Sebuah momen di mana terbentuknya mahligai dari dua insan yang berbeda, pernikahan adalah sakral yang boleh dibilang hanya terjadi minimal satu kali seumur hidup. Rahasia skenario-Nya memang memberi kesempatan bagi individu untuk berupaya menemukan pasangan hidupnya melalui beragam cara dan media.
Hampir semua manusia akan mengalami perhelatan suci tersebut, tetapi tidak sedikit juga yang entah belum diberikan kesempatan untuk berjumpa dengan belahan jiwanya atau minimnya pergaulan yang mengakibatkan seseorang terisolasi, atau mungkin memiliki keyakinan “ngawur” yang menyimpang dari kodrat sebagai makhluk berketurunan.
Bagi yang telah mantap, segala persiapan diperlukan guna menghadapi peristiwa bersejarah itu, mulai dari prosesi peminangan hingga menuju hari H. Semua dilakukan secara bertahap dan mengalir sedemikian rupa agar momen penting itu dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan.
Mengingat keterbatasan dana, ada yang melangsungkannya dengan sederhana, ada pula yang mentereng berhiaskan segala macam pernak-pernik yang ada di dalamnya, berikut euforia yang meledak-meledak. Budget yang dialokasikan juga bervariatif, mulai dari prasmanan kelas ikan asin, sampai daging steak.
Namun, ada yang satu hal yang mungkin terlupa, di tengah hingar-bingarnya suasana glamor tersebut, yakni sejauh mana memaknai esensi dari pernikahan itu sendiri? Apakah menjadikannya sebagai faktor parameter penentu terkait harta atau kekayaan, atau mungkin sebagai landasan empuk bagi penyakit hati semacam gengsi maupun takabur?
Tak hanya pernikahan, berbagai penyelenggaraan hajatan lain pun bisa saja dilancarkan dengan menghamburkan dana yang tidak sedikit. Bisa dibayangkan berapa besar nominal uang yang sesungguhnya bisa digunakan untuk keperluan lain yang sifatnya lebih urgent atau menyedekahkannya untuk orang yang membutuhkan.
Perlu penelaahan kembali perihal esensi, niat serta tujuan. Memuaskan dahaga dunia tidak akan pernah habis, karena manusia selain diberikan akal, juga diberikan nafsu. Ketika esensi hilang, maka niat menjadi blur, dan tujuanpun akan tampak samar.
Genggaman esensi itu seyogianya dimiliki orang-orang yang teguh terhadap kalam-Nya. Berusaha untuk terus istiqamah dan tidak mengenal gaya hidup berlebih-lebihan. Teramat disayangkan apabila memandang urusan penyempurnaan separuh dien itu, justru dipercikkan dengan aroma kemewah-mewahan.
Karena yang terpenting adalah terkait bagaimana menjalani kehidupan baru usai prosesi ijab qabul tersebut. Bukan sesuatu yang remeh, karena pernikahan merupakan perjanjian berat (Mitsaqan Ghaliza) yang perlu disikapi dengan dewasa dan bijak.
Dan, impian terindah yang didambakan adalah, bukan hanya usia pernikahan itu yang langgeng, tetapi juga bagaimana proses belajar menghadapi berbagai masalah yang ada di dalamnya, serta mampu menjalaninya dengan penuh sabar dan bersyukur. Selain itu, mampu melahirkan generasi penerus yang shaleh dan shalehah.
*****
(Foto: Kaysfashions)
Hampir semua manusia akan mengalami perhelatan suci tersebut, tetapi tidak sedikit juga yang entah belum diberikan kesempatan untuk berjumpa dengan belahan jiwanya atau minimnya pergaulan yang mengakibatkan seseorang terisolasi, atau mungkin memiliki keyakinan “ngawur” yang menyimpang dari kodrat sebagai makhluk berketurunan.
Bagi yang telah mantap, segala persiapan diperlukan guna menghadapi peristiwa bersejarah itu, mulai dari prosesi peminangan hingga menuju hari H. Semua dilakukan secara bertahap dan mengalir sedemikian rupa agar momen penting itu dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan.
Mengingat keterbatasan dana, ada yang melangsungkannya dengan sederhana, ada pula yang mentereng berhiaskan segala macam pernak-pernik yang ada di dalamnya, berikut euforia yang meledak-meledak. Budget yang dialokasikan juga bervariatif, mulai dari prasmanan kelas ikan asin, sampai daging steak.
Namun, ada yang satu hal yang mungkin terlupa, di tengah hingar-bingarnya suasana glamor tersebut, yakni sejauh mana memaknai esensi dari pernikahan itu sendiri? Apakah menjadikannya sebagai faktor parameter penentu terkait harta atau kekayaan, atau mungkin sebagai landasan empuk bagi penyakit hati semacam gengsi maupun takabur?
Tak hanya pernikahan, berbagai penyelenggaraan hajatan lain pun bisa saja dilancarkan dengan menghamburkan dana yang tidak sedikit. Bisa dibayangkan berapa besar nominal uang yang sesungguhnya bisa digunakan untuk keperluan lain yang sifatnya lebih urgent atau menyedekahkannya untuk orang yang membutuhkan.
Perlu penelaahan kembali perihal esensi, niat serta tujuan. Memuaskan dahaga dunia tidak akan pernah habis, karena manusia selain diberikan akal, juga diberikan nafsu. Ketika esensi hilang, maka niat menjadi blur, dan tujuanpun akan tampak samar.
Genggaman esensi itu seyogianya dimiliki orang-orang yang teguh terhadap kalam-Nya. Berusaha untuk terus istiqamah dan tidak mengenal gaya hidup berlebih-lebihan. Teramat disayangkan apabila memandang urusan penyempurnaan separuh dien itu, justru dipercikkan dengan aroma kemewah-mewahan.
Karena yang terpenting adalah terkait bagaimana menjalani kehidupan baru usai prosesi ijab qabul tersebut. Bukan sesuatu yang remeh, karena pernikahan merupakan perjanjian berat (Mitsaqan Ghaliza) yang perlu disikapi dengan dewasa dan bijak.
Dan, impian terindah yang didambakan adalah, bukan hanya usia pernikahan itu yang langgeng, tetapi juga bagaimana proses belajar menghadapi berbagai masalah yang ada di dalamnya, serta mampu menjalaninya dengan penuh sabar dan bersyukur. Selain itu, mampu melahirkan generasi penerus yang shaleh dan shalehah.
*****
(Foto: Kaysfashions)
Comments
Post a Comment