat.
Namun, segalanya tampak berbeda. Ketika atmosfer perjalinan memang dirasa cukup mengkhawatirkan, seolah berada di ujung tanduk yang menghantarkan pada sebuah kata yang sesungguhnya tak sanggup diungkapkan. Upaya untuk memperbaiki keadaan rasanya tak lagi mendapat sambutan yang relevan.
Hingga kata itu akhirnya tersampaikan, rasanya tak mampu lagi untuk membendung. Entah mengapa menjadi begitu ringan untuk dilepaskan. Adanya perbedaan mendasar memang menyolok stamina hubungan, hingga jalan terbaik pun disepakati tanpa paksaan.
Pilu memang, namun tersadar justru inilah jalan terbaik. Mungkin impian yang dibangun mulai meredup, bagai lilin kecil yang terombang-ambing di lautan keterasingan.
Menyisakan kepingan memori kecil, yang terkadang terngiang kembali melalui kilas foto maupun teks tulisan digital. Mengapa? Segalanya drastis berubah hanya dalam hitungan bulan.
Berkaca pada diri mungkin satu-satunya aktivitas tak terlihat yang mampu menemukan keberadaan kesalahan. Ingin rasanya menemukan satu titik elemen dominan yang mampu menguatkan azzam.
Agaknya, perputaran masalah serupa yang kembali lagi-lagi ditemukan kian menyandera asa untuk berpikir lebih tajam. Mungkin hanya ada di dalam dunia perandaian terkait ekspektasi yang bisa ditegakkan.
Paradigma individu yang satu dengan yang lain belum tentu sama. Itu yang menjadi biangkeladi dari timbulnya berbagai perselisihan.
Yap, mungkin api harapan tampak berkurang, meskipun masih bisa dilestarikan melalui interaksi dan kehangatan wajar keseharian. Namun, mozaik api harapan itu telah terhunus padam melalui perkataannya bahwa begitu singkat 'masa transisi' dari kesendirian.
*****
Ilustrasi (Foto: Merdeka)
Baru beberapa pekan lalu, seorang teman hendak mengundang ke acara pernikahan dirinya. Ia berkata, untuk jangan sungkan hadir beserta 'harim', yang notabene adalah orang terdekat yang diharapkan kelak bisa bersama-sama 'gantian' mengundang si empunya hajat.
Namun, segalanya tampak berbeda. Ketika atmosfer perjalinan memang dirasa cukup mengkhawatirkan, seolah berada di ujung tanduk yang menghantarkan pada sebuah kata yang sesungguhnya tak sanggup diungkapkan. Upaya untuk memperbaiki keadaan rasanya tak lagi mendapat sambutan yang relevan.
Hingga kata itu akhirnya tersampaikan, rasanya tak mampu lagi untuk membendung. Entah mengapa menjadi begitu ringan untuk dilepaskan. Adanya perbedaan mendasar memang menyolok stamina hubungan, hingga jalan terbaik pun disepakati tanpa paksaan.
Pilu memang, namun tersadar justru inilah jalan terbaik. Mungkin impian yang dibangun mulai meredup, bagai lilin kecil yang terombang-ambing di lautan keterasingan.
Menyisakan kepingan memori kecil, yang terkadang terngiang kembali melalui kilas foto maupun teks tulisan digital. Mengapa? Segalanya drastis berubah hanya dalam hitungan bulan.
Berkaca pada diri mungkin satu-satunya aktivitas tak terlihat yang mampu menemukan keberadaan kesalahan. Ingin rasanya menemukan satu titik elemen dominan yang mampu menguatkan azzam.
Agaknya, perputaran masalah serupa yang kembali lagi-lagi ditemukan kian menyandera asa untuk berpikir lebih tajam. Mungkin hanya ada di dalam dunia perandaian terkait ekspektasi yang bisa ditegakkan.
Paradigma individu yang satu dengan yang lain belum tentu sama. Itu yang menjadi biangkeladi dari timbulnya berbagai perselisihan.
Yap, mungkin api harapan tampak berkurang, meskipun masih bisa dilestarikan melalui interaksi dan kehangatan wajar keseharian. Namun, mozaik api harapan itu telah terhunus padam melalui perkataannya bahwa begitu singkat 'masa transisi' dari kesendirian.
*****
Ilustrasi (Foto: Merdeka)
Comments
Post a Comment