Yap, jam beker menunjukkan sudah pukul 01.45 menit. Entah angin apa yang menyebabkan rasa kantuk ini hilang. Suatu hal yang terkadang menjadi bahan pikiran internal, mengapa "pasang surut" ini selalu muncul. Saat strata kondisi hati telah berada dalam puncak tertingginya, tiba-tiba ia merosot drastis turun. Terkadang jiwa mampu meredam benturan kedrastisan tersebut walau memang memerlukan waktu dan respon dari luar.
Seperti sirkuit mobil balap F1, akan selalu berputar di area yang sama. Nahasnya, belum clear problema yang satu, namun telah dikaburkan dengan bahasan lain yang tak menuntaskan bahasan sebelumnya. Dan, suatu ketika laju akan mengarah kembali ke masalah yang serupa. Interaksi two-way seolah tak mampu lagi bersinergi dengan relung hati masing-masing. Bahkan, kendaraan ini tampak "samar" untuk bisa mencari di mana letak garis finish, selama keraguan masih terus menghantui.
Tampak 'di ujung tanduk', saat keterbukaan rasanya menjadi barang langka. Prinsip yang berbeda memang seringkali menuai 'bentrokan' kecil, yang bisa saja menjadi problem besar bila tak segera dicari jalan keluarnya. Terlebih, bila tanda-tanda keraguan justru lebih mendominasi ketimbang saling percaya satu sama lain. Di balik ketersembunyian itu, wajar bila lahir spekulasi demi spekulasi. Dugaan ini yang perlahan menjadi pelatuk bagi timbulnya keterdiaman.
Rasanya semakin terkikis, ketika deburan sikap yang tak ubahnya menganggap diri sebagai sosok yang "tidak lagi luar biasa". Meski kata maaf telah terucap, umpan balik yang dilontarkan belum mampu untuk menyejukkan. Ikhlas, bila memang harus tegar menerima kenyataan bahwa 'langit tak selamanya biru' dan merelakkan sesuatu yang sesungguhnya belum menjadi hak milik secara resmi.
Pertanyaan yang bergandeng dengan perumpamaan seperti memercik 'kode' yang mengarah pada konteks penyurutan 'tujuan' jangka panjang, walau cepat atau lambat. Semakin mengerucut, pertanda demi pertanda yang semakin mencuat.
Lagi-lagi paradigma berpengaruh kuat sebagai bangunan fundamental. Seyogianya seseorang tetap menganut paham konservatif selagi dia yakin bahwa hal tersebutlah yang mampu mendamaikan.
Yap, sedikit menuangkan sesuatu yang ingin dituang. Secuil kehampaan tiba-tiba mampir yang mentenagai diri untuk lebih senang menyendiri, tanpa hingar-bingar apapun yang terdengar dari luar.
Senang menyendiri bukan hanya pengaruh dari hal-hal di luar, tetapi cenderung gemar berkaca pada segala hal tentang diri.
Meskipun bersifat temporer, namun gejala 'kesunyian' ini ada baiknya sebagai momen untuk perenungan. Memang seringkali ada pemicu untuk bisa sampai pada kondisi ini, di mana rasanya tiada satupun yang bisa menemani kecuali Sang Maha Pembolak-balik hati, dan kelak sosok shalehah, yang sekaligus 'pengobat' gundah.
Saat kondisi terasa hampa seperti saat ini, jangankan berpikir bisa 'happy-happy', yang ada selalu teringat tentang kematian, pemutus segala sesuatu kecuali amal, ilmu dan do'a anak shalehah. Pada kondisi tertentu, bahkan menyendiri itu jauh lebih nikmat dari apapun.
Nyaris tak ada waktu untuk menyempatkan diri tunduk bersimpuh di atas sajadah panjang ketika tengah malam atau sepertiga malam. Sama seperti hari-hari yang lain, bila pun ada kesempatan, euforia nikmatnya 'hiburan' duniawi lebih mampu mendominasi.
Tanpa bermaksud mencoreng niat, harapan yang dibarengi dengan interaksi dan komunikasi pun perlu, walau tentu dalam batasan yang wajar. Mungkin satu berbanding seribu 'kisah manis' di era modernisasi ini yang benar-benar persis cerita Ali dengan Fatimah Azzahra.
Hanya Sang Maha Kuasa-lah yang berkehendak atas segala sesuatu. Manusia hanya bisa berikhtiar, berdoa dan memohon petunjuk-Nya.
Yap, jam beker menunjukkan pukul 02.45. Semoga ada hikmah dan jawaban terbaik-Nya.
*****
(Foto: nyari di internet)
Comments
Post a Comment