Tertuai sebuah hasil dari apa yang dikerjakan selama beberapa waktu tertentu. Perjalanan waktu seolah memberi jawaban-jawaban kecil untuk mimpi-mimpi yang besar. Entah di mana letak afeksi, yang sejatinya bisa mencuat untuk mengindahkan idealisme konvensional. Sebuah penabrakan paradigma membenturkan cara pandang dari dua insan manusia yang berbeda. Saya sungguh tak mengerti bagaimana menyatukan dua kepala yang memiliki gagasan dan pendirian yang berbeda.
Oh ya, selain kepala yang berbeda, hati manusia yang dinamispun juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Semakin rumit dan runyam, entah di mana belum ditemukan juga solusi serta jalan tengah yang mampu menyamankan sebuah upaya menuju puncak dari perencanaan besar.
Saya sedih sekaligus bersyukur, banyak peristiwa yang mengonstruksi hati dan pikiran. Mulai dari kegagalan merajut dan membina hubungan dengan beda jenis, yang menempa diri untuk membentuk keyakinan bahwa kelak Allah SWT akan pertemukan sosok yang bisa mengerti keadaan dan diri, hingga penanaman idealisme mengenai sudut pandang makna cinta dalam kacamata Islam.
Dilema, saat rasanya sudah berjanji tak ingin mengulang kegagalan, bahkan tak tanggung memantapkan hati untuk tak lagi menjalin status 'penjajakan' sebelum benar-benar segala kesiapan telah terbentuk rapi dan matang. Belepotan, saat mengurus diri sendiri saja masih belum sempurna, namun sudah berani "menepuk air" secara prematur. Riak air ini yang harus ditenangkan bersama, bila riak semakin kuat dan tak mampu tertangani, maka ia bisa semakin keruh.
Perbedaan cara pandang itu biasa, yang tampak luar biasa adalah ikhlas menerima segala kekurangan. Prinsip adalah penuntun langkah yang terpatri tanpa mudah tergoyahkan. Bila tak lagi sejalan atau sevisi dan saling mengunggulkan ego masing-masing, mungkin kendaraan asa menunjukkan indikator hendak berhenti.
Berpikir mendalam bagaimana caranya menjadi seorang pemimpin keluarga yang baik, bukan dengan lantas memberikan segalanya untuk dicap sebagai "calon idaman". Saya teringat dan mengerti sebuah kisah nyata bagaimana seorang pria pada akhirnya pergi, karena merasa terkungkung dalam kubangan situasi ketidaknyamanan.
Saya baru bisa bilang cinta itu abstrak, rasa sayang itu rancu dan rasa suka itu adalah ambigu sebelum terjerat langsung dalam tali pernikahan yang sah. Tentu tanpa paksaan dari siapapun, tanpa tekanan dari siapapun serta memang merupakan pilihan-Nya, bukan pilihan siapapun.
Spekulasi yang terniatkan akhirnya terlaksana, maka seorang ksatria harus dapat menerima segala konsekuensi. Perang sedang berlangsung dengan bersenjatakan iman dan harapan. Bila penilaian karakteristik menunjukkan tingkat kemantapan, boleh jadi saatnya memasang telinga untuk mendengar, menggunakan hati untuk melihat, serta mencermati segala rintik-rintik interaksi dan komunikasi keseharian.
Berharap tak ada kata bimbang dalam kamus percintaan, namun semua tetap didasarkan pada detik yang berdetak konstan, hingga waktu yang menunjukkan progres kemantapan. Sepintas menghirup udara bebas jauh lebih segar ketimbang berkutat dalam debat kusir yang tak menentu arahnya.
Apakah ini sebuah pertanda?
*****
Ilustrasi (Foto: 'nyari di internet')
Comments
Post a Comment