Skip to main content

Catatan Seorang yang Katanya Jurnalis (III-Habis)

Inilah yang menjadi alasan mengapa judul dalam blog ini dibuat. So, profesi yang bisa dikatakan luar biasa ini memungkinkan bagi wartawan untuk menjalin komunikasi dengan orang-orang penting, entah itu pejabat pemerintah hingga artis ibukota. Penampilan bak anak kuliahan pun sah-sah saja bertemu dengan pejabat yang mengenakan kemeja berdasi dan jas hitam.

Tidak hanya itu, profesi ini juga bisa sangat menguntungkan, sebab tak jarang di beberapa kesempatan, seorang wartawan bisa mendapatkan doorprize pada event tertentu, tentunya atau biasanya bagi mereka yang memiliki kartu nama, yang diletakkan dalam fish ball atau bejana transparan atau apalah sebutannya.

Hebatnya, saking dinamis dan fleksibelnya, tak perlu memperhatikan kapan Anda masuk, kapan Anda pulang kantor. Eits, karena tak sering, bahkan tampaknya tak umum wartawan bekerja di kantor. Pekerjaan ini adalah pekerjaan lapangan yang membutuhkan mental baja, stamina kuda, hingga tebalnya dompet (uang). Hmm, bagaimana tidak? isi dompet bisa menjadi sebuah hal yang penting ketika seorang wartawan tak memiliki kendaraan bermotor untuk luntang-lantung mengelilingi ibukota, hanya untuk menulis satu atau dua artikel berita yang dibaca oleh sekian ribu bahkan jutaan pembaca.

Maka tak aneh, istilah "wartawan amplop" bisa melekat pada jenis pekerjaan yang satu ini, karena nyatanya, gaji yang diterima tak sebanding dengan pengorbanan mereka ketika di berada lapangan. Mungkin mereka tak mendapatkan imbalan yang setimpal dari perusahaan media, namun tetap mendapatkan sesuatu yang lebih dibandingkan jenis pekerjaan lainnya, yaitu pengalaman, nomor kontak orang-orang penting, mengetahui dan hafal area atau jalanan di ibukota, serta wawasan lainnya. Kendati dalam sisi kode etis, hal ini dilarang, dan memang tidak boleh untuk diterima, karena ini tampak seperti uang sogokan (dalam bahasa kasar). Akan tetapi, realita yang sesungguhnya berkata lain, terkadang uang itu bisa saja masuk ke dalam kantong, karena sebab tertentu yang dibenarkan secara kondisional maupun sosial. Oleh karena itu, sudah saatnya gaji profesi yang satu ini bisa disetarakan dengan gaji anggota DPR, hah? ngimpi kali.

Maka idealisme yang dahulu di-elu-elukan terkadang terkubur, lantaran urusan isi kemasan berwarna putih berbentuk persegi panjang ini bisa sangat menggiurkan. Tak sering memang, karena tak semua perusahaan yang merasa dibantu produk mereka diterbitkan di media tertentu, mereka memberikan reward secara personal pada wartawan dalam bentuk tunai. Beberapa pada akhirnya tak sungkan memberikan hadiah dalam bentuk lain, semisal goodie bag berupa perangkat elektronik, merchandise serta voucher belanja dan sebagainya. Ini sudah sangat umum.

Kenapa harus pusing-pusing? Mungkin pernah terbesit tanya, kan bisa pihak humas perusahaan atau pemerintah yang menyebarkan press release? nah ini yang asyik. Adanya press release bisa membantu seorang reporter untuk mengetahui suatu berita, namun edaran khusus pers ini hanya dikeluarkan pada saat-saat tertentu saja, tak sering dan terkadang kontennya selalu bernilai subjektif.

Mengapa? Karena dalam sebuah press release, humas atau public relation selalu mengumumkan yang baik-baiknya saja terhadap suatu produk maupun kebijakan-kebijakan perusahaan atau pemerintah. Untuk itulah, guna meraih apa yang disebut dengan “kepuasan meraup informasi” , reporter harus rela berjibaku dengan narasumber, menguber dan menyamber mereka, hanya untuk mendapatkan.. BERITA.

Bayangkan setiap media elektronik, cetak atau online, semua digeber dengan press release, tentulah tak ada warung kopi yang dihuni para reporter lapangan untuk saling berdiskusi satu sama lain, membahas isu dan pengembangan berita ke depan. Selain itu, bila realisasinya demikian dengan terus gencarnya press release ini, dijamin seluruh reporter bakal stay cool di kantor, dengan jam kerja yang lebih statis. Bila demikian, tentulah seorang reporter tak pantas dianggap reporter sesungguhnya, bila hanya mengandalkan teks berita jadi yang tinggal disantap. Wartawan adalah, bagaimana Anda berburu informasi. Bahkan, media tertentu mengandalkan aktivitas translasi bahasa, yakni menyadur berita bahasa Inggris menjadi bahasa Indonesia (pada jenis kolom berita tertentu). Oleh sebab itu, ini bisa disebut sebagai profesi tukang terjemah, bukan wartawan alias "yang katanya jurnalis".

Meskipun mustahil semua reporter akan berada terus di kantor seperti PNS, namun press release memang sangat membantu sebagai bahan membuat tulisan atau artikel, terlebih di zaman/era informasi ini, segala serba digital dan ada alat telekomunikasi, press release juga bisa diedarkan melalui email resmi. Bila instrument-instrumen ini dimanfaatkan, maka tak perlu raga lelah menanti kehadiran narasumber, tak perlu risih isi dompet akan berkurang karena ongkos perjalanan dari satu tempat ke tempat lain di jalanan, dan lain-lain. Namun sekali lagi, ini adalah sebuah hal yang tidak mungkin terjadi, setidaknya untuk saat ini.

Setiap media memang memiliki visi atau misi dan target pencapaian masing-masing. Mereka saling berlomba mengembangkan topik, menggarap isu yang paling hangat, membidik angle-angle menarik dan sebagainya. Terkadang, ekslusivitas seolah di-elu-elu kan sedemikian rupa, sehingga, apabila mereka telah mendapatkan sesuatu yang tidak dimiliki media lain, mereka merasa atau mengganggap medianya paling hebat.

Jangan salah, profesi ini memerlukan tingkat intelektualitas tinggi, daya nalar, kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan (yang tulisan sudah barang tentu harus/wajib) serta stamina prima. Sebab, ini tak hanya memeras otak untuk memikirkan suatu peristiwa, tetapi juga fisik yang tetap harus terjaga.

Satu hal yang terlintas dalam benak, mungkin terkait prinsip hidup yang begitu melekat erat. Entah seperti apa yang menjadikan reporter pada media tertentu, seperti media yang bernuansa Islami, itu mampu untuk bertahan, baik reporternya maupun berdirinya media itu sendiri. Mereka pun memiliki ideologi, dengan visi maupun tujuan yang sesuai apa yang diyakini, yakni menginformasikan peristiwa atau edukasi, mengangkat isu-isu hangat dan sebagainya. Namun yang membedakan ialah, tujuan mereka adalah mengajak orang untuk mengingat Sang Pencipta, mengemas artikel menjadi bernilai siraman rohani dan sebagainya.

Berbeda dengan media-media lain yang sarat dengan informasi seputar politik, ekonomi, dan rubrik lainnya. Bahkan, lagi-lagi realita yang ada, berita SAMPAH pun layak tayang, seperti berita yang berbau cabul yang bisa Anda saksikan di media=media tertentu, apalagi memajang foto tak senonoh di bagian headline depan, atau mengubek-ubek pribadi atau rumah tangga seseorang yang katanya artis (infotainment), ini layak masuk dalam kategori news value "ikan teri". Tetapi herannya, jumlah pembaca dan antusiaisme pemirsanya justru meroket. *geleng-geleng

Pernah terpikirkan, berita ya hanya itu-itu saja bergelut dalam kabar duniawi. dan memang hal tersebut tak akan pernah ada habisnya. Mungkin pernah juga terlintas dalam pikiran, mengapa seseorang tetap memutuskan bergelut dalam pekerjaan ini? Seperti yang pernah disinggung di bagian sebelumnya, mereka memiliki kenikmatan tersendiri menjalani hari-hari sebagai wartawan. Yang ternyata memang terbukti memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tak dimiliki oleh jenis pekerjaan yang lain.

Bila sedikit dianalogikan, bila pengusaha warteg menjual berbagai macam makanan, ada lauk pauk, sayur dan sebagainya. Maka, profesi ini hampir serupa dengan pengusaha kuliner tersebut, hanya saja, bukan makanan yang disediakan, tetapi berita yang disajikan.

Dengan demikian, pembaca tinggal pilih, mau menu berita apa? Tertarik dengan informasi apa? dan sebagainya. Saktinya, hanya media online yang memungkinkannya untuk mengetahui berapa banyak pembaca membaca artikel A, B dan C. Sementara di media cetak atau elektronik, diketahui berapa banyak orang yang baca artikel A, B dan C, adalah sesuatu yang ajaib, karena tidak mungkin mensurvei satu per satu pembaca di dunia.

Akan tetapi, dengan unggulnya media online itu sendiri, justru menciptakan suatu kebijakan-kebijakan tertentu yang dianggap mubazir. Bagaimana tidak? Berita menjadi benar-benar selektif untuk dipilah dan dipilih, mana yang harus diterbitkan atau ditampilkan, dan yang tidak. Padahal, ada bagian kolom atau jenis berita untuk menampilkan berita tertentu, namun karena dianggap memiliki jumlah pembaca yang sedikit, maka dibiarkan begitu saja tanpa di-update, ini yang merupakan bentuk kemubaziran. Sekali lagi, ini hanya berlaku di media online.

Belum lagi, rupanya para awak redaksi digenjot untuk mengedepankan kuantitas atau banyaknya berita yang harus dibuat dalam sehari, sedangkan pekerjaan atau tugas lain pun terus menumpuk. Tak heran, profesi ini menyerupai kegiatan kuliah mahasiswa, yakni membawa pulang tugas/PR untuk dikerjakan di rumah atau membawa urusan kantor, menjadi bagian dari pekerjaan rumah.

Realita yang terjadi, para penyandang gelar sarjana atau diploma yang usia gelarnya masih seumur jagung, begitu antusias untuk berkecimpung profesi ini. Yap, menjamur memang fakultas-fakultas yang mendukung bagi para tenaga-tenaga muda untuk bergelut dalam pekerjaan kuli tinta ini. Beberapa dari mereka mampu bertahan hingga bertahun-tahun, ada juga yang baru saja beberapa bulan, tetapi sudah resign, karena tak kuat menghadapi tekanan badai internal maupun eksternal.

Melihat semangat para penggiat yang bekerja di profesi jurnalistik memang patut diacungi jempol. Pasalnya, mereka telah merasakan pahit getirnya di awal masa-masa menjadi seorang wartawan, hingga lingkungan dan profesi yang digelutinya, mampu membentuk karakter mereka, seperti pandai berpikir kritis, berwawasan luas, komunikatif, dan lain-lain.

Sayangnya, tak sedikit dari mereka yang awalnya berkeinginan meraih sandangan "senior" dalam profesi ini, justru malah beralih mencari profesi lain yang lebih terkesan "santai". Sebab, dinamika, jam kerja, serta tanggung jawab yang luar biasa besar yang ada di dalamnya. So, untuk yang senang kerja kantoran atau di dalam ruangan, lebih baik pertimbangkan menggeluti profesi yang satu ini, karena tampak dianggap "aneh" bila profesi wartawan selalu berada di dalam kantor.

Yang membuat berat bagi mereka yang mungkin sudah tak tahan berada dalam kondisi tertekan dalam profesi yang satu ini adalah, mereka enggan meninggalkan kerabat dekat atau teman yang sudah begitu akrab. Bahkan, teman ini tidak hanya dalam satu perusahaan media, tetapi juga dari berbagai media-media yang lainnnya. Di manapun bekerja atau apapun jenis pekerjaannya, kondisi sosial dan lingkungan memang berpengaruh besar untuk membuat Anda tetap bertahan di tempat kerja itu. Salah seorang teman dari media lain pernah berkata, "untuk apa loe tetep bertahan di tempat itu? kalau emang mau resign, cari pekerjaan lain pun ga masalah, jangan dipikirin gimana nasib media loe ke depan, karena mereka juga ga mikirin masa depan loe,". *jleb ga sih?

Tak sedikit pula para penyandang gelar sarjana yang dahulu bergelut dalam mata kuliah jurnalistik, justru menjadi pegawai bank, marketing, surveyor, dosen, desainer, public relation, bahkan PNS. Ingin saya katakan pendidikan strata satu atau diploma hanya membentuk pribadi yang matang, maka setelah mereka sukses mengenakan toga alias lulus, setelah itu ia bebas untuk mencari pekerjaan apapun yang sesuai dengan keinginannya, tentu yang halal. Mungkin ini hanya berlaku di Indonesia, entah di negara lain, tampaknya bila di negara lain, setiap sarjana A, B C atau D, harus sesuai juga dengan pekerjaan A, B, C atau D tersebut.

Kesempatan masih terbuka lebar, bagi yang senang dan siap ikhlas dengan pekerjaan yang satu ini, ada baiknya dicicipi sebagai awal pembelajaran, mencari pengalaman dan membentuk mental yang kuat. Karena memang tidak semua media, menekankan, mengarahkan atau menuntut macam-macam terhadap awak jurnalisnya, ada juga beberapa media yang memberikan "kenyamanan" dengan libur pada sabtu & minggu dan tanggal merah, ada juga yang memberikan kemudahan dengan menyediakan voucher taxi gratis (yang nanti dibayar oleh kantor) serta fasilitas lainnya. Tak semua media online demikian, masing-masing memiliki sisi enak dan tidak enak, selamat memilih pekerjaan.

*****

Ilustrasi (Foto: Mobile-cuisine)

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman mengurus balik nama motor, pajak tahunan dan ganti kaleng (plat) di Samsat Kelapa Dua Tangerang

Sebagai warna negara yang baik, tentu kita perlu untuk memenuhi apa yang diharuskan bagi setiap pemilik kendaraan bermotor, yakni membayar pajak. Oleh karena kini sudah berdomisili di Kabupaten Tangerang, tepatnya di wilayah kecamatan Curug, maka Anda yang beralamat di wilayah tersebut bisa mengurus seperti balik nama kendaraan bermotor, pajak tahunan dan ganti kaleng alias plat di Samsat Induk Kelapa Dua Tangerang. Penulis mengalami sendiri, karena berdomisili di Curug, maka tidak dapat mengurus seperti balik nama ranmor, dan lain-lain di Samsat Tangerang (Cikokol). Yang beralamat di Curug diarahkan untuk mengurus ke Samsat Kelapa Dua Tangerang. Perlu diperhatikan kalau Anda mengetikkan kata kunci di Google "Samsat Kelapa Dua Tangerang", maka hasil pencarian teratas akan menunjukkan "Gerai Samsat Kelapa Dua". Kalau Anda ingin cek fisik, mengurus balik nama hingga ganti kaleng secara mandiri (ngurus sendiri), maka di gerai tersebut tampaknya tidak bisa m

Lebih Baik Disini, Rumah Kita Sendiri (Bagian I)

Rasa nasionalis meledak bukan karena sedang nonton pertandingan bola timnas Indonesia, namun justru rasa kebanggaan dengan negara sendiri muncul pada saat ditolak dalam pengajuan VISA keluar negeri, ke USA. Bisa dibayangkan berapa uang yang mesti dikeluarkan dalam pengajuan permohonan VISA serta tinggal di negeri paman Sam tersebut, meski hanya beberapa hari. Untungnya semua biaya ditanggung oleh salah satu perusahaan elektronik terkemuka asal Jepang, yang memiliki Country Manager atau kantor cabang negara yang berlokasi di Jakarta timur. Komprehensifnya arsip, berkas dan surat ternyata mampu dikalahkan dengan "personal identity" yang mungkin mereka anggap belum layak untuk melancong ke negara super power tersebut. Padahal, surat beserta dokumen resmi lainnya telah dilampirkan, bahkan tiket reservasi hotel di Las Vegas pun telah dibukukan. Sekadar diketahui, event CES atau Consumer Electronic Show 2013 digelar pada awal Januari 2013. Di event akbar internasional ters

Pengalaman Balik Nama atau Ubah Nama Sepeda Motor

Balik nama motor itu penting, karena daripada capek-capek bolak-balik pinjem KTP asli pemilik motor lama, maka balik nama bisa memudahkan kita untuk bayar pajak pakai KTP sendiri. Selain itu, dari sisi psikologis juga, motor kesayangan itu sudah benar-benar 100 persen milik kita (perasaannya sih gitu), jadi lebih enak aja. Sebelumnya penulis belum tahu sama sekali dengan proses balik nama. Ya, karena ini baru pertama kali. Seharusnya balik nama itu enggak lama setelah Anda membeli kendaraan, jadi kalau entar-entaran lama-lama jadi males, eh tau-tau sudah kelewat dari jatuh tempo pajak motor tahunan. Terus kena denda deh. Tp sebaiknya memang satu bulan sebelum jatuh tempo pajak motor udah disiapin dan segera cabcus cari waktu ke kantor Samsat. Oh ya, di sini penulis ingin berbagi cerita nyata proses balik nama kendaraan motor. Sebelum berangkat, ada baiknya Anda cari-cari informasi melalui teman, saudara, atau cari di internet bagaimana proses balik nama kendaraan motor. Rupanya