Berjibaku dengan peristiwa serta menulis menjadi hal biasa yang merupakan rutinitas keseharian dengan jam kerja yang dibatasi. Eits! tapi tunggu dulu, berbicara masalah jam kerja pada profesi yang satu ini, boleh jadi seseorang akan tertarik dengan pekerjaan ini lantaran jam kerjanya yang fleksibel, namun jangan dikira, justru fleksibel itulah yang menghadirkan tantangan-tantangan yang tidak terduga.
Bisa dibayangkan sedang santai-santainya mengetik sebuah berita, eitss! santai? santai itu kalau salah satu jari telah ditekan pada absen finger-print ketika hendak pulang. Ketika masih berada di kantor misalnya, menerjemahkan berita asing ke dalam bahasa Indonesia membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Terlebih beberapa berita asing memiliki gaya bahasanya sendiri yang terkadang sulit dimengerti.
Ketika sedang seru-serunya melansir berita asing tersebut, dipanggilah oleh pak bos (sebutan redaktur) untuk mencari berita si anu atau peristiwa anu. Sontak, mood menulis berita yang tadinya akan dirampungkan justru harus segera fokus pada isu yang lain. Inilah mengapa diperlukan kesigapan penuh, selama berada di kantor maupun lapangan, pak bos bisa saja mengarahkan anak buahnya untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, sungguh "tentara" sekali.
Tak jauh beda antara di media online maupun cetak atau mungkin elektronik, prinsip kerjanya sama, hanya yang membedakan seperti apa platform penyajian berita tersebut. Salah satu tantangan yang menarik adalah, bagaimana reporter media online itu, menghasilkan berapa jumlah berita yang dibuat dalam waktu sehari?
Nyatanya, beberapa media online sebenarnya memiliki kebijakan masing-masing. Ada media online yang dituntut "kuantitas", namun tanpa mengabaikan "kualitas" dan ada juga media yang tidak mengharuskan kuantitas, tetapi berita tersebut harus bisa dipastikan menarik minat pembaca yang tinggi.
Misalnya saja, liputan produk teknologi semacam peluncuran gadget iPhone terbaru atau Galaxy Tab terbaru, segelintir orang tentu ingin tahu perkembangan terkini maupun berapa banderol harga gadget anyar tersebut? Pembaca pun sudah barang tentu memiliki tingkat ketertarikan tinggi, sehingga nilai berita itu menjadi meroket, terlebih di poles dengan sentuhan judul yang "seksi".
Berbicara judul, ini pula yang membedakan antara media yang satu dengan media yang lain. Peristiwa boleh sama, tetapi penyajian artikel beritanya tentu berbeda antara wartawan yang satu dengan wartawan yang lain. Menentukan judul dengan angle atau sudut pandang tertentu sah-sah saja, selama itu merupakan fakta yang kemudian dijelaskan secara runut di dalam tubuh berita dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hmm, rasanya tidak etis menyebut nama media online. Berbagai media online saat ini ternyata mulai menjamur dan beberapa media cetak pun "ikut-ikut-an" menyediakan platform online-nya untuk menyuguhkan berita melalui internet. Dan, umumnya media online terbesar ini berkantor pusat di Jakarta, selebihnya di daerah merupakan kontributor-kontributor yang melaporkan berita ke pusat.
Media online tak terlepas dari unsur kebijakan perusahaan. Wartawan harus mematuhi terhadap ketentuan atau aturan yang dibuat perusahaan, bahkan elemen politik pun sudah menjadi hal yang tak asing lagi dalam tubuh perusahaan media. Arahan pun dilancarkan untuk jangan sembarangan menulis berita tentang si anu, atau peristiwa tertentu yang bisa berdampak negatif terhadap citra perusahaan.
Jurnalis yang kemudian tampak menjadi "korban", mengapa dikatakan demikian? karena sudah seharusnya seorang wartawan memberitakan fakta dan masyarakat perlu tahu akan hal itu. Seperti yang juga digaung-gaungkan mengenai kebebasan pers, buktinya, di media mana Anda bekerja, di situlah Anda harus patuh terhadap kebijakan atau kepentingan perusahaan.
Namun, izinkan seorang yang katanya jurnalis ini menuturkan bahwa profesi wartawan sungguh sangat luar biasa hebatnya. Luar biasa dalam arti, media merupakan jembatan, seperti tali penghubung antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Media juga sebagai sarana edukasi dan informasi, dari yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu.
Selama Anda tetap memperoleh hak Anda (gaji) atau dibayar oleh perusahaan media tempat Anda bekerja, selagi pemberitaan itu tetap benar dan rasional, walau sedikit "dipilah-pilihkan" oleh perusahaan, bertahanlah menghadapi tekanan dan bekerjalah sedamai mungkin, tanpa perlu berpikir terlalu panjang, jalani dan jangan dijadikan beban. Maka, Anda akan tetap berada dalam jalur Anda dengan selamat.
Secara perlahan, namun pasti, opini masyarakat bisa terbentuk oleh karena hanya membaca satu artikel yang ditulis satu orang jurnalis. Dampaknya, seluruh masyarakat (yang kebetulan membaca), menjadi terpengaruh dan menentukan penilaiannya sendiri terhadap suatu isu.
Perlu diketahui, profesi yang satu ini begitu dihormati oleh para pemegang kepentingan atau kekuasaan. Kesejahteraan 'dadakan' pun bisa diraih melalui jalan "kotor" (apabila tidak tegas menolak pemberian apapun oleh siapapun), yang tentu ini merupakan hal yang tidak dipungkiri lagi, dan bisa berimbas terhadap konten atau isi tulisan berita.
Profesi yang satu ini juga bisa dipakai oleh para oknum, yang mungkin tak mengaku bahwa dirinya merupakan bodrek. Karena sungguh tak terciri penampilan seorang jurnalis. Dengan pakaian santai, atau bergaya menyerupai mahasiswa yang hendak kuliah pun, bisa-bisa saja.
Hebatnya lagi, profesi ini mampu "mendobrak" sebuah dinding, di mana bagi orang biasa tentu tak memungkinkan untuk bertemu dengan para pejabat secara intens, bertemu pemimpin perusahaan atau orang penting lainnya, dan hanya jurnalis yang dengan penampilan "apa adanya" itu, berkomunikasi serta meraup informasi dari para eksekutif berjas dan berdasi. Tak ketinggalan, nomor kontak pribadi (apalagi wartawan infotainment), memiliki kewenangan untuk menghubungi narasumber, tokoh penting, pengamat, artis, pejabat dan lain-lain.
(Akan Berlanjut)
Ilustrasi (Foto: b2binbound)
Bisa dibayangkan sedang santai-santainya mengetik sebuah berita, eitss! santai? santai itu kalau salah satu jari telah ditekan pada absen finger-print ketika hendak pulang. Ketika masih berada di kantor misalnya, menerjemahkan berita asing ke dalam bahasa Indonesia membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Terlebih beberapa berita asing memiliki gaya bahasanya sendiri yang terkadang sulit dimengerti.
Ketika sedang seru-serunya melansir berita asing tersebut, dipanggilah oleh pak bos (sebutan redaktur) untuk mencari berita si anu atau peristiwa anu. Sontak, mood menulis berita yang tadinya akan dirampungkan justru harus segera fokus pada isu yang lain. Inilah mengapa diperlukan kesigapan penuh, selama berada di kantor maupun lapangan, pak bos bisa saja mengarahkan anak buahnya untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, sungguh "tentara" sekali.
Tak jauh beda antara di media online maupun cetak atau mungkin elektronik, prinsip kerjanya sama, hanya yang membedakan seperti apa platform penyajian berita tersebut. Salah satu tantangan yang menarik adalah, bagaimana reporter media online itu, menghasilkan berapa jumlah berita yang dibuat dalam waktu sehari?
Nyatanya, beberapa media online sebenarnya memiliki kebijakan masing-masing. Ada media online yang dituntut "kuantitas", namun tanpa mengabaikan "kualitas" dan ada juga media yang tidak mengharuskan kuantitas, tetapi berita tersebut harus bisa dipastikan menarik minat pembaca yang tinggi.
Misalnya saja, liputan produk teknologi semacam peluncuran gadget iPhone terbaru atau Galaxy Tab terbaru, segelintir orang tentu ingin tahu perkembangan terkini maupun berapa banderol harga gadget anyar tersebut? Pembaca pun sudah barang tentu memiliki tingkat ketertarikan tinggi, sehingga nilai berita itu menjadi meroket, terlebih di poles dengan sentuhan judul yang "seksi".
Berbicara judul, ini pula yang membedakan antara media yang satu dengan media yang lain. Peristiwa boleh sama, tetapi penyajian artikel beritanya tentu berbeda antara wartawan yang satu dengan wartawan yang lain. Menentukan judul dengan angle atau sudut pandang tertentu sah-sah saja, selama itu merupakan fakta yang kemudian dijelaskan secara runut di dalam tubuh berita dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hmm, rasanya tidak etis menyebut nama media online. Berbagai media online saat ini ternyata mulai menjamur dan beberapa media cetak pun "ikut-ikut-an" menyediakan platform online-nya untuk menyuguhkan berita melalui internet. Dan, umumnya media online terbesar ini berkantor pusat di Jakarta, selebihnya di daerah merupakan kontributor-kontributor yang melaporkan berita ke pusat.
Media online tak terlepas dari unsur kebijakan perusahaan. Wartawan harus mematuhi terhadap ketentuan atau aturan yang dibuat perusahaan, bahkan elemen politik pun sudah menjadi hal yang tak asing lagi dalam tubuh perusahaan media. Arahan pun dilancarkan untuk jangan sembarangan menulis berita tentang si anu, atau peristiwa tertentu yang bisa berdampak negatif terhadap citra perusahaan.
Jurnalis yang kemudian tampak menjadi "korban", mengapa dikatakan demikian? karena sudah seharusnya seorang wartawan memberitakan fakta dan masyarakat perlu tahu akan hal itu. Seperti yang juga digaung-gaungkan mengenai kebebasan pers, buktinya, di media mana Anda bekerja, di situlah Anda harus patuh terhadap kebijakan atau kepentingan perusahaan.
Namun, izinkan seorang yang katanya jurnalis ini menuturkan bahwa profesi wartawan sungguh sangat luar biasa hebatnya. Luar biasa dalam arti, media merupakan jembatan, seperti tali penghubung antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Media juga sebagai sarana edukasi dan informasi, dari yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu.
Selama Anda tetap memperoleh hak Anda (gaji) atau dibayar oleh perusahaan media tempat Anda bekerja, selagi pemberitaan itu tetap benar dan rasional, walau sedikit "dipilah-pilihkan" oleh perusahaan, bertahanlah menghadapi tekanan dan bekerjalah sedamai mungkin, tanpa perlu berpikir terlalu panjang, jalani dan jangan dijadikan beban. Maka, Anda akan tetap berada dalam jalur Anda dengan selamat.
Secara perlahan, namun pasti, opini masyarakat bisa terbentuk oleh karena hanya membaca satu artikel yang ditulis satu orang jurnalis. Dampaknya, seluruh masyarakat (yang kebetulan membaca), menjadi terpengaruh dan menentukan penilaiannya sendiri terhadap suatu isu.
Perlu diketahui, profesi yang satu ini begitu dihormati oleh para pemegang kepentingan atau kekuasaan. Kesejahteraan 'dadakan' pun bisa diraih melalui jalan "kotor" (apabila tidak tegas menolak pemberian apapun oleh siapapun), yang tentu ini merupakan hal yang tidak dipungkiri lagi, dan bisa berimbas terhadap konten atau isi tulisan berita.
Profesi yang satu ini juga bisa dipakai oleh para oknum, yang mungkin tak mengaku bahwa dirinya merupakan bodrek. Karena sungguh tak terciri penampilan seorang jurnalis. Dengan pakaian santai, atau bergaya menyerupai mahasiswa yang hendak kuliah pun, bisa-bisa saja.
Hebatnya lagi, profesi ini mampu "mendobrak" sebuah dinding, di mana bagi orang biasa tentu tak memungkinkan untuk bertemu dengan para pejabat secara intens, bertemu pemimpin perusahaan atau orang penting lainnya, dan hanya jurnalis yang dengan penampilan "apa adanya" itu, berkomunikasi serta meraup informasi dari para eksekutif berjas dan berdasi. Tak ketinggalan, nomor kontak pribadi (apalagi wartawan infotainment), memiliki kewenangan untuk menghubungi narasumber, tokoh penting, pengamat, artis, pejabat dan lain-lain.
(Akan Berlanjut)
Ilustrasi (Foto: b2binbound)
Comments
Post a Comment