Musik bisa jadi selingan untuk menyalurkan energi positip sekaligus hobi sebagai bentuk hiburan sederhana. Dari sekian jenis alat musik, ternyata ada satu alat musik yang paling menarik, tak bisa disepelekan, dan yang sebelumnya terlihat biasa saja, menjadi luar biasa ketika sudah mencobanya.
Bermula dari kumpul bersama teman. Tak perlu muluk menjadi populer dan kemudian terkenal, kami yang ketika itu masih duduk di bangku SMA, memiliki keinginan untuk bisa tampil di acara perpisahan sekolah. Posisi instrumen musik apapun bisa diembat, namun ada satu alat musik yang memang tak banyak yang bisa memainkannya. Berbekal otodidak, logika ketak-ketuk dan menempatkan diri di posisi tersebut lantaran seorang teman yang tak lagi bergabung dalam grup di posisi alat musik pukul tersebut, maka drum menjadi alat musik yang pernah dicicipi beberapa kali di kurang dari 1 dekade lalu.
Drum, alat musik pukul yang memerlukan stamina ekstra ini sempat dijajal dan kami tampil bersama di panggung perpisahan SMA di kota Bogor. Duduk di bangku kuliah, menyalurkan hobi serta kumpul dengan teman memungkinkan untuk kembali bergelut dengan alat musik. Kali ini, semua posisi alat musik instrumen telah dipegang oleh beberapa teman. Hanya satu alat musik yang lagi-lagi tak banyak yang "menyentuh" alat musik tersebut.
Guna tetap berada dalam grup musik yang sifatnya temporer, yakni hanya untuk tampil di panggung sebuah event musik kampus, kami giat berlatih di studio yang tak jauh dari kampus. Meskipun sempat menjajal Bass, namun berikutnya tetap memegang alat musik tekan, yakni keyboard. Bersyukur, sebuah rezeki datang yang memungkinkan membeli sebuah perangkat keyboard baru. Ketika itu, yang penting bisa belajar dulu dan orang tua pun lebih mendukung dibandingkan membeli perangkat gitar elektrik, yang notabene tampaknya hanya dinikmati di telinga sendiri.
Sementara keyboard, dengan dukungan disket dan variasi musik lebih kaya, maka keyboard menjadi alat musik "mewah" pertama yang pernah dimiliki. Brand Yamaha menjadi pilihan, dengan seri PSR 450 yang kala itu masih baru dan masih dibanderol dengan harga yang cukup melangit. Kini, selang 3 atau 4 tahun pasca dibelinya keyboard Yamaha PSR 450, harga jual untuk tuker tambah PSR 450 second pun merosot drastis dengan selisih "balik modal" 30 persenan dari harga pertama beli.
Keyboard PSR 450 telah lama menemani selama 3 sampai 4 tahun. Perangkat keyboard ini juga telah menjadi alat musik instrumen belajaran yang membuat pemiliknya kini memilih untuk membeli perangkat baru. Bukan keyboard dengan fasilitas 5 oktaf, tetapi piano digital dengan standar graded hammer persis grand piano aslinya.
Keinginan membeli digital piano ini pun semakin terpacu, ketika di event kelulusan alias wisuda, penulis mencoba memainkan grand piano yang tengah nganggur di samping podium aula. Gemes, mungkin kata ini yang tepat untuk menggambarkan, bagaimana diri ini ingin sekali memainkan salah satu musik instrumental Original Sound Track Final Fantasy 8, Eyes On Me, yang biasanya lancar dengan fasih dimainkan di keyboard rumah, tetapi justru menjadi blank total ketika jari menyentuh tuts grand piano yang sebenarnya.
Padahal, di aula sebesar itu, yang letaknya ada di ibu kota Jakarta, JCC, bisa menjadi momen yang tepat untuk perform-perform'an. Nahas, 25 Oktober 2011, masih diingat pertama kali menyentuh tuts grand piano malah tak bisa memainkan instrumen lagu soundtrack game PS petualangan tersebut. Sedikit geram, bila diteruskan permainan jari yang "asal-asalan" malah dapat mengakibatkan stres di tempat. Dengan berlapang dada, permainan dihentikan dan membiarkan grand piano itu menganggur begitu saja.
Bukan bermaksud menyimpan dendam, namun keinginan itu kian hari semakin membuncah hebat. Sedikit bertanya dalam hati, kok beda ya keyboard dengan piano beneran? dari segi tuts pun berbeda, nada, sentuhan, suara, bentuk fisik tuts, jumlah tuts dan sebagainya. Keinginan kuat pun terbentuk untuk suatu waktu alat musik tekan itu akan bisa dimainkan dengan lancar.
Meskipun bukan grand piano sungguhan, melihat di YouTube dan terinspirasi dari berbagai informasi, ternyata digital piano pun tampak lebih affordable. Selain terjangkau, digital piano yang pada akhirnya memilih Yamaha Digital Piano Arius 141 adalah pilihan cerdas. Graded hammer, tuts serupa dengan grand piano, dilengkapi 3 buah pedal serupa dengan grand piano, sentuhan rasa tuts dengan jumlah tuts standar grand piano dan audio yang persis grand piano, Yamaha Digital Piano alias YDP Arius 141 menjadi pilihan.
Kini, alat musik tersebut bertengger untuk dapat dimainkan kapanpun. Tercapai keinginan untuk membeli YDP Arius 141 dengan hasil uang keringat sendiri. Dengan demikian, latihan, mencoba main lagu Eyes On Me dan lain-lain bisa dilakukan apabila terdapat waktu luang. YDP 141, memang the best bagi pemula. Dengan banderol harga yang "segitu", ternyata terendah ketimbang harga seri Arius atau seri digital piano Yamaha lainnya.
Selamat mencicipi dan berlatih di YDP Arius 141. Selamat Datang 'Kawan Hitam'.
*****
(Semua Foto: Doc. Pribadi)
Bermula dari kumpul bersama teman. Tak perlu muluk menjadi populer dan kemudian terkenal, kami yang ketika itu masih duduk di bangku SMA, memiliki keinginan untuk bisa tampil di acara perpisahan sekolah. Posisi instrumen musik apapun bisa diembat, namun ada satu alat musik yang memang tak banyak yang bisa memainkannya. Berbekal otodidak, logika ketak-ketuk dan menempatkan diri di posisi tersebut lantaran seorang teman yang tak lagi bergabung dalam grup di posisi alat musik pukul tersebut, maka drum menjadi alat musik yang pernah dicicipi beberapa kali di kurang dari 1 dekade lalu.
Drum, alat musik pukul yang memerlukan stamina ekstra ini sempat dijajal dan kami tampil bersama di panggung perpisahan SMA di kota Bogor. Duduk di bangku kuliah, menyalurkan hobi serta kumpul dengan teman memungkinkan untuk kembali bergelut dengan alat musik. Kali ini, semua posisi alat musik instrumen telah dipegang oleh beberapa teman. Hanya satu alat musik yang lagi-lagi tak banyak yang "menyentuh" alat musik tersebut.
Guna tetap berada dalam grup musik yang sifatnya temporer, yakni hanya untuk tampil di panggung sebuah event musik kampus, kami giat berlatih di studio yang tak jauh dari kampus. Meskipun sempat menjajal Bass, namun berikutnya tetap memegang alat musik tekan, yakni keyboard. Bersyukur, sebuah rezeki datang yang memungkinkan membeli sebuah perangkat keyboard baru. Ketika itu, yang penting bisa belajar dulu dan orang tua pun lebih mendukung dibandingkan membeli perangkat gitar elektrik, yang notabene tampaknya hanya dinikmati di telinga sendiri.
Sementara keyboard, dengan dukungan disket dan variasi musik lebih kaya, maka keyboard menjadi alat musik "mewah" pertama yang pernah dimiliki. Brand Yamaha menjadi pilihan, dengan seri PSR 450 yang kala itu masih baru dan masih dibanderol dengan harga yang cukup melangit. Kini, selang 3 atau 4 tahun pasca dibelinya keyboard Yamaha PSR 450, harga jual untuk tuker tambah PSR 450 second pun merosot drastis dengan selisih "balik modal" 30 persenan dari harga pertama beli.
Keyboard PSR 450 telah lama menemani selama 3 sampai 4 tahun. Perangkat keyboard ini juga telah menjadi alat musik instrumen belajaran yang membuat pemiliknya kini memilih untuk membeli perangkat baru. Bukan keyboard dengan fasilitas 5 oktaf, tetapi piano digital dengan standar graded hammer persis grand piano aslinya.
Keinginan membeli digital piano ini pun semakin terpacu, ketika di event kelulusan alias wisuda, penulis mencoba memainkan grand piano yang tengah nganggur di samping podium aula. Gemes, mungkin kata ini yang tepat untuk menggambarkan, bagaimana diri ini ingin sekali memainkan salah satu musik instrumental Original Sound Track Final Fantasy 8, Eyes On Me, yang biasanya lancar dengan fasih dimainkan di keyboard rumah, tetapi justru menjadi blank total ketika jari menyentuh tuts grand piano yang sebenarnya.
Padahal, di aula sebesar itu, yang letaknya ada di ibu kota Jakarta, JCC, bisa menjadi momen yang tepat untuk perform-perform'an. Nahas, 25 Oktober 2011, masih diingat pertama kali menyentuh tuts grand piano malah tak bisa memainkan instrumen lagu soundtrack game PS petualangan tersebut. Sedikit geram, bila diteruskan permainan jari yang "asal-asalan" malah dapat mengakibatkan stres di tempat. Dengan berlapang dada, permainan dihentikan dan membiarkan grand piano itu menganggur begitu saja.
Bukan bermaksud menyimpan dendam, namun keinginan itu kian hari semakin membuncah hebat. Sedikit bertanya dalam hati, kok beda ya keyboard dengan piano beneran? dari segi tuts pun berbeda, nada, sentuhan, suara, bentuk fisik tuts, jumlah tuts dan sebagainya. Keinginan kuat pun terbentuk untuk suatu waktu alat musik tekan itu akan bisa dimainkan dengan lancar.
Meskipun bukan grand piano sungguhan, melihat di YouTube dan terinspirasi dari berbagai informasi, ternyata digital piano pun tampak lebih affordable. Selain terjangkau, digital piano yang pada akhirnya memilih Yamaha Digital Piano Arius 141 adalah pilihan cerdas. Graded hammer, tuts serupa dengan grand piano, dilengkapi 3 buah pedal serupa dengan grand piano, sentuhan rasa tuts dengan jumlah tuts standar grand piano dan audio yang persis grand piano, Yamaha Digital Piano alias YDP Arius 141 menjadi pilihan.
Kini, alat musik tersebut bertengger untuk dapat dimainkan kapanpun. Tercapai keinginan untuk membeli YDP Arius 141 dengan hasil uang keringat sendiri. Dengan demikian, latihan, mencoba main lagu Eyes On Me dan lain-lain bisa dilakukan apabila terdapat waktu luang. YDP 141, memang the best bagi pemula. Dengan banderol harga yang "segitu", ternyata terendah ketimbang harga seri Arius atau seri digital piano Yamaha lainnya.
Selamat mencicipi dan berlatih di YDP Arius 141. Selamat Datang 'Kawan Hitam'.
*****
(Semua Foto: Doc. Pribadi)
Comments
Post a Comment