Keberangkatan pulang kembali ke Jakarta menjadi sesuatu yang paling dinantikan. Berlama-lama di kota wisata Bali juga rasanya tidak begitu menjadi hal yang krusial. Beruntung, setidaknya ada pengalaman yang bisa di-share baik untuk diri sendiri maupun teman. Salah satu caranya berbagi cerita, ya dengan tulisan bebas semacam ini.
Menaiki Garuda Indonesia untuk kesekian kalinya, maskapai ini entah mengapa rasanya Indonesia banget. Mungkin karena nama maskapainya yang langsung menggunakan kata "Indonesia", berbeda dengan Lion Air, Air Asia dan sebagainya, yang dari penamaannya tampak lebih "asing" di telinga.
Suasana di Bandara Ngurah Rai yang tengah direnovasi cukup padat. Beberapa wisatawan kembali pulang ke domisilinya masing-masing. Kali ini kami harus menunggu selama lebih dari 1 jam, mulai dari pukul sekira 10.00 WITA sampai 11.30 WITA untuk boarding pesawat. Kami berlima (awak media), mulai dari paling kiri ke kanan, Dipta dari majalah Trax, Ichsan dari Kompas.com, Dwi dari majalah GoGirl, Nungki dari koran Jawa Pos serta sebelahnya lagi yang tak perlu disebutkan namanya, hehe.
Di dalam pesawat Boeing 737, ketika boarding, terdengar lantunan melodi simfoni khas Tanah Air. Musik instrumental tersebut terdengar akrab di telinga dan santai. Alunan musik dengan instrumen nada orkestra "tanah air ku tidak ku lupakan, kan ku kenang selama hidupku" mencirikan keelokan Nusantara.
Berada di dalam pesawat, tentu mata secara sengaja ataupun tidak, memandang wajah pramugari yang tengah bertugas. Rasanya tak habis pikir, bagian personalia atau perekrut pegawai/pramugari pesawat terbang pasti sangat memperhatikan detail penampilan fisik, baik dari wajah serta tinggi badan.
Yang paling teringat ialah, pramugari bernama Suci, yang memperkenalkan dirinya ketika menjelaskan tata cara keselamatan dalam pesawat terbang. Mencoba menerka, usia pramugari Garuda Indonesia dengan pakaian kebaya orange ini masih di kisaran 24 - 28 tahun.
Usia yang muda, meskipun beberapa diantara para pramugari ini juga ada yang tampak lebih senior. Ketika pesawat telah lepas landas dan mengudara, ada sedikit hal menarik. Salah seorang pramugari yang melayani penumpang pesawat, menggunakan kereta dorong (minuman dan makanan) untuk memberikan makanan. Tiba saatnya ia akan menghampiri dan menawarkan mau hidangan utama nasi + ayam atau nasi + ikan? Namun, sebelum ia bertanya ke deretan kursi penumpang kami di baris nomor 17, ia tengah sibuk melayani penumpang yang duduk di satu baris di depan kami.
Tiba-tiba, plastik penutup hidangan dessert (kue krim) terjatuh di lantai pesawat tanpa disengaja. Melihat terjatuhnya penutup itu, atas inisiatif sendiri, penulis mengambil dan memberikannya kepada pramugari tersebut.
Nah, giliran barisan kursi penumpang kami (awak media) yang dilayani oleh pramugari tersebut. Sekilas, wajah pramugari ini mirip artis Sandra Dewi jogress Tina Toon (saat ini). Sebelum bertanya hidangan apa yang ingin kami santap, dia terlebih dahulu menurunkan meja lipat penumpang, khusus yang ada di depan penulis. Ketika itu, penulis duduk di kursi penumpang di bagian pinggir (bukan pinggir kaca, melainkan di pinggir dekat berdirinya pramugari tersebut).
Entah apa memang seperti demikian ia melayani setiap penumpang yang duduknya berada ditepi. Positif thinking saja, dan ia pun bertanya tentang minuman apa diinginkan kepada kami. Kemudian, ia meletakkan minuman jus jambu pilihan di meja lipat khusus penulis, sementara untuk dua penumpang lainnya (ditengah dan dipinggir kaca), pramugari tersebut hanya mempersilakan keduanya untuk mengambil sendiri melalui sebuah taplak/baki yang ia pegang.
Gerangan apa yang membuatnya jadi terlihat begitu ramah. Khayalan tingkat tinggi yang sempat terbesit memang harus segera dibasmi. Rupa jelita memang terkadang membuat was-was. Namun ini hanya terjadi dalam hitungan menit, dan mungkin peristiwa ini hanya selewatan saja. Kemudian, ia pun berlanjut melayani penumpang di barisan penumpang selanjutnya.
Tiba di Jakarta
Setibanya di Jakarta pukul 13.10 WIB. Hari jumat, 4 Januari 2013, shalat Jumat terlewati kembali, sama seperti sebelumnya ketika ada undangan media trip di kota gudeg beberapa waktu lalu. Pulang di hari Jumat siang memang kurang tepat.
Setelah bertemu dengan public relation perusahaan pengundang dan makan di fast food, kami semua berpamitan. Niat dari awal sudah ingin pulang menggunakan kendaraan umum secara mandiri, tidak dengan kendaraan perusahaan pengundang yang mau berbaik hati mengantar menggunakan mobil hingga sampai di rumah.
Waktu tidak memungkinkan untuk shalat Jumat, karena pihak pengundang telah menetapkan tiket pesawat di jam shalat Jumat, sebelum menuju bus Damri, penulis bergegas mencari mushola di bandara Soekarno Hatta untuk menunaikan shalat dzuhur (pengganti shalat Jumat). Lokasi tempat shalat ini berada di lantai atas (entah di terminal berapa), yang pasti dekat dengan pintu keluar dari lobi bandara, tinggal jalan kaki ke arah loket bus Damri, nah di sebelah kiri ada tangga ke atas, menuju mushola.
Beres shalat, menuju loket bus Damri untuk membeli tiket menuju stasiun Gambir. Alternatif kendaraan pulang ke rumah memang beragam, hanya saja pilihan terbaik memang tidak harus menunggangi taksi, tetapi dengan menggunakan jasa kereta api. Sebab, barang bawaan tidak terlalu merepotkan dan lebih "ramah isi dompet" apabila menggunakan jasa kereta api.
Menaiki bus Damri dari bandara Soekarno Hatta ke stasiun Gambir, ditempuh dalam waktu lebih kurang 90 menit. Dari stasiun Gambir, karena tidak ada kereta Commuter Line atau KRL yang berhenti di stasiu bercat hijau tersebut, maka berlanjut dengan menggunakan ojeg menuju stasiun Gondangdia.
Menggunakan kendaraan bermotor roda dua tersebut, ongkos hanya keluar Rp15 ribu dengan waktu tempuh tak lebih dari 15 menit dari stasiun Gambir ke stasiun Gondangdia. Tiba di stasiun Gondangdia, lalu berlanjut menggunakan kereta api Commuter Line dengan harga tiket Rp9 ribu menuju ke arah stasiun Bogor.
*****
(Foto: Doc. Pribadi)
Menaiki Garuda Indonesia untuk kesekian kalinya, maskapai ini entah mengapa rasanya Indonesia banget. Mungkin karena nama maskapainya yang langsung menggunakan kata "Indonesia", berbeda dengan Lion Air, Air Asia dan sebagainya, yang dari penamaannya tampak lebih "asing" di telinga.
Suasana di Bandara Ngurah Rai yang tengah direnovasi cukup padat. Beberapa wisatawan kembali pulang ke domisilinya masing-masing. Kali ini kami harus menunggu selama lebih dari 1 jam, mulai dari pukul sekira 10.00 WITA sampai 11.30 WITA untuk boarding pesawat. Kami berlima (awak media), mulai dari paling kiri ke kanan, Dipta dari majalah Trax, Ichsan dari Kompas.com, Dwi dari majalah GoGirl, Nungki dari koran Jawa Pos serta sebelahnya lagi yang tak perlu disebutkan namanya, hehe.
Di dalam pesawat Boeing 737, ketika boarding, terdengar lantunan melodi simfoni khas Tanah Air. Musik instrumental tersebut terdengar akrab di telinga dan santai. Alunan musik dengan instrumen nada orkestra "tanah air ku tidak ku lupakan, kan ku kenang selama hidupku" mencirikan keelokan Nusantara.
Berada di dalam pesawat, tentu mata secara sengaja ataupun tidak, memandang wajah pramugari yang tengah bertugas. Rasanya tak habis pikir, bagian personalia atau perekrut pegawai/pramugari pesawat terbang pasti sangat memperhatikan detail penampilan fisik, baik dari wajah serta tinggi badan.
Yang paling teringat ialah, pramugari bernama Suci, yang memperkenalkan dirinya ketika menjelaskan tata cara keselamatan dalam pesawat terbang. Mencoba menerka, usia pramugari Garuda Indonesia dengan pakaian kebaya orange ini masih di kisaran 24 - 28 tahun.
Usia yang muda, meskipun beberapa diantara para pramugari ini juga ada yang tampak lebih senior. Ketika pesawat telah lepas landas dan mengudara, ada sedikit hal menarik. Salah seorang pramugari yang melayani penumpang pesawat, menggunakan kereta dorong (minuman dan makanan) untuk memberikan makanan. Tiba saatnya ia akan menghampiri dan menawarkan mau hidangan utama nasi + ayam atau nasi + ikan? Namun, sebelum ia bertanya ke deretan kursi penumpang kami di baris nomor 17, ia tengah sibuk melayani penumpang yang duduk di satu baris di depan kami.
Tiba-tiba, plastik penutup hidangan dessert (kue krim) terjatuh di lantai pesawat tanpa disengaja. Melihat terjatuhnya penutup itu, atas inisiatif sendiri, penulis mengambil dan memberikannya kepada pramugari tersebut.
Nah, giliran barisan kursi penumpang kami (awak media) yang dilayani oleh pramugari tersebut. Sekilas, wajah pramugari ini mirip artis Sandra Dewi jogress Tina Toon (saat ini). Sebelum bertanya hidangan apa yang ingin kami santap, dia terlebih dahulu menurunkan meja lipat penumpang, khusus yang ada di depan penulis. Ketika itu, penulis duduk di kursi penumpang di bagian pinggir (bukan pinggir kaca, melainkan di pinggir dekat berdirinya pramugari tersebut).
Entah apa memang seperti demikian ia melayani setiap penumpang yang duduknya berada ditepi. Positif thinking saja, dan ia pun bertanya tentang minuman apa diinginkan kepada kami. Kemudian, ia meletakkan minuman jus jambu pilihan di meja lipat khusus penulis, sementara untuk dua penumpang lainnya (ditengah dan dipinggir kaca), pramugari tersebut hanya mempersilakan keduanya untuk mengambil sendiri melalui sebuah taplak/baki yang ia pegang.
Gerangan apa yang membuatnya jadi terlihat begitu ramah. Khayalan tingkat tinggi yang sempat terbesit memang harus segera dibasmi. Rupa jelita memang terkadang membuat was-was. Namun ini hanya terjadi dalam hitungan menit, dan mungkin peristiwa ini hanya selewatan saja. Kemudian, ia pun berlanjut melayani penumpang di barisan penumpang selanjutnya.
Tiba di Jakarta
Setibanya di Jakarta pukul 13.10 WIB. Hari jumat, 4 Januari 2013, shalat Jumat terlewati kembali, sama seperti sebelumnya ketika ada undangan media trip di kota gudeg beberapa waktu lalu. Pulang di hari Jumat siang memang kurang tepat.
Setelah bertemu dengan public relation perusahaan pengundang dan makan di fast food, kami semua berpamitan. Niat dari awal sudah ingin pulang menggunakan kendaraan umum secara mandiri, tidak dengan kendaraan perusahaan pengundang yang mau berbaik hati mengantar menggunakan mobil hingga sampai di rumah.
Waktu tidak memungkinkan untuk shalat Jumat, karena pihak pengundang telah menetapkan tiket pesawat di jam shalat Jumat, sebelum menuju bus Damri, penulis bergegas mencari mushola di bandara Soekarno Hatta untuk menunaikan shalat dzuhur (pengganti shalat Jumat). Lokasi tempat shalat ini berada di lantai atas (entah di terminal berapa), yang pasti dekat dengan pintu keluar dari lobi bandara, tinggal jalan kaki ke arah loket bus Damri, nah di sebelah kiri ada tangga ke atas, menuju mushola.
Beres shalat, menuju loket bus Damri untuk membeli tiket menuju stasiun Gambir. Alternatif kendaraan pulang ke rumah memang beragam, hanya saja pilihan terbaik memang tidak harus menunggangi taksi, tetapi dengan menggunakan jasa kereta api. Sebab, barang bawaan tidak terlalu merepotkan dan lebih "ramah isi dompet" apabila menggunakan jasa kereta api.
Menaiki bus Damri dari bandara Soekarno Hatta ke stasiun Gambir, ditempuh dalam waktu lebih kurang 90 menit. Dari stasiun Gambir, karena tidak ada kereta Commuter Line atau KRL yang berhenti di stasiu bercat hijau tersebut, maka berlanjut dengan menggunakan ojeg menuju stasiun Gondangdia.
Menggunakan kendaraan bermotor roda dua tersebut, ongkos hanya keluar Rp15 ribu dengan waktu tempuh tak lebih dari 15 menit dari stasiun Gambir ke stasiun Gondangdia. Tiba di stasiun Gondangdia, lalu berlanjut menggunakan kereta api Commuter Line dengan harga tiket Rp9 ribu menuju ke arah stasiun Bogor.
*****
(Foto: Doc. Pribadi)
Comments
Post a Comment