Dimulailah tulisan yang sebenarnya agak panjang untuk diceritakan, bukan karena malas untuk dituangkan, tetapi saking banyaknya ide yang bersliweran di pikiran, maka saya pikir biarlah deretan paragraf ini yang perlahan merangkai pesan. Mengalirnya sebuah gagasan seharusnya memang terjadi dengan apa adanya, tak perlu ribet bin menjlimet, tuangkanlah apa yang ingin Anda tuang, maka Anda bisa melihat sendiri hasil yang telah Anda capai.
Saya pikir, semua berawal dari sesuatu yang berada di luar diri saya sendiri. Bila dirunut sejak awal mulanya, tampaknya kita memang harus paham betul terkait segala pencapaian yang telah diraih. Karena perjalanan menuju sukses itu tidaklah mudah, diperlukan kesabaran untuk melaluinya dan tetap mengikuti jalan yang lurus, meskipun godaan kerap kali singgah merayu keteguhan.
Jurnalis? Apa yang terbesit dipikiran Anda ketika mendengar profesi yang satu itu? Mungkin pernah kita menyaksikan di TV, para pekerja media ini begitu nongol di layar kaca, dengan berbondong-bondong mengejar narasumber yang ingin ia tanyai berbagai isu maupun tanggapan. Semua itu dilakukan tak lain karena satu hal, meraup informasi.
Apakah lelah pekerjaan demikian? Jawabnya bisa bermacam-macam, tergantung dari sisi mana memandangnya, kondisi yang seperti apa, bahkan latar belakang seseorang pun tentu berbeda dalam menyikapinya. Kembali lagi jauh sebelum seseorang memutuskan untuk menjadi “buruh media”, ya, saya lebih senang menyebutnya demikian ketimbang mengucapnya dengan julukan “kuli tinta”. Karena apa? kini umumnya semua serba digital, tinta tak lagi menjadi satu-satunya alat untuk menuliskan segala apa yang dilontarkan pembicara atau segala apa yang diungkap narasumber. Akan tetapi, dari waktu ke waktu ini telah mengalami sedikit pergeseran, yang membuatnya mau tak mau pada akhirnya mengikuti perkembangan teknologi.
Meskipun kehadiran teknologi di satu sisi memberi berbagai kemudahan, namun segelintir orang justru mengatakan teknologi canggih semakin bikin orang malas, bahkan katanya teknologi malah dapat membuat perangkat lebih hebat daripada penggunanya sendiri. Hmm, entahlah, pembahasan kali ini memang sedikit banyaknya terkait dengan urusan teknologi.
Mungkin internet baru tumbuh di Indonesia beberapa dekade lalu. Ketika itu berjayalah media cetak dan elektronik, termasuk TV dan radio. Pada kala itu, jurnalis atau wartawan atau reporter atau “buruh media” atau “si pemburu berita” atau mungkin sederet nama-nama lainnya, mereka bekerja di bagian redaksi suatu media cetak atau elektronik. Nah, seiring perkembangan zaman dan teknologi, di era informasi, maka munculah media online.
Banyak disebut di perkuliahan di perguruan-perguruan tinggi, istilah media online sebagai media baru yang memberi bermacam keunggulan dibandingkan media lainnya. Prinsip konvergensi jelas tertanam pada media online tersebut. Lalu bagaimana dengan pekerjaan sang jurnalisnya? Tentu saja serupa dengan media cetak maupun elektronik, mencari peristiwa, menulis dan mengemasnya menjadi susunan artikel berita yang baku.
Hanya saja, publikasi berita di media online termasuk yang cepat, timeless dan tak mengenal waktu. Begitu ada peristiwa, maka berita itu bisa dibuat pada saat itu atau selang beberapa saat setelah itu, kemudian masyarakat bisa tahu. Tentunya, berita tersebut baru akan bisa dibaca ketika mereka mengakses internet dan website media tersebut.
Uniknya, kebanyakan orang yang kebetulan bertanya pekerjaan apa yang sedang digeluti? Dijawablah media online, sang penanya pun tampak mengerutkan kening, seraya berpikir media apakah itu? Hal ini mungkin dialami hanya bagi sebagian orang yang belum mengerti apa itu media online, bahkan mungkin internet pun belum pernah ia cicipi.
Menjawabnya dengan menyebutkan nama perusahaan media online-nya pun, mungkin belum pernah diketahui oleh si penanya. Selama ini memang media cetak dan elektronik (TV & radio), sudah begitu akrab ditelinga pemirsa. Maka sebagian besar telah mengetahui nama-nama saluran televisi atau nama media cetak tertentu, sedangkan belum tentu semua orang pernah menjajal internet. Jangankan mengetahui apa itu media online, internet saja mungkin masih berupa hal baru yang belum seluruhnya tersentuh oleh semua lapisan masyarakat.
Berbeda media, berbeda platform publikasi, maka berbeda pula karakteristik-karakteristiknya. Hebatnya, berita yang tertampil di media online, bisa segera dilihat berapa jumlah pembacanya. Bayangkan mengetahui jumlah pembaca di media cetak seperti koran atau majalah atau elektronik seperti TV atau radio? Butuh berapa lama mensurvei pembacanya satu per satu?
Selain itu, menjadi seorang yang katanya jurnalis media online, kali ini agak sedikit menyinggung di judul. Mencari berita teramat mudah melalui bantuan mesin pencari Google, mengutip atau menerjemahkan artikel asing ke dalam bahasa Indonesia, sudah menjadi sesuatu yang biasa dilakukan, sah-sah saja dengan mencantumkan sumbernya.
(Karena setiap orang berhak untuk berpendapat atau beropini), itulah mengapa menjadi jurnalis media online, tantangan yang dihadapi terasa lebih ringan ketimbang media cetak atau media elektronik. Namun tampaknya, ini tak berlaku untuk kanal atau rubrik tertentu semacam politik, ekonomi dan sejenisnya. Porsi kerja mereka tetap setara dengan media konvensional lainnya. Sekali lagi yang membedakan adalah, media penyampaian atau publikasinya.
Justru ketika dihadapkan pada “kenyamanan” di posisi sebagai jurnalis media online, timbul pertanyaan dalam benak, bahwa apakah ini yang disebut sebagai jurnalis atau reporter? Kemudian dikaitkan dengan unsur idealisme, bahwa seseorang cukup melakukan apa-apa yang wajib dan mematuhi aturan perusahaan dan menjalankan apa-apa saja yang diperintahkan atasan, atau bekerja lebih giat walau gaji hanya sekian dan sekian?
Tentu ini menjadi hal yang rumit, bila sudah menyangkut idealisme, profesi dan hak yang diterima. Boleh jadi seseorang terdampar menjadi jurnalis pun, karena kebetulan ia lulusan akademisi ilmu komunikasi peminatan jurnalistik. Belum ada pilihan pekerjaan lain selain fokus pada bidang yang memang telah digeluti sejak perkuliahan hingga menyandang gelar diploma atau sarjana. Meskipun banyak juga, yang bukan dari akademisi di bidang jurnalistik, namun ia berprofesi sebagai wartawan, ini yang bisa dialami karena berbagai macam faktor.
Faktor pertama, boleh jadi ia berprinsip, “saya mau kerja apa saja, yang penting saya kerja halal dan dapet duit”. Faktor kedua, boleh jadi ia berprinsip, “saya mau kerja di bidang jurnalistik, karena keluarga dan atau orang tua saya keduanya adalah wartawan senior,”. Faktor berikutnya, terkait penjiwaan yang mendalam, yaitu “saya bercita-cita jadi wartawan professional, karena kerjaan itu bagi saya adalah passion hidup dan dengan ikhlas saya senang meliput peristiwa, saya senang bertemu orang-orang penting, dan saya cukup pandai bergaul dengan banyak orang,”.
Bila faktor tersebut bisa ditentukan dan yang menjadi pegangan bagi seseorang, maka akan terlihat bagaimana ia akan bekerja, bagaimana ia akan berpikir, bagaimana ia akan berperilaku, kemudian bagaimana ia akan tetap mempertahankan apa yang diyakininya.
(Akan Berlanjut)
- Ilustrasi (Foto: Rocketwatcher)-
Saya pikir, semua berawal dari sesuatu yang berada di luar diri saya sendiri. Bila dirunut sejak awal mulanya, tampaknya kita memang harus paham betul terkait segala pencapaian yang telah diraih. Karena perjalanan menuju sukses itu tidaklah mudah, diperlukan kesabaran untuk melaluinya dan tetap mengikuti jalan yang lurus, meskipun godaan kerap kali singgah merayu keteguhan.
Jurnalis? Apa yang terbesit dipikiran Anda ketika mendengar profesi yang satu itu? Mungkin pernah kita menyaksikan di TV, para pekerja media ini begitu nongol di layar kaca, dengan berbondong-bondong mengejar narasumber yang ingin ia tanyai berbagai isu maupun tanggapan. Semua itu dilakukan tak lain karena satu hal, meraup informasi.
Apakah lelah pekerjaan demikian? Jawabnya bisa bermacam-macam, tergantung dari sisi mana memandangnya, kondisi yang seperti apa, bahkan latar belakang seseorang pun tentu berbeda dalam menyikapinya. Kembali lagi jauh sebelum seseorang memutuskan untuk menjadi “buruh media”, ya, saya lebih senang menyebutnya demikian ketimbang mengucapnya dengan julukan “kuli tinta”. Karena apa? kini umumnya semua serba digital, tinta tak lagi menjadi satu-satunya alat untuk menuliskan segala apa yang dilontarkan pembicara atau segala apa yang diungkap narasumber. Akan tetapi, dari waktu ke waktu ini telah mengalami sedikit pergeseran, yang membuatnya mau tak mau pada akhirnya mengikuti perkembangan teknologi.
Meskipun kehadiran teknologi di satu sisi memberi berbagai kemudahan, namun segelintir orang justru mengatakan teknologi canggih semakin bikin orang malas, bahkan katanya teknologi malah dapat membuat perangkat lebih hebat daripada penggunanya sendiri. Hmm, entahlah, pembahasan kali ini memang sedikit banyaknya terkait dengan urusan teknologi.
Mungkin internet baru tumbuh di Indonesia beberapa dekade lalu. Ketika itu berjayalah media cetak dan elektronik, termasuk TV dan radio. Pada kala itu, jurnalis atau wartawan atau reporter atau “buruh media” atau “si pemburu berita” atau mungkin sederet nama-nama lainnya, mereka bekerja di bagian redaksi suatu media cetak atau elektronik. Nah, seiring perkembangan zaman dan teknologi, di era informasi, maka munculah media online.
Banyak disebut di perkuliahan di perguruan-perguruan tinggi, istilah media online sebagai media baru yang memberi bermacam keunggulan dibandingkan media lainnya. Prinsip konvergensi jelas tertanam pada media online tersebut. Lalu bagaimana dengan pekerjaan sang jurnalisnya? Tentu saja serupa dengan media cetak maupun elektronik, mencari peristiwa, menulis dan mengemasnya menjadi susunan artikel berita yang baku.
Hanya saja, publikasi berita di media online termasuk yang cepat, timeless dan tak mengenal waktu. Begitu ada peristiwa, maka berita itu bisa dibuat pada saat itu atau selang beberapa saat setelah itu, kemudian masyarakat bisa tahu. Tentunya, berita tersebut baru akan bisa dibaca ketika mereka mengakses internet dan website media tersebut.
Uniknya, kebanyakan orang yang kebetulan bertanya pekerjaan apa yang sedang digeluti? Dijawablah media online, sang penanya pun tampak mengerutkan kening, seraya berpikir media apakah itu? Hal ini mungkin dialami hanya bagi sebagian orang yang belum mengerti apa itu media online, bahkan mungkin internet pun belum pernah ia cicipi.
Menjawabnya dengan menyebutkan nama perusahaan media online-nya pun, mungkin belum pernah diketahui oleh si penanya. Selama ini memang media cetak dan elektronik (TV & radio), sudah begitu akrab ditelinga pemirsa. Maka sebagian besar telah mengetahui nama-nama saluran televisi atau nama media cetak tertentu, sedangkan belum tentu semua orang pernah menjajal internet. Jangankan mengetahui apa itu media online, internet saja mungkin masih berupa hal baru yang belum seluruhnya tersentuh oleh semua lapisan masyarakat.
Berbeda media, berbeda platform publikasi, maka berbeda pula karakteristik-karakteristiknya. Hebatnya, berita yang tertampil di media online, bisa segera dilihat berapa jumlah pembacanya. Bayangkan mengetahui jumlah pembaca di media cetak seperti koran atau majalah atau elektronik seperti TV atau radio? Butuh berapa lama mensurvei pembacanya satu per satu?
Selain itu, menjadi seorang yang katanya jurnalis media online, kali ini agak sedikit menyinggung di judul. Mencari berita teramat mudah melalui bantuan mesin pencari Google, mengutip atau menerjemahkan artikel asing ke dalam bahasa Indonesia, sudah menjadi sesuatu yang biasa dilakukan, sah-sah saja dengan mencantumkan sumbernya.
(Karena setiap orang berhak untuk berpendapat atau beropini), itulah mengapa menjadi jurnalis media online, tantangan yang dihadapi terasa lebih ringan ketimbang media cetak atau media elektronik. Namun tampaknya, ini tak berlaku untuk kanal atau rubrik tertentu semacam politik, ekonomi dan sejenisnya. Porsi kerja mereka tetap setara dengan media konvensional lainnya. Sekali lagi yang membedakan adalah, media penyampaian atau publikasinya.
Justru ketika dihadapkan pada “kenyamanan” di posisi sebagai jurnalis media online, timbul pertanyaan dalam benak, bahwa apakah ini yang disebut sebagai jurnalis atau reporter? Kemudian dikaitkan dengan unsur idealisme, bahwa seseorang cukup melakukan apa-apa yang wajib dan mematuhi aturan perusahaan dan menjalankan apa-apa saja yang diperintahkan atasan, atau bekerja lebih giat walau gaji hanya sekian dan sekian?
Tentu ini menjadi hal yang rumit, bila sudah menyangkut idealisme, profesi dan hak yang diterima. Boleh jadi seseorang terdampar menjadi jurnalis pun, karena kebetulan ia lulusan akademisi ilmu komunikasi peminatan jurnalistik. Belum ada pilihan pekerjaan lain selain fokus pada bidang yang memang telah digeluti sejak perkuliahan hingga menyandang gelar diploma atau sarjana. Meskipun banyak juga, yang bukan dari akademisi di bidang jurnalistik, namun ia berprofesi sebagai wartawan, ini yang bisa dialami karena berbagai macam faktor.
Faktor pertama, boleh jadi ia berprinsip, “saya mau kerja apa saja, yang penting saya kerja halal dan dapet duit”. Faktor kedua, boleh jadi ia berprinsip, “saya mau kerja di bidang jurnalistik, karena keluarga dan atau orang tua saya keduanya adalah wartawan senior,”. Faktor berikutnya, terkait penjiwaan yang mendalam, yaitu “saya bercita-cita jadi wartawan professional, karena kerjaan itu bagi saya adalah passion hidup dan dengan ikhlas saya senang meliput peristiwa, saya senang bertemu orang-orang penting, dan saya cukup pandai bergaul dengan banyak orang,”.
Bila faktor tersebut bisa ditentukan dan yang menjadi pegangan bagi seseorang, maka akan terlihat bagaimana ia akan bekerja, bagaimana ia akan berpikir, bagaimana ia akan berperilaku, kemudian bagaimana ia akan tetap mempertahankan apa yang diyakininya.
(Akan Berlanjut)
- Ilustrasi (Foto: Rocketwatcher)-
Comments
Post a Comment