Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata sekufu? sejenis makanan apa itu? hmm, sekufu menurut KBBI atau yang bisa diakses melalui kamusbahasaindonesia.org, yakni bermakna sederajat atau setaraf. Biasanya kata sekufu dipakai juga terkait dengan pencarian calon isteri/suami, yang dikatakan seyogyianya harus yang sekufu.
Pembahasan mengenai jodoh kadang tak pernah habis untuk dibahas, selama peradaban manusia masih terus bergulir, maka topik-topik diskusi seputar jodoh dan perjodohan akan tetap menarik untuk diamati. Fenomena yang mungkin saat ini terjadi adalah, sebagian orang memiliki mindset tertentu terkait pasangan ideal, mulai dari keinginan untuk memiliki calon dengan standar fisik bak supermodel, standar isi dompet yang serupa dengan 'bank berjalan' maupun yang memiliki pangkat atau jabatan.
Selain itu, dikatakan pula tumbuhnya chemistry itu muncul dari pandangan mata, kemudian turun ke hati. Tak jarang pula perbedaan usia serta latar belakang pendidikan atau keluarga, menjadi salah satu yang dipaksakan menjadi kriteria yang harus dipenuhi untuk menemukan pasangan idaman.
Tidak ada yang salah dalam memimpikan atau mendambakan figur yang paling diinginkan, selagi seseorang yakin dengan pilihan hatinya itu untuk mewujudkan keluarga 'samara'. Alangkah bahagianya kemudian mereka mengikrarkan janji suci serta hidup satu atap dengan pilihannya. Dan, bukan pilihan atas intervensi dari siapapun, termasuk orang-orang terdekat atau keluarga.
Seperti istilah populer yang berasal dari bahasa Jawa, "Witting Tresno Jalaran Soko Kulino", kalimat itu juga sempat didengung-dengungkan dalam lirik lagu salah satu musisi reggae Indonesia. Namun demikian, apakah cinta dalam konteks mencari pasangan hidup, bisa hadir karena pertemuan yang begitu intens? bukankah justru itu menabrak istilah "love at the first sight", yang mungkin dipercaya oleh sebagian orang.
Bagaimana kalau kita coba melirik salah satu ayat dalam QS An Nuur:26 yang berbunyi, wanita-wanita yang keji adalah untuk lelaki yang keji, sedangkan wanita-wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik pula, dan begitu juga sebaliknya. Ini secara jelas menunjukkan, adanya kesetaraan, kesamaan karakter atau sekufu dalam klasifikasi akhlak.
Namun, benarkah hanya akhlak? apakah urusan jodoh hanya mengandalkan hati saja melalui kemunculan sebuah getaran-getaran dalam dada, yang kita anggap itu cinta? Lalu, bagaimana peran logika? Sepatutnya akal tetap turut andil dalam menentukan langkah-langkah besar yang akan dilakukan seseorang berikutnya.
Kembali lagi dalam bahasan sekufu mendatangkan cinta. Karena cinta tampaknya dianggap identik dengan terwujudnya jodoh yang mengantarkan seseorang pada pernikahan. Padahal, logika tetap berperan untuk mampu menetapkan apa yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Seyogianya, logika jangan ditinggalkan begitu saja, biarkan ia ikut serta dan bersinergi dengan hati.
Misalnya, seseorang katanya jatuh cinta hanya dengan melihat ketampanan atau kecantikannya saja, ada juga yang bertekad untuk menjadikannya pasangan hidup, oleh karena si calon merupakan keturunan kaya raya dan bergelimang harta atau jabatan. Logika pun tersungkur, mungkin ia lupa bahwa dengan kedangkalan terhadap pilihannya itu, ia mengabaikan hal-hal yang jauh lebih utama dan lebih penting baginya.
Padahal Rasulullah SAW bersabda, wanita dinikahi karena empat hal, yaitu kecantikannya, kekayaannya, keturunannya dan agamanya. Maka, pilihlah yang agamanya baik, niscaya Engkau akan bahagia. Hadits tersebut menjelaskan opsi yang bisa diambil oleh seseorang sebagai kriteria untuk mencari pendamping hidup.
Apabila seseorang mengedepankan pentingnya agama, memperhatikan aspek akhlak kemudian hal-hal yang berkenaan dengan intelektualitas sang calon. Maka, tampak ia pun sedang bercermin terhadap dirinya sendiri, melalui logika yang ia gunakan.
Terbukti, seseorang yang memiliki konsep diri semacam ini, ketika ia berniat mencari calon pasangan hidup, maka ia tak rela membiarkan waktu terbuang percuma dengan urusan yang tidak bermanfaat baginya, menghindari pergaulan 'nyeleneh' yang bisa berdampak buruk terhadap kualitas ibadahnya serta menjauhi hal-hal yang dapat membuat kondisi fluktuatif pada keteguhan imannya.
Orang yang memiliki prinsip hidup, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW akan senantiasa damai dan tidak perlu risau terkait urusan jodoh, karena ia yakin jodoh telah ditetapkan oleh-Nya, bahkan jodoh itu telah ditentukan sejak ia belum dilahirkan.
Seseoang yang teguh dalam prinsip ini, juga akan berfokus mencari pendamping yang setara dengannya. Setara dalam arti, sama-sama seiman, memiliki pandangan hidup yang sejalan. Mereka pun dapat saling mengukur parameter dirinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan tingkat pemahaman ilmu agama, serta boleh jadi menyentuh aspek identitas personal seperti kesetaraan jenjang pendidikan, selisih usia, tingkat perekonomian keluarga masing-masing, kegemaran dan sebagainya.
Maka, mungkin bisa dibenarkan apa yang sering diucap oleh orang tua, terkait istilah 'bibit-bebet-bobot'. Karena inilah, yang menjadi harapan dan dambaan bagi seseorang untuk melangkah lebih mantap dengan calon pasangannya.
*****
Ilustrasi (Foto: Eatsmartdietsolution)
Pembahasan mengenai jodoh kadang tak pernah habis untuk dibahas, selama peradaban manusia masih terus bergulir, maka topik-topik diskusi seputar jodoh dan perjodohan akan tetap menarik untuk diamati. Fenomena yang mungkin saat ini terjadi adalah, sebagian orang memiliki mindset tertentu terkait pasangan ideal, mulai dari keinginan untuk memiliki calon dengan standar fisik bak supermodel, standar isi dompet yang serupa dengan 'bank berjalan' maupun yang memiliki pangkat atau jabatan.
Selain itu, dikatakan pula tumbuhnya chemistry itu muncul dari pandangan mata, kemudian turun ke hati. Tak jarang pula perbedaan usia serta latar belakang pendidikan atau keluarga, menjadi salah satu yang dipaksakan menjadi kriteria yang harus dipenuhi untuk menemukan pasangan idaman.
Tidak ada yang salah dalam memimpikan atau mendambakan figur yang paling diinginkan, selagi seseorang yakin dengan pilihan hatinya itu untuk mewujudkan keluarga 'samara'. Alangkah bahagianya kemudian mereka mengikrarkan janji suci serta hidup satu atap dengan pilihannya. Dan, bukan pilihan atas intervensi dari siapapun, termasuk orang-orang terdekat atau keluarga.
Seperti istilah populer yang berasal dari bahasa Jawa, "Witting Tresno Jalaran Soko Kulino", kalimat itu juga sempat didengung-dengungkan dalam lirik lagu salah satu musisi reggae Indonesia. Namun demikian, apakah cinta dalam konteks mencari pasangan hidup, bisa hadir karena pertemuan yang begitu intens? bukankah justru itu menabrak istilah "love at the first sight", yang mungkin dipercaya oleh sebagian orang.
Bagaimana kalau kita coba melirik salah satu ayat dalam QS An Nuur:26 yang berbunyi, wanita-wanita yang keji adalah untuk lelaki yang keji, sedangkan wanita-wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik pula, dan begitu juga sebaliknya. Ini secara jelas menunjukkan, adanya kesetaraan, kesamaan karakter atau sekufu dalam klasifikasi akhlak.
Namun, benarkah hanya akhlak? apakah urusan jodoh hanya mengandalkan hati saja melalui kemunculan sebuah getaran-getaran dalam dada, yang kita anggap itu cinta? Lalu, bagaimana peran logika? Sepatutnya akal tetap turut andil dalam menentukan langkah-langkah besar yang akan dilakukan seseorang berikutnya.
Kembali lagi dalam bahasan sekufu mendatangkan cinta. Karena cinta tampaknya dianggap identik dengan terwujudnya jodoh yang mengantarkan seseorang pada pernikahan. Padahal, logika tetap berperan untuk mampu menetapkan apa yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Seyogianya, logika jangan ditinggalkan begitu saja, biarkan ia ikut serta dan bersinergi dengan hati.
Misalnya, seseorang katanya jatuh cinta hanya dengan melihat ketampanan atau kecantikannya saja, ada juga yang bertekad untuk menjadikannya pasangan hidup, oleh karena si calon merupakan keturunan kaya raya dan bergelimang harta atau jabatan. Logika pun tersungkur, mungkin ia lupa bahwa dengan kedangkalan terhadap pilihannya itu, ia mengabaikan hal-hal yang jauh lebih utama dan lebih penting baginya.
Padahal Rasulullah SAW bersabda, wanita dinikahi karena empat hal, yaitu kecantikannya, kekayaannya, keturunannya dan agamanya. Maka, pilihlah yang agamanya baik, niscaya Engkau akan bahagia. Hadits tersebut menjelaskan opsi yang bisa diambil oleh seseorang sebagai kriteria untuk mencari pendamping hidup.
Apabila seseorang mengedepankan pentingnya agama, memperhatikan aspek akhlak kemudian hal-hal yang berkenaan dengan intelektualitas sang calon. Maka, tampak ia pun sedang bercermin terhadap dirinya sendiri, melalui logika yang ia gunakan.
Terbukti, seseorang yang memiliki konsep diri semacam ini, ketika ia berniat mencari calon pasangan hidup, maka ia tak rela membiarkan waktu terbuang percuma dengan urusan yang tidak bermanfaat baginya, menghindari pergaulan 'nyeleneh' yang bisa berdampak buruk terhadap kualitas ibadahnya serta menjauhi hal-hal yang dapat membuat kondisi fluktuatif pada keteguhan imannya.
Orang yang memiliki prinsip hidup, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW akan senantiasa damai dan tidak perlu risau terkait urusan jodoh, karena ia yakin jodoh telah ditetapkan oleh-Nya, bahkan jodoh itu telah ditentukan sejak ia belum dilahirkan.
Seseoang yang teguh dalam prinsip ini, juga akan berfokus mencari pendamping yang setara dengannya. Setara dalam arti, sama-sama seiman, memiliki pandangan hidup yang sejalan. Mereka pun dapat saling mengukur parameter dirinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan tingkat pemahaman ilmu agama, serta boleh jadi menyentuh aspek identitas personal seperti kesetaraan jenjang pendidikan, selisih usia, tingkat perekonomian keluarga masing-masing, kegemaran dan sebagainya.
Maka, mungkin bisa dibenarkan apa yang sering diucap oleh orang tua, terkait istilah 'bibit-bebet-bobot'. Karena inilah, yang menjadi harapan dan dambaan bagi seseorang untuk melangkah lebih mantap dengan calon pasangannya.
*****
Ilustrasi (Foto: Eatsmartdietsolution)
Comments
Post a Comment