Entah seberapa intens lalu lintas pikiran yang berlalu-lalang mulai dari pagi tadi hingga malam ini. Metamorfosa kehidupan tampak telah dilalui mulai dari zaman main bola plastik bersama teman, sampai bercengkrama akrab di depan komputer. Terlebih spesifikasi komputer yang sudah bukan zamannya lagi ditanya pentium berapa, namun sudah berapa core dapur pacu yang disematkan di dalam PC? ya sudahlah, bukan itu yang akan diungkap pada ceplas-ceplos kali ini.
Sebut saja L, pria yang kini mungkin nyasar, mungkin mujur dan lain sebagainya, yang menapaki debutnya menjadi seorang "kuli tinta". Bagaimanapun mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah, karena dibutuhkan keahlian spesifik yang memang telah dia tempuh selama sekian tahun di bangku kuliah. Namun tak sedikit pula yang bekerja di suatu tempat, tetapi jauh berbeda dengan gelar yang disandangnya.
Lagi-lagi bukan masalah titel atau pun kerja yang akan dikemukakan di sini. Ini perihal afeksi yang hilir mudik, mengisi relung dalam ketidakstabilan emosi serta inkonsistensi untuk memilih satu diantara sekian ratus juta "mutiara" yang bertebaran di muka bumi. Meski banyak laksana pelangi yang menyinggahi dermaga hati, bahkan diantara mereka, menempati kenangan yang mungkin sulit untuk terhapuskan.
Bila dikalkulasi, tentu tidak akan mampu terhitung berapa prosentase dari masing-masing kenangan tersebut. Namun bila diperkirakan secara nalar, tampaknya lebih dominan kisah yang melankolis ketimbang sisi jiwa yang berbinar-binar.
Hanya saja, ada satu makhluk yang sampai saat ini masih saja menghantui pikiran. Penilaian dari segi apapun, jiwa yang satu itu tetap unggul. Bahkan hampir sempurna sebagai sebaik-baiknya perhiasan dunia. Mengingat, kriteria yang dipaparkan pak Haji beberapa waktu lalu benar-benar menghunus mindset L.
Pertanyaan dan pernyataan oleh seorang alim yang L anggap tuan rumah dan sepuh itu semakin memantapkan azzam. Bagaimana tidak, wejangan yang ia beri mampu memberi pencerahan rohani sekaligus membangun sebuah pendirian kokoh dalam memilih pasangan hidup.
Terlintas seseorang nun jauh di sana, walau mungkin kediaman L dan nya masih berada dalam lingkup radius yang kira-kira tak lebih dari 15 kilometer. Bahkan ketika masih menuntut ilmu, serta sama-sama banting tulang meraih gelar sarjana pun, sempat bertemu beberapa kali dalam kondisi belum saling kenal.
Pernah ketika itu ia lewat begitu saja di hadapan L, tepat di stasiun kereta, di mana ia dan L sama-sama naik maupun turun di stasiun pemberhentian kereta api yang sama. Belum ada keinginan kuat untuk mengenalnya, L ketika itu lebih cenderung penyendiri. Bahkan pada saat itu, L sudah menyimpan "mutiara" lain yang dianggapnya lebih bermakna di dalam hidupnya.
Semua seperti tabir yang terbuka, hingga akhrinya, L tahu di fakultas apa yang ia menggeluti, di unit kegiatan kampus apa ia berkecimpung. Sampai saat itu L masih merasa biasa saja, masih belum bergerak sedikitpun. Hanya gumaman dalam hati yang sedikit berbisik, di manakah rumahnya? di konsentrasi jurusan mana kah ia tempuh studinya?
Masih membisu dalam ketidaktahuan dan keluguan L. Sampai pada akhirnya, seiring usia dan kematangan spiritual yang ditempa oleh berbagai cobaan, ujian maupun realita. Kini L sadar harus berbuat apa demi meneruskan perjalanan hidupnya. Berbekal niat dan ke-diam-an yang selama ini dipegang, perlahan mulai mencari hal yang berkaitan dengannya.
Hingga situs jejaring sosial pun L sambangi. Dan pada akhirnya, hari di mana orangtua dari para peserta didik program S1 berkumpul di satu aula besar dan ternama di ibu kota negara. Mahasiswa/i berpakaian rapi seperti mereka sigap untuk menyongsong kehidupan baru, yakni dunia yang lebih liar daripada hutan rimba sekalipun, untuk mencari pekerjaan.
Disitulah L melihatnya, setelah sekian lama jarang berjumpa. Selepasnya berjabat dengan para petinggi kampus terkemuka, "bidadari" itu menuruni panggung, kemudian melewati samping kanan L, namun L tetap teguh dalam diamnya. Lalu tertunduk ringan dan hanya mampu melihat karpet berwarna gelap di bawah pijakan sepasang sepatu pantofel miliknya.
Permulaan kisah sepertinya dimulai ketika itu, dalam kegamangan yang mendalam, perlahan L temukan titik terang dari rasa penasarannya. Melalui rekannya yang bahkan L pun belum pernah bercakap-cakap langsung dengan sahabatnya itu, ia memberi kesempatan pada L dan nya untuk dapat saling berkomunikasi.
Dari situlah, cahaya harapan tumbuh seperti bunga mawar merah yang baru saja merekah. Kisah belum berhenti sampai disitu, sepercik rasa keingintahuan mengenainya semakin dalam dan tumbuh semerbak. Bila ada pepatah, "Tak kenal maka tak sayang", tetapi sepertinya L sudah merasa sayang, bahkan sebelum mengenalnya.
*****
(Sumber Foto: Narayana-publishers)
Sebut saja L, pria yang kini mungkin nyasar, mungkin mujur dan lain sebagainya, yang menapaki debutnya menjadi seorang "kuli tinta". Bagaimanapun mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah, karena dibutuhkan keahlian spesifik yang memang telah dia tempuh selama sekian tahun di bangku kuliah. Namun tak sedikit pula yang bekerja di suatu tempat, tetapi jauh berbeda dengan gelar yang disandangnya.
Lagi-lagi bukan masalah titel atau pun kerja yang akan dikemukakan di sini. Ini perihal afeksi yang hilir mudik, mengisi relung dalam ketidakstabilan emosi serta inkonsistensi untuk memilih satu diantara sekian ratus juta "mutiara" yang bertebaran di muka bumi. Meski banyak laksana pelangi yang menyinggahi dermaga hati, bahkan diantara mereka, menempati kenangan yang mungkin sulit untuk terhapuskan.
Bila dikalkulasi, tentu tidak akan mampu terhitung berapa prosentase dari masing-masing kenangan tersebut. Namun bila diperkirakan secara nalar, tampaknya lebih dominan kisah yang melankolis ketimbang sisi jiwa yang berbinar-binar.
Hanya saja, ada satu makhluk yang sampai saat ini masih saja menghantui pikiran. Penilaian dari segi apapun, jiwa yang satu itu tetap unggul. Bahkan hampir sempurna sebagai sebaik-baiknya perhiasan dunia. Mengingat, kriteria yang dipaparkan pak Haji beberapa waktu lalu benar-benar menghunus mindset L.
Pertanyaan dan pernyataan oleh seorang alim yang L anggap tuan rumah dan sepuh itu semakin memantapkan azzam. Bagaimana tidak, wejangan yang ia beri mampu memberi pencerahan rohani sekaligus membangun sebuah pendirian kokoh dalam memilih pasangan hidup.
Terlintas seseorang nun jauh di sana, walau mungkin kediaman L dan nya masih berada dalam lingkup radius yang kira-kira tak lebih dari 15 kilometer. Bahkan ketika masih menuntut ilmu, serta sama-sama banting tulang meraih gelar sarjana pun, sempat bertemu beberapa kali dalam kondisi belum saling kenal.
Pernah ketika itu ia lewat begitu saja di hadapan L, tepat di stasiun kereta, di mana ia dan L sama-sama naik maupun turun di stasiun pemberhentian kereta api yang sama. Belum ada keinginan kuat untuk mengenalnya, L ketika itu lebih cenderung penyendiri. Bahkan pada saat itu, L sudah menyimpan "mutiara" lain yang dianggapnya lebih bermakna di dalam hidupnya.
Semua seperti tabir yang terbuka, hingga akhrinya, L tahu di fakultas apa yang ia menggeluti, di unit kegiatan kampus apa ia berkecimpung. Sampai saat itu L masih merasa biasa saja, masih belum bergerak sedikitpun. Hanya gumaman dalam hati yang sedikit berbisik, di manakah rumahnya? di konsentrasi jurusan mana kah ia tempuh studinya?
Masih membisu dalam ketidaktahuan dan keluguan L. Sampai pada akhirnya, seiring usia dan kematangan spiritual yang ditempa oleh berbagai cobaan, ujian maupun realita. Kini L sadar harus berbuat apa demi meneruskan perjalanan hidupnya. Berbekal niat dan ke-diam-an yang selama ini dipegang, perlahan mulai mencari hal yang berkaitan dengannya.
Hingga situs jejaring sosial pun L sambangi. Dan pada akhirnya, hari di mana orangtua dari para peserta didik program S1 berkumpul di satu aula besar dan ternama di ibu kota negara. Mahasiswa/i berpakaian rapi seperti mereka sigap untuk menyongsong kehidupan baru, yakni dunia yang lebih liar daripada hutan rimba sekalipun, untuk mencari pekerjaan.
Disitulah L melihatnya, setelah sekian lama jarang berjumpa. Selepasnya berjabat dengan para petinggi kampus terkemuka, "bidadari" itu menuruni panggung, kemudian melewati samping kanan L, namun L tetap teguh dalam diamnya. Lalu tertunduk ringan dan hanya mampu melihat karpet berwarna gelap di bawah pijakan sepasang sepatu pantofel miliknya.
Permulaan kisah sepertinya dimulai ketika itu, dalam kegamangan yang mendalam, perlahan L temukan titik terang dari rasa penasarannya. Melalui rekannya yang bahkan L pun belum pernah bercakap-cakap langsung dengan sahabatnya itu, ia memberi kesempatan pada L dan nya untuk dapat saling berkomunikasi.
Dari situlah, cahaya harapan tumbuh seperti bunga mawar merah yang baru saja merekah. Kisah belum berhenti sampai disitu, sepercik rasa keingintahuan mengenainya semakin dalam dan tumbuh semerbak. Bila ada pepatah, "Tak kenal maka tak sayang", tetapi sepertinya L sudah merasa sayang, bahkan sebelum mengenalnya.
*****
(Sumber Foto: Narayana-publishers)
Comments
Post a Comment